Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Reformasi yang Tidak Pernah Ada

17 Juli 2019   18:29 Diperbarui: 17 Juli 2019   18:40 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR, menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Foto diambil pada 19 Mei 2008, dua hari sebelum Soeharto mengumumkan pengunduran diri pada 21 Mei 1998. (KOMPAS/EDDY HASBY)

Only two things are infinite, the universe and human stupidity, and I'm not sure about the former. 

------Albert Einstein

.

Jam menunjukkan pukul 12 siang. Puutaro bergegas keluar ruangan kantornya untuk makan siang di warung Mak Entin.

"Nasi sama sayur lodeh, ya Mak," ujar Puutaro sambil duduk di kursi kayu panjang di depan etalase makanan.

Dia tersenyum sebentar, sekadar basa-basi kepada orang berbaju biru yang sudah duduk terlebih dahulu di sebelahnya. Kelihatannya orang itu juga bekerja di daerah sekitar sini.

Tangannya menggerayangi kotak kaleng kerupuk yang ditaruh di meja sebelah, untuk mencari kerupuk yang tidak melempem.

"Pakek ikan asin kagak nih," teriak Mak Entin, mengingatkan kegemaran Puutaro.

"Ooh iya Mak. Kasih deh ikan asin bumbu balado." Puutaro menyahut sambil makan kerupuk, menunggu pesanannya datang.

Puutaro melemparkan pandangannya ke layar televisi tabung kusam karena debu, yang dipasang tinggi di dinding. Sementara orang berbaju biru yang duduk di sebelah asyik memainkan smartphone.

"Nih nasi rames lu, Padli. Ni pesenan lu Puutaro," ujar Mak Entin seraya menaruh makanan pesanan, masing-masing dihadapan kedua orang itu.

"Oh, dia bernama Padli rupanya," kata Puutaro dalam hati.

Dia melirik sebentar ke arah ke Padli, yang langsung asyik menikmati nasi rames, sesekali menaikkan kacamatanya yang melorot, dan tangan kirinya tetap memegang smartphone. Manusia zaman sekarang memang senang melakukan dua hal sekaligus. Apapun itu.

Begitu juga Puutaro. Sambil mengunyah nasi, dia membuka kulit melinjo, menggigit kulit kerasnya, membuang, kemudian mengunyah isinya, namun pandangan matanya tidak lepas dari televisi di dinding.

"Wah, banyak juga yang tertangkap karena menyebarkan hoaks ya Bang," Puutaro membuka percakapan.

"Iya, hampir setiap hari ada beritanya di tipi," sahut Padli.

"Memang sekarang banyak sekali orang yang kebablasan, menganggap reformasi sebagai kebebasan untuk melakukan apapun yang mereka mau."

"Betul kan, bang?" tanya Puutaro, sekadar ingin orang disebelahnya juga setuju atas ucapannya tadi.

"Reformasi?" tanya Padli sambil mengernyitkan alis.

"Iya, reformasi. Itu lho, gerakan pembaharuan yang dimulai oleh berbagai elemen masyarakat termasuk mahasiswa pada tahun 98, yang juga menjadi penyebab tumbangnya rezim Orde Baru."

Sambil berkata begitu, Puutaro agak heran karena Padli--yang kelihatan seumur dengannya--tidak tahu gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia. Anggapan Puutaro, reformasi--dengan latarbelakang beberapa faktor, yaitu: krisis politik, ekonomi, hukum, sosial, dan krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah--tentu suatu peristiwa yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia.

"Kalau tidak tahu, coba aja abang cari di gugel deh pakai kata kunci reformasi indonesia." Puutaro berkata begitu karena Padli terlalu asyik memainkan smartphone.

"Coba kucari dulu ya." Padli terpaksa berkata begitu karena merasa tidak enak, orang disebelahnya sudah berusaha mengawali pembicaraan. 

Beberapa saat kemudian, Padli kembali berbicara.

"Nggak ketemu tuh yang namanya reformasi."

"Ah, masa sih," ujar Puutaro keheranan.

Tahun 1998 memang belum banyak orang yang main Internet. Namun seharusnya, ada jejak digital yang terekam, karena itu merupakan salah satu momen penting yang terjadi di Indonesia.

"Boleh pinjam henpon-nya sebentar bang? Aku mau coba cari," pinta Puutaro.

"Nih cari aja sendiri kalau tidak percaya," jawab Padli sambil menyerahkan henpon vivo nya.

Setelah mengecek sendiri beberapa saat, Puutaro ternyata tidak bisa menemukan juga jejak digital tentang reformasi di Internet.

"Mak tahu kan, tahun 98 tuh ada ribut-ribut di gedung DPR/MPR. Pas zaman reformasi itu lho Mak,"tanya Puutaro ke Mak Entin. Sambil berharap semoga dia mengetahuinya.

Dia yakin mustahil Mak Entin tidak tahu karena warungnya berada di Gang Suwuk, tepat di belakang Gedung Manggala yang berada di samping gedung DPR/MPR.

"Emang kalo di sono mah sering banget orang demo," jawab Mak Entin sambil melayani pembeli yang lain.

"Tapi kalo, ape tuh namanye, repormasi? Emak belon pernah denger."

"Emak mah taunye jualan aje," jawab Mak Entin.

Tiba-tiba, Puutaro merasa mual. Ada sesuatu yang dirasanya tidak beres.

Sendok yang tadi dia genggam, diletakkan. Nasi dan lauk ikan asin masih tersisa setengah. Namun, tidak ada nafsu lagi baginya untuk menghabiskan menu makan siang itu. Dia bergegas membayar, dan langsung kembali ke kantor.

