Mohon tunggu...
Syukriadi Syukriadi
Syukriadi Syukriadi Mohon Tunggu... Guru - Guru PAI SMKN 1 Pariaman

Menulis dan berkreasi merupakan hal yang menjadi hobi saya. Menuangkan apa yang terfikirikan melalui tulisan-tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dinamika Pemikiran Dalam Islam

31 Desember 2022   08:28 Diperbarui: 31 Desember 2022   08:34 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Kalau dulu setiap agama menjadi pusat yang dikelilingi Tuhan, maka kini diubah Tuhanlah yang dikelilingi agama-agama. Artinya, dari banyak agama Tuhan menjadi banyak agama satu Tuhan.

Doktrin pluralisme agama ini kini disebarkan ke dalam wacana pemikiran Islam. Pengikut pertama doktrin teologi global dari Islam adalah Hasan Askari, sedangkan pengikut doktrin kesatuan utama agama-agama adalah S. H. Nasr. Namun, pencetusnya sendiri Schuon yang dulunya Yahudi itu konon telah masuk Islam dan tetap pluralis.

Sejumlah cendekiawan Muslim yang mengadopsi paham ini sekurangnya ada tiga kelompok. Pertama, mereka yang memahami doktrin, dan mempunyai agenda tersendiri. Kedua, mereka yang tidak memahami doktrin ini karena pemikirannya terbaratkan. Ketiga, mereka yang tidak memahami doktrin ini dan terbawa oleh wacana umum. Dari kelompok pertama dan kedua inilah muncul istilah-istilah asing seperti Islam inklusif, Islam pluralis, pluralisme dalam Islam dan sebagainya.

Selain itu mereka juga mencari-cari justifikasi dari al-Quran dan hadits. Cara yang mereka gunakan adalah dengan mendekonstruksi makna ayat dan hadits untuk disesuaikan dengan tujuan mereka.

Dalam hal ini, fanatisme pemikiran tertentu sangat kental, dan sering kali tidak toleran terhadap kelompok yang lain. Adanya pluralitas pemikiran dalam Islam dianggap sebagai 'bencana', dan semangat klaim kebenaran menguat, bahwa kelompoknyalah yang paling benar. Pada fase inilah umat Islam menuju gerbang awal kemunduran peradabannya.

 

PEMBAHASAN

  1. Perkembangan Awal Pemikiran Islam

Sebelum memulai pembahasan, perlu diketahui bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang hingga saat ini menjadi kunci yang paling mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah dinamika. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan sering dikenal dengan epistemologis.

Secara umum, epistemologi dalam Islam memiliki tiga kecenderungan yang kuat, yaitu bayani, irfani, dan burhani :

Pertama, epistemologi bayani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu atau penalaran dari teks. Ilmu-ilmu keIslaman seperti hadis, fikih, ushul fikih, dan lainnya, menggunakan epistemologis ini. Epistemologis bayani merupakan suatu cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan mengacu pada teks, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kedua, epistemologi irfani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah kehendak. Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan. Epistemologi ini lebih mengandalkan pada rasa individual, daripada penggambaran dan penjelasan, bahkan ia menolak penalaran. Penganut epistemologi ini adalah para sufi, oleh karenanya teori-teori yang dikomunikasikan menggunakan metafora dan tamsil, bukan dengan mekanisme bahasa yang pasti.

Ketiga, epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk. Epistemologi burhani ini dalam bidang keagamaan banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti Mu'tazilah. Tokoh pendiri epistemologi ini adalah Aristoteles. Karena epistemologi ini lebih berpedoman pada tradisi berpikir yunani, maka ciri utamanya adalah penggunaan akal secara maksimal.

Semangat mencari kebenaran dengan metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana muslim pada abad keemasan Islam, antara abad IX dan XII, yang dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani dan hampir padam dengan jatuhnya kekaisaran Romawi, dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam.

