“Gus, Ibu selalu mengajarimu untuk berani berkata jujur. Sekarang ayo katakan yang sebenarnya pada Bapak,” desak Tuti.
Agus masih takut. Tapi ia merasa tersudut. Dan itu membuat dadanya terasa sesak. Dengan kepala yang tetap merunduk, Agus pelan-pelan membuka mulut. “Agus, Pak, yang lepasin burung-burung Bapak,”
“Astagfirulloh, Gus! Jadi kamu pelakunya!" Tito tersentak. "Gus, Gus, asal kamu tahu, uang Bapak habis sekian juta buat beli burung-burung itu! Kenapa kamu lepasin? Kenapa? Lagi pula burung-burung itu masih anak, Gus, belum berkicau, Bapak belum sempat nikmatin!”
“Justru karena masih anak, Pak,” kata Agus. “Kata Ibu Guru. Anak-anak perlu kebebasan. Anak-anak tidak boleh dikungkung. Apalagi kalau disakiti. Makanya anak-anak burung itu tidak boleh dikurung,” terang Agus, lantas bagai anak panah yang melesat ia berlari ke kamar.
Tito tak bisa berkata-kata. Ia tertegun mendengar anaknya yang masih berusia sepuluh tahun bisa berkata seperti itu. “Kenapa kamu, Bu, melihat aku seperti itu? Memangnya aku salah ngomeli Agus?” tanya Tito yang mendapati Tuti tengah melototinya.
“Barusan Bapak bilang apa, to?! Uang Bapak habis sekian juta untuk beli burung-burung yang hilang itu?!” jawab Tuti setengah berteriak.
Tito tergeragap. Pertanyaan itu seperti mendorong Tito ke suatu sudut yang membuatnya tak bisa lagi bergerak. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H