"Emang kalo di sono mah sering banget orang demo," jawab Mak Entin sambil melayani pembeli yang lain.
"Tapi kalo, ape tuh namanye, repormasi? Emak belon pernah denger."
"Emak mah taunye jualan aje," jawab Mak Entin.
Tiba-tiba, Puutaro merasa mual. Ada sesuatu yang dirasanya tidak beres.
Sendok yang tadi dia genggam, diletakkan. Nasi dan lauk ikan asin masih tersisa setengah. Namun, tidak ada nafsu lagi baginya untuk menghabiskan menu makan siang itu. Dia bergegas membayar, dan langsung kembali ke kantor.
Sampai di meja kerja, dia segera membuka komputer, dan mencari informasi tentang reformasi di Internet. Berkali-kali dia memasukkan kata kunci, dengan berbagai macam kombinasi kata, namun hasilnya sia-sia. Ternyata dia juga tidak menemukan informasinya.Â
Keringat mengucur deras membasahi bajunya, di ruangan yang dingin ber-AC.
Dia menanyakan hal yang sama baik kepada sesama rekan kerja, bahkan kepada atasannya. Namun semua menggelengkan kepala, tanda tidak tahu.
Puutaro tahu dan yakin bahwa ada peristiwa reformasi, karena dia ada disana, dan turut ambil bagian bersama rekan-rekan kuliah. Dia bahkan juga ikut memanjat gedung DPR/MPR di Senayan. Sampai-sampai baju almamater pun entah raib dimana, mungkin terjatuh karena berlari ketika dikejar oleh aparat.
Dia juga ingat tuntutan mahasiswa, diantaranya adalah penegakkan supremasi hukum, kemudian menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN. Reformasi juga memakan korban, baik yang meninggal karena tertembus peluru tajam aparat, maupun yang ditahan atau bahkan hilang tak berbekas.
Kenapa semua orang lupa pada peristiwa itu?