Seperti orang kesurupan, Tito kalap. Pengalaman pahit yang silam terulang lagi. Cucak ijonya hilang. Tidak ada di sangkar. Tito gegas ke dapur menemui Tuti sambil menahan batok kepalanya yang terasa kebat-kebit.
“Bu! Burungku hilang lagi! Ibu ada lihat?”
Tuti yang tengah jongkok dan sibuk mengulak cabai, balik bertanya tanpa mengalihkan pandangan ke Tito yang berdiri di belakang. “Kok, hilang-hilangan terus, to, Pak?”
“Ya, manaku tahu, Bu,”
“Apalagi Ibu. Yang mengurus burung, kan, Bapak,”
Tito mendengus. Kepalanya digaruk meski sebetulnya tidak gatal. “Kenapa hilang-hilangan terus ya, Bu?”
“Barangkali Bapak tidak cocok memelihara burung,” jawab Tuti. “Bukan maksud Ibu melarang lho, Pak. Tapi memang ada yang begitu. Contohnya si Sri, adik Bapak, cocok sekali dia pelihara kembang. Di tangan dia semua kembang bisa tumbuh subur. Tapi giliran si Mulyani, adik Bapak yang satunya lagi, selalu gagal. Semua kembang di tangan dia layu sebelum berkembang. Lain lagi si Joko, adikku, pintar sekali dia masak, kan, Pak? Apa saja makanan yang dimasaknya selalu enak. Padahal kalau dilihat dari bumbu dan caranya memasak sama saja seperti umumnya. Tapi coba abangku, Widodo, masakannya selalu hambar. Bapak pernah rasain sendiri, kan, masakan mereka? Ah, pokoknya begitulah, Pak. Karunia-karunia yang dianugerahkan Tuhan terlampau sulit dijelaskan dengan kata-kata,” papar Tuti. “Sama sulitnya seperti memahami hidup yang mirip kotak kubisme ini.”
Tito merenung. Apa yang dikatakan Tuti masuk akal. Tetapi ia masih sangat ingin memelihara burung. Bahkan kini penasaran, seiring dengan kecurigaannya kepada Basuki yang makin meradang.
Di tengah masa traumanya yang belum benar-benar pulih, Tito kembali membeli burung setelah mendapat peneguhan dari teman-temannya yang penghobi burung. Mereka bilang, apa yang dialaminya adalah hal biasa. Mula-mula, seseorang yang baru memelihara burung memang akan mengalami dulu kehilangan. Entah karena burungnya mati, atau lepas dari sangkar. Istilahnya semacam ritual. Dan ritual itu biasanya terjadi satu hingga tiga kali kehilangan, setelah itu barulah burung yang dibeli berikutnya akan awet. Dan niat Tito membulat usai mendengar petuah dari salah seorang temannya yang penyair.
“Sama seperti orang yang sakit hati karena cinta, To. Ya, obatnya jatuh cinta lagi. Sakit hati, jatuh cinta lagi, begitu seterusnya sampai menemukan yang sejati. Nah, kau pun begitu. Burungmu hilang, kau belilah lagi, hilang belilah lagi, sampai kau mendapatkan yang berjodoh denganmu. Dengan catatan, kau belajar dari kehilangan-kehilanganmu yang sebelumnya.”
Atas saran dari teman-temannya pula, Tito kemudian membeli burung yang lebih murah dari dua jenis yang sebelumnya agar kelak jika hilang lagi dampaknya tidak terlampau dahsyat. Kenari menjadi pilihan Tito. Tito beli dengan harga tiga ratus ribu. Bedanya, kali ini sangkar burung itu digantang di tempat yang jauh dari jangkauan tetangganya, Basuki. Dan Tito harus berdusta lagi kepada Tuti. Tapi dustanya kali ini agak dipaksakan. Katanya, burung itu ditemukannya di tengah jalan pulang. Burung itu sedang sakit sehingga dengan mudah ia tangkap. Dengan narasi, deskripsi, dan dibumbui metafora yang sempurna, Tito bisa membuat Tuti percaya kepada kata-katanya.