"Oohh....itu ya, yang lagi rame masalah izin IMB daratan bekas uruk lautan, eh pantai, kayak Anis kerjain itu bukan?" ujarnya lugu.
"Bukan bang, itu sih reklamasi. Saya tanya reformasi. Re-for-ma-si!" eja Puutaro.
"Ohh, kalo itu kaga tau. Saya mah mikir narik angkot aja puyeng. Makin hari penumpang makin sepi," ujar sopir, sambil bergegas menggerakkan angkot yang menimbulkan sedikit bunyi, meninggalkan Puutaro.
Rumah kontrakan Puutaro memang tidak begitu jauh dari pemberhentian akhir angkot. Sekitar 1 Km dengan jalan kaki. Sebenarnya, dia bisa saja naik ojek. Namun, tidak ada satu ojek pun yang parkir untuk menunggu penumpang saat ini.
Sambil berjalan dia berpikir. Biarlah semua orang lupa akan reformasi. Karena memang kenyataannya, tindak tanduk mereka tidak mencerminkan bahwa mereka benar-benar dengan serius mau melakukan reformasi, di segala bidang.
Tingkah laku manusia memang aneh. Ada yang seperti kedelai, ada juga yang seperti keledai.
Ada orang yang tidak konsisten, dimana ucapan di masa lalu, bisa berubah dengan ucapan beberapa waktu setelahnya. Tidak jarang perubahan yang terjadi  180 derajat. Seperti pepatah Jawa yang kalau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berbunyi "pagi kedelai, sore menjadi tempe".
Bahkan banyak juga orang yang mendadak bodoh (dengan sengaja) bak keledai. Berlagak pilon, kalau meminjam ungkapan yang sering dipakai oleh Mak Entin. Kebodohan, memang tidak berujung.
Perut Puutaro berbunyi sebagai konfirmasi bahwa angin telah mendominasi isi perutnya. Mungkin karena dia tidak makan siang dengan kenyang tadi, ditambah kegelisahan hebat yang dialaminya saat ini.
Dia kemudian mampir ke warung Wak Amir, untuk membeli sebungkus Indomie dan telur ayam.
Puutaro lebih memilih keruwetan mi rebus campur telor, daripada memikirkan keruwetan yang dialaminya hari ini. Mi rebus memang ruwet, ketika diangkat setelah matang dan dihidangkan di piring. Â Namun, mi rebus enak untuk dinikmati.