“O... burung Bapak yang itu,” Tuti mengulum senyum, menggeliat, lalu mengubah tidurnya menjadi telentang. Kini ia bisa melihat wajah Tito secara utuh di tengah matanya yang masih mengantuk. Samar-samar diperhatikannya ada kepanikan di wajah suaminya itu. “Ya, sudah, Pak. Kalau sudah hilang mau bagaimana lagi?”
“Ya tidak segampang membalikkan telapak tangan to, Bu. Burung mahal, lho, itu!”
“Ya, lalu bagaimana? Ikhlaskan saja to, Pak. Soalnya Ibu juga tidak tahu,” tandas Tuti. “Lagi pula burung itu dikasih teman Bapak, to? Bapak tidak beli. Bapak beli sangkarnya saja. Sangkarnya hilang tidak, Pak?”
Tito menggeleng.
“Yo, wess. Berarti Bapak tidak rugi sepeser pun, to?”
Dengan santai Tuti bangkit dan menguncir sembarang rambutnya, lalu ke toilet, meninggalkan Tito yang berdiri termangu di tepi ranjang. Tito tak bisa bersikap kesal melihat Tuti yang sedikit pun tak menunjukkan rasa prihatin kepadanya. Tito mengerti, Tuti begitu karena tidak tahu duduk persoalan yang sebenarnya. Ialah yang tidak berkata jujur saat membawa burung itu ke rumah.
Pada Tuti, Tito bilang burung itu diberikan teman kantornya. Ia membeli sangkarnya saja yang sebenarnya seharga empat ratus ribu pun dikatakannya hanya seratus ribu. Tito merasa harus berbohong, sebab kalau jujur Tuti pasti akan marah karena uang sekian juta dihabiskan hanya untuk membeli seekor burung. Tentu itu akan dianggap Tuti sebagai pemborosan. Dan emosi Tuti pastilah makin meledak-ledak jika mengingat peristiwa bulan lalu, saat mereka jalan-jalan ke pasar malam berdua. Waktu itu, Tuti merajuk minta dibelikan tas jinjing seharga tiga ratus ribu saja Tito keberatan.
“Janganlah, Bu. Baiknya kita berhemat dulu. Karena Agus, kan, sebentar lagi masuk SMP,” demikian kata-kata penolakan Tito. Tuti kecewa sekali waktu itu, itu tampak dari air mukanya yang mendung saat Tito menolak membelikan. Hanya saja, Tuti tak sampai hati mengungkapkan perasaannya, karena apa yang menjadi alasan Tito benar. Ketika sudah berkeluarga keperluan anaklah yang harus mereka utamakan. Tapi, kini, Tito merasakan akibat dari ketidakjujurannya. Sekarang ia nelangsa sendirian. Merasa susah sendirian. Padahal ia punya istri yang bisa saja, dengan berbagai cara, mengurangi sedih yang tengah ditanggungnya.
“Pak....”
Tito menoleh. Dilihatnya Tuti sudah berdiri di muka pintu kamar.
“Agus bilang, Bapak tidak usah mengantarnya ke sekolah. Mulai sekarang dia mau berangkat sendiri. Biar mandiri katanya,” ujar Tuti dengan nada bangga. Tito mengangguk saja tanpa ekspresi. Mukanya datar. Tatapannya mengambang. Tubuhnya ada di situ tapi jiwanya tidak. Tuti lantas mendelik dan melipir dengan muka yang cemberut. Tadinya ia berharap sekali akan mendapat tanggapan positif dari Tito mengenai anak tunggal mereka yang sudah berani berangkat sekolah sendiri. Tapi harapan tidak sesuai kenyataan. Tuti tahu apa yang masih berkecamuk di benak suaminya. Apalagi kalau bukan soal burung yang hilang itu.