Tuti sesungguhnya keberatan jika Tito memelihara hewan, apa pun jenisnya, termasuk burung. Sebab akan membuat rumah kontrakan mereka sumpek dan cepat kotor. Andai kediaman mereka berhalaman luas, Tuti akan memberi pengecualian. Tetapi kenyatannya hanya cukup untuk satu motor dan sepasang kursi rotan. Jika ditambah dengan sangkar burung yang bergantungan tentu akan jadi semakin sempit.
Akan tetapi, Tuti mengalah sejak Tito diterima bekerja sebagai wartawan di majalah KICAU. Tito yang masih buram mengenai dunia burung merasa harus menambah wawasannya, tak hanya secara teori dengan membaca beragam artikel tentang burung, tetapi juga secara praktik dengan langsung memelihara burung di rumah. Dan, sebagai bentuk dukungan dari seorang istri, Tuti mengijinkan Tito memelihara burung, dengan syarat, tidak lebih dari seekor. Selain untuk menghemat biaya karena hewan juga perlu makan dan minum, Tuti kuatir keluarganya terjangkit flu.
**
Ingatan Tito pada murai batunya yang hilang, berikut uang satu setengah juta yang raib bersama lenyapnya burung itu, mulai pudar.
Itu karena Tito membeli burung lagi. Sehingga pikirannya tak lagi terpaku pada kejadian yang silam. Wajahnya pun kini segar, sesegar tomat merah yang baru dipetik dari dahan.
Kali ini Tito membeli cucak ijo. Jenis burung ini memang tidak sebagus murai batu, baik dari segi kicau maupun penampilan. Tetapi cukup menjaga gengsi Tito di kalangan penghobi burung. Lagi pula, Tito masih menyisakan trauma karena pengalaman pahit tempo hari. Ia kuatir mendadak serangan jantung lagi lantaran membeli burung mahal tapi akhirnya hilang. Karenanya, Tito memutuskan membeli burung yang masih terbilang bagus dengan harga yang tidak terlampau mahal, dan cucak ijo dirasa Tito yang paling tepat. Tetapi, untuk itu, Tito harus berdusta lagi pada Tuti. Ia bilang burung itu diberikan oleh teman kantornya yang lain. Padahal ia beli di pasar burung Pramuka dengan harga enam ratus ribu, itu pun harus lebih dulu melewati proses tawar-menawar yang sangat melelahkan.
“Lho, burungnya beda, Pak. Waktu itu murai batu?”
“O, burung yang itu sudah dikasih ke saudara saya di kampung, Pak,” kilah Tito.
Tanpa harus menoleh pun Tito tahu siapa gerangan yang bertanya. Itu bisa ia terka dari logat khas Jawa si penanya. Siapa lagi kalau bukan Basuki. Duda separuh baya yang tinggal bersebelahan dengannya.
Tetangga Tito yang satu ini penggemar burung. Itu ditandai dengan ada enam jenis burung yang ia pelihara dan semuanya berharga mahal. Karena keberadaan tetangganya inilah mengapa Tito merasa harus menjaga gengsinya. Menurut Tito, apa kata tetangganya itu kalau pelihara burung cuma seekor dan berharga murah. Pasti bakal dicibir dan dipandang sebelah mata. Diam-diam Tito juga menaruh curiga kepada Basuki mengenai burungnya yang hilang tempo hari. Karena tak menutup kemungkinan ia takut tersaingi, lalu berbuat culas. Di depan ramah, tapi di dalam hati siapa yang tahu? Pikir Tito.
“Cucak ijonya sudah gacor, Pak?”
“Belum, Pak. Masih anak,”