Kendati begitu, Tito masih penasaran sekali pada apa yang membuat burung-burungnya hilang. Maka malam itu ia begadang demi menemukan jawaban. Tito sembunyi di dalam rumah, duduk bersandar pada kursi di samping jendela. Dari balik gordeng hitam yang tipis ia bisa memperhatikan burungnya di luar. Sebungkus rokok dan tiga gelas kopi dihabiskan Tito dalam semalam. Juga se-sachet obat oles nyamuk. Tidak ada gerak-gerik mencurigakan hingga subuh menjelang, baik itu dari manusia maupun hewan pemangsa. Tito tersenyum lebar. Burungnya aman di sangkar.
Tito berangkat kerja dengan wajah yang cerah pagi itu, kantuk di pelupuk tak membuatnya lemas. Bedanya, kali ini, sebelum pergi, ia meminta tolong pada Tuti agar sesekali memperhatikan burung kenarinya. Tuti berjanji menyanggupi.
**
Hari sudah agak gelap ketika Tito pulang. Dan kedatangannya disambut oleh pemandangan yang menohok jantungnya. Sangkar burungnya tergeletak di lantai dengan keadaan kosong. Tito masuk ke rumah. Sepatu tidak dilepas. Hatinya sudah dikuasai amarah.
Di sela mencari Tuti, sekilas Tito melihat Agus tengah berdiri di depan kamarnya dengan satu kaki dengan masing-masing tangan menjewer kuping. Pikir Tito, paling-paling Agus berbuat salah sehingga Tuti menghukumnya.
“Tut, kau ini bagaimana, to? Kan aku sudah pesan tolong perhatikan burungku. Kau malah enak-enakan tidur di kamar. Sekarang apa kau tahu? Sangkar itu jatuh dan kenarinya sudah lepas?”
“Bapak ini jangan langsung menuduh-nuduh aku, to! Tanyakan pada Agus soal burung Bapak itu!”
Tito mengernyit. “Maksudmu?”
“Iya, tanyakan saja langsung pada Agus. Aku malas menjelaskannya,” Tuti telanjur kesal karena Tito datang-datang langsung menyalahkannya begitu saja.
Dari tempatnya berdiri Tito berpaling ke Agus. “Gus, coba jelaskan apa maksud Ibu.”
Agus merunduk. Wajahnya pucat. Tampak ia sedang berupaya keras menyembunyikan dentam jantungnya yang bergemuruh hebat.