Proses pembentukan pemikiran itu umumnya diawali dengan berbagai peristiwa, misalnya ada persentuhan pendapat, agama, kebudayaan atau peradaban antara satu dengan yang lainnya. Persentuhan tersebut tidak jarang menimbulkan ketidaksesuaian, benturan,  tapi juga sering terjadi kecocokan. Proses perkembangan pemikiran muslim, terdapat dalam tiga fase dan erat kaitannya dengan sejarah Islam. Fase tersebut diantaranya meliputi:

Fase pertama, pemikiran atau persoalan pertama muncul dalam Islam pada saat wafatnya Nabi Muhammad SAW. Pasca Rasulullah, mulailah periode Khulafa al-Rasyidun mengalami fase baru. Pada periode ini muncul persoalan baru yang diselesaikan dengan pemikiran. Anshar dari suku Khazraj sudah kumpul di Tsaqifah Bani Sa'idah. Pada saat itu mereka hampir memilih Sa'ad sebagai khalifah dengan alasan merekalah yang menolong kaum Muhajirin saat hijrah ke Madinah.

            Disisi lain, golongan Muhajir yang mengklaim bahwa merekalah yang berhak untuk menduduki jabatan kekhalifahan. Mendengar berita dan kejadian di Tsaqifah Bani Sa'idah, Abu bakar dan Umar Bin Khatab segera tiba disana, yang semula berada di dekat Rasulullah. Dua kelompok tersebut akhirnya memilih Abu Bakar sebagai khalifah pertama.

            Menjelang wafatnya Abu Bakar, ditunjuklah Umar Ibn Khattab sebagai penggantinya. Setelah Umar wafat, kemudian pergolakan politik selanjutnya diwarnai dengan kegagalan Ali Bin Abi Thalib dalam pemilu. Saat itu yang memenangkan adalah Usman bin Affan sebagai khalifah ketiga. Hal ini mengakibatkan adanya pergolakan politik masa kekhalifahan Ali dan pada gilirannya menimbulkan perang Jamal antara entara Ali dengan Aisyah dan perang Shiffin antara Ali dan Muawiyah.

            Adanya kasus perang Siffin menjadi faktor utama munculnya golongan Khawarij. Pergolakan politik itu diruncingkan oleh adanya pendapat Khawarij, bahwa orang-orang yang terlibat dalam perang Jamal dan Siffin adalah berdosa besar dan kafir.

Pernyataan kaum khawarij tidak langsung diterima kaum muslim. Lalu lahir kelompok pembela Ali (syi'ah) yang menolak kesimpulan kaum Khawarij. Disisi lain muncul kelompok yang berusaha netral yaitu Murji'ah, mereka tidak ingin menyalahkan satu dengan lainnya. Menurut mereka, segala hukum perbuatan manusia yang belum jelas nash, ditangguhkan hukumnya sampai di akhirat kelak.

Fase kedua, akibat ekspansi Islam menuju ke berbagai penjuru dunia. Ekspansi yang dilakukan Islam, ternyata tidak berdampak pada ajaran tetapi juga semakin memperkaya khasanah kebudayaan Islam. Dikarenakan akulturasi budaya arab Islam dengan budaya lokal daerah yang di taklukkan. Perembesan budaya ini, karena interaksi kaum muslim dengan orang yang mempelajari tradisi spekulatif yunani, dan penerjemahan secara besar-besaran khasanah intelektual yunani kedalam bahasa arab di masa Abbasiah.

Fase ketiga, akibat adanya perubahan masyarakat dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, dari pandangan atau cara berpikir yang menjadi lebih luas. Kehidupan pribadi makin lama makin kompleks dan menimbulkan masalah-masalah baru yang memerlukan solusi.

Ketiga faktor di atas memberikan pengaruh yang kuat bagi pertumbuhan dan perkembangan pemikiran dalam Islam, disamping ada banyaknya sugesti berupa ayat-ayat yang menganjurkan tentang pengembangan kemampuan berpikir. Ada banyak ayat dalam Al-Quran yang baik secara langsung maupun tidak langsung, mendesak manusia untuk berpikir, merenung atau bernalar.

Lebih lanjut, Ibnu Khaldun mencatat bahwa kunci dari maraknya peradaban Islam adalah tradisi kebebasan berpikir dan independensi ulama dari ranah politik.. Menurutnya, ulama adalah sosok yang mampu melakukan analisis dan menangkap makna-makna yang tersirat, baik dalam ranah sosial maupunteks keagamaan. Konsentrasi para ulama dalam ranah pengetahuan keagamaan, dalam sejarah peradaban Islam, telah membuktikan lahirnya peradaban yang sangat bernilai tinggi serta membawa pada pencerahan yang dapat dirasakan masyarakat di dunia. Oleh sebab itu, kita perlu memunculkan kembali tradisi intelektual yang bebas, dialogis, dan kreatif. Agama dan kebebasan berpikir merupakan dua mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan Al Quran dalam puluhan ayatnya menyebutkan pentingnya berpikir.

  1. Pluralitas Pemikiran Islam

Sebenarnya pluralisme merupakan paham yang berasal dari barat. Konsep pluralisme tidak terdapat dalam ajaran agama Islam. Tetapi, dimaklumi karena yang berkaitan dengan hal ini cukup fenomenal. Sebab, derasnya arus pemikiran dan konsep-konsepnya ke dalam dunia Islam memaksa umat Islam untuk menjustifikasinya.

Keberadaan dan perkembangan ilmu Islam dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW, ilmu itu adalah Al-Quran dan hadits yang kemudian melahirkan berbagai cabang ilmu. Ini didukung oleh perkembangan bahasa arab yang digunakan jauh sebelum masa Nabi Muhammad, lalu pasca khulafa'ul rasyidin, hingga posisi bahasa arab yang mengambil peran penting bagi perkembangan ilmu Islam selanjutnya.

Dinamika beberapa pemikiran Islam, yang merupakan khasanah Islam yang harus terus dipelihara dan dijaga eksistensinya, serta dikembangkan sesuai dengan perubahan zaman, meliputi :

Pemikiran kalam

Kalam berarti pembicaraan. Ini merujuk pada sistem pemikiran spekulatif, berfungsi untuk mempertahankan Islam dan tradisi Islam dari ancaman dan tantangan dari luar. Mutakallimin adalah orang yang menjadikan dogma atau persoalan teologis kontroversional sebagai topik diskusi dan wacana dialektik, dengan menawarkan bukti spekulatif untuk mempertahankan pendirian mereka.

Isu pertama yang berakibat pada keretakan muslim yaitu setelah wafatnya nabi Muhammad. Tentang perkara pengganti nabi dan khalifah. Puncaknya pemberontakan antara Ali bin Abi Thalib yang terbunuh dan Mu'awiah. Sebagian umat Islam talah berani membuat analisis tantang pembunuhan Utsman tersebut. Diduga inilah yang menjadi cikal bakal tumbuhnya paham Jabariyah dan Qadariyah.

Pada peristiwa arbitrase, yaitu upaya penyelesaian perselisihan Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah pada perang Jamal dan sengketa antara Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiah bin Abi Sufyan pada perang Shiffin.

Dalam perang Shiffin terjadi tahkim antara pihak Ali dan Mu'awiah. Tapi perdamaian tersebut tidak dapat diterima oleh sebagian pengikut Ali. Pelopornya Abdullah bin Wahab al-Rasybi yang dalam perkembangan selanjutnya disebut Khawarij. Kelompok Khawarij berfatwa bahwa orang yang terlibat dengan tahkim, baik menyetujui apalagi melaksanakannya dinyatakan berdosa besar. Alasannya karena mereka ingkar menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim.

Penentuan kafir atau tidak bukan lagi soal politik, tetapi soal teologi. Kata kafir yang ditunjukkan pada golongan diluar Islam, oleh Khawarij dipergunakan dengan makna yang berbeda, yaitu untuk golongan yang berada dalam Islam sendiri. Sebagai reaksi atas itu sebagian umat Islam yang dipelopori oleh Ghailan al-Damasqi, menolak tegas fatwa tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya menjadi mahzab Murji'ah. Menurut mereka fatwa itu tidak didukung oleh nash, maka kepastian hukumnya ditunda saja, diserahkan kepada Allah di akhirat kelak. Reaksi kelompok lain adalah pengikut faham Abdullah bin Saba', yang sangat mengagungkan Ali bin Abi Thalib, mereka dikemudian hari dikenal dengan Syi'ah.

Persoalan dosa besar antara Khawarij dan Murji'ah berlanjut sampai masa Hasan Basri. Pada suatu hari ia mengajar, datanglah seorang menanyakan tentang dosa besar yang dipertentangkan diatas, apakah membawa kekafiran atau tidak. Pada saat Hasan Basri merenungkan jawabannya, berdirilah salah seorang muridnya Wasil bin Atho' dan berkata: "orang itu bukan kafir dan bukan pula mukmin, tepatnya dia manzilatain dan dapat disebut fasik". Setelah itu, ia keluar dari kelompok belajar sambil menjelaskan kepada orang-orang yang ada sekitarnya. Sejak itu Wasil dan para pengikutnya disebut dengan  Mu'tazilah.

Berlanjut sampai masa khalifah al-Makmun yang menetapkan bahwa paham Mu'tazilah sebagai faham resmi dari kekhalifahan dan rakyat harus mengikutinya. 40 tahun lamanya paham Mu'tazilah berjalan pada saat itu Abul Hasan Asy'ari dan dibantu Imam Maturidi. Dua ulama ini merupakan tokoh dari paham Ahlus Sunnah wal Jamaah yang menjembatani paham-paham yang saling bertentangan itu.

Selain faktor politis yang menyebabkan munculnya perbedaan pada faham teologi, yaitu pertemuan antara ajaran Islam dengan kebudayaan lain. Perkenalan umat Islam dengan kebudayaan dan peradaban hal utama yang berkaitan dengan filsafat ketuhanan, ditunjang pula dengan kesenangan umat Islam, sehingga mengharuskan umat Islam mempelajari pengetahuan, sistem berpikir, dan filsafat.

Pemikiran kaum modern yang kritis cenderung memandang bahwa pemikiran kalam klasik terlalu teoritis, teosentris, elitis, dan konsepsional yang statis. Saat ini yang dibutuhkan umat Islam adalah ilmu kalam yang bersifat antroposentris, praktis ,populis ,transformative dan dinamis. Misi utama Islam adalah rahmatan lil'alamin. Islam datang untuk menyelamatkan umat manusia dari praktik de-humanisasi yang berlangsung terus menerus disepanjang zaman. Manusia dalam Islam adalah Abdullah dan sekaligus khalifatullah. Posisi ini harus dalam konstelasi yang bersamaan diwujudkan. Tuhan lewat firman-Nya hanya menghendaki manusia biasa tetap dalam koridor sebagai seorang hamba yang tidak jatuh dalam kegelapan dan kebodohan. Melalui kalamnya Tuhan memberi manusia petunjuk.

Pemikiran fiqh

Islam dikenal agama yang ajarannya menuntut dilakukannya keadilan sosial. Sebagai salah satu langkah untuk itu, menumbuhkan seperangkat aturan untuk mengatur hidup kemasyarakatan umumnya. Ayat-ayat yang mengandung dasar hukum, baik ibadah maupun dalam kemasyarakatan, disebut ayat ahkam.

Pada masa Nabi Muhammad SAW, setiap persoalan yang tidak dapat diselesaikan dengan mudah dapat diselesaikan, karena Nabi merupakan pemegang otoritas yang menjadi pemutus pada setiap persoalan. Segala ketentuan hukum, bersumber pada wahyu dari Tuhan.

Pada masa sahabat, daerah semenanjung arab memiliki kebudayaan tinggi dan susunan masyarakat yang lebih sederhana dibandingkan dengan masyarakat arab. Dengan demikian, persoalan kemasyarakatan yang timbul lebih sulit penyelesaiannya. Untuk mencari penyelesaian bagi soal-soal baru itu, para sahabat mengali pada Al-Quran dan sunnah. Tetapi tidak semua persoalan yang timbul dapat dikembalikan kepada Al-Quran atau sunnah nabi. Untuk itu, khalifah dan para sahabat mengadakan ijtihad.

Sejarah Islam dengan ajarannya yang luhur telah mengubah masyarakat arab jahiliah menuju masyarakat Islami. Perubahan tersebut didasarkan atas rumusan prinsip umum tentang iman, ibadah, kaidah dakwah, hukum keluarga, hukum muamalah, hukum pidana dan sanksi, sebagai berikut :

  1. Keterkaitan hakim untuk menetapkan kemaslahatan umum atas dasar teks suci, yaitu Al-Quran dan sunnah;
  2. Perintah melaksanakan keadilan, keihsanan, persaan dan ukhuwah insaniah;
  3. Larangan perang atas dasar ofensif dan kebolehan melakukan perang berdasar pertimbangan defensive serta meningkatkan hak dan kehormatan wanita;
  4. Terjaminnya hak milik pribadi, keharusan memenuhi janji dan perikatan serta larangan melakukan tipu daya;
  5. Perbedaan hak adami dan hak Allah swt, yakni hak pribadi dan hak Allah swt dalam sanksi.

Perkembangan Pemikiran di Bidang Fiqih

  1. Pembentukan dimulai sejak masa Nabi muhammad, khalifah, hingga pertengahan awal abad hijriah. Tahap ini sumber hukum meliputi wahyu