“O... memang lebih bagus beli selagi anak, Pak. Jadi nanti variasi kicaunya bisa Bapak atur sesuka hati.”
“Maksud saya juga begitu,” tandas Tito masih terus memandangi burungnya sambil bersiul-siul.
Perhatian Tito baru teralihkan ketika dilihatnya Agus pulang dengan wajah yang muram. Sekilas diliriknya ke barat, Basuki sudah tidak ada di tempat. Mungkin sudah masuk ke rumah atau pergi mencari makan. Entahlah.
“Kamu kenapa, Gus?”
“Aku sedih, Pak. Tasya dilarang ibunya bermain denganku dan yang lain. Tasya bilang, ibunya selalu menyuruhnya belajar jadi tidak punya waktu untuk bermain.”
“Mungkin ibunya Tasya kuatir, Gus, kalau Tasya main nanti malah keasyikan, kalau sudah keasyikan main nanti lupa belajar.”
“Tapi ibu guru bilang anak-anak juga butuh bermain, Pak. Aku suka bermain tapi masih ingat belajar.”
Tito tersenyum. “Itu karena kamu anak yang baik, Gus,” kepala Agus diusap-usap Tito, lembut.
“Bapak beli burung lagi?”
“Iya, ini namanya cucak ijo, Gus,” Tito kembali mengalihkan perhatian ke burungnya. “Masih anak, jadi belum bisa berkicau, tapi sengaja Bapak beli selagi anak, biar…” Tito terdiam. Suaranya nyangkut di tenggorokan karena tak dilihatnya lagi Agus ada di tempat. Tito menoleh ke belakang, anak itu sudah melipir ke rumah. Punggungnya yang mungil makin menjauh hingga menghilang di balik pintu. Tito tersenyum melihatnya.
**