Sampai di meja kerja, dia segera membuka komputer, dan mencari informasi tentang reformasi di Internet. Berkali-kali dia memasukkan kata kunci, dengan berbagai macam kombinasi kata, namun hasilnya sia-sia. Ternyata dia juga tidak menemukan informasinya. 

Keringat mengucur deras membasahi bajunya, di ruangan yang dingin ber-AC.

Dia menanyakan hal yang sama baik kepada sesama rekan kerja, bahkan kepada atasannya. Namun semua menggelengkan kepala, tanda tidak tahu.

Puutaro tahu dan yakin bahwa ada peristiwa reformasi, karena dia ada disana, dan turut ambil bagian bersama rekan-rekan kuliah. Dia bahkan juga ikut memanjat gedung DPR/MPR di Senayan. Sampai-sampai baju almamater pun entah raib dimana, mungkin terjatuh karena berlari ketika dikejar oleh aparat.

Dia juga ingat tuntutan mahasiswa, diantaranya adalah penegakkan supremasi hukum, kemudian menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN. Reformasi juga memakan korban, baik yang meninggal karena tertembus peluru tajam aparat, maupun yang ditahan atau bahkan hilang tak berbekas.

Kenapa semua orang lupa pada peristiwa itu?

Puutaro izin pulang cepat karena badannya tiba-tiba terasa tidak enak. Kepalanya mendadak pusing memikirkan hal itu.

Orang-orang itu sudah lupa. Entah lupa karena sudah "dicuci" otaknya, atau lupa karena hal lain.

Yang pasti, mereka pasti lupa karena lebih suka mengurusi urusan orang lain. Mengurusi urusan para selebram, selebriti, youtuber, poli-tikus, bahkan urusan negara mereka campuri. Mencampuradukkan segala macam kepentingan karena egoisme demi kepuasan pribadi pun sudah lumrah dilakukan.

Banyak juga yang rela "menghabiskan" waktunya untuk menjadi pengamat "dadakan". Semua urusan diborong bak mandor bangunan, untuk dikomentari, baik persoalan politik, sosial, teknologi, ekonomi, agama, dan lainnya. 

Synapse di otaknya mungkin sudah capek menyalurkan informasi yang didapat dengan instan, hanya dengan googling dari Internet. Sehingga semua informasi yang berhubungan dengan reformasi, tidak bisa tersalur.

Di dalam angkot perjalanan pulang pun, Puutaro masih terus termenung.

"Mas, udah sampai ujung nih. Mau ikut nginep sama saya di pool?"

Ucapan sopir angkot menyadarkan lamunan Puutaro.

"Jangan bengong terus mas. Orang muda jangan kebanyakan ngelamun. Siapa tau entar ditelpon Pak Jokowi, diajak gabung di kabinet," ujar sopir angkot sambil terkekeh.

Puutaro tersenyum kecut, merogoh kantong celana, membuka lipatan uang seribu dan lima ribuan yang lecek dan bertumpuk dari sana, menghitung, lalu menyerahkan ongkos 6000 rupiah ke sopir.

"Ehm, omong-omong abang pernah denger tentang reformasi nggak?" tanya Puutaro untuk terakhir kalinya dengan putus asa, karena tidak ada seorang pun yang tahu hal itu.

"Oohh....itu ya, yang lagi rame masalah izin IMB daratan bekas uruk lautan, eh pantai, kayak Anis kerjain itu bukan?" ujarnya lugu.

"Bukan bang, itu sih reklamasi. Saya tanya reformasi. Re-for-ma-si!" eja Puutaro.

"Ohh, kalo itu kaga tau. Saya mah mikir narik angkot aja puyeng. Makin hari penumpang makin sepi," ujar sopir, sambil bergegas menggerakkan angkot yang menimbulkan sedikit bunyi, meninggalkan Puutaro.

Rumah kontrakan Puutaro memang tidak begitu jauh dari pemberhentian akhir angkot. Sekitar 1 Km dengan jalan kaki. Sebenarnya, dia bisa saja naik ojek. Namun, tidak ada satu ojek pun yang parkir untuk menunggu penumpang saat ini.

Sambil berjalan dia berpikir. Biarlah semua orang lupa akan reformasi. Karena memang kenyataannya, tindak tanduk mereka tidak mencerminkan bahwa mereka benar-benar dengan serius mau melakukan reformasi, di segala bidang.

Tingkah laku manusia memang aneh. Ada yang seperti kedelai, ada juga yang seperti keledai.

Ada orang yang tidak konsisten, dimana ucapan di masa lalu, bisa berubah dengan ucapan beberapa waktu setelahnya. Tidak jarang perubahan yang terjadi  180 derajat. Seperti pepatah Jawa yang kalau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berbunyi "pagi kedelai, sore menjadi tempe".

Bahkan banyak juga orang yang mendadak bodoh (dengan sengaja) bak keledai. Berlagak pilon, kalau meminjam ungkapan yang sering dipakai oleh Mak Entin. Kebodohan, memang tidak berujung.

Perut Puutaro berbunyi sebagai konfirmasi bahwa angin telah mendominasi isi perutnya. Mungkin karena dia tidak makan siang dengan kenyang tadi, ditambah kegelisahan hebat yang dialaminya saat ini.

Dia kemudian mampir ke warung Wak Amir, untuk membeli sebungkus Indomie dan telur ayam.

Puutaro lebih memilih keruwetan mi rebus campur telor, daripada memikirkan keruwetan yang dialaminya hari ini. Mi rebus memang ruwet, ketika diangkat setelah matang dan dihidangkan di piring.  Namun, mi rebus enak untuk dinikmati.

Apalagi, semua hal di dunia ini tidak ada yang bisa diperoleh, maupun dinikmati hasilnya secara instan. Kecuali, sebungkus Indomie.

*) Jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat kejadian, maka itu semua hanya kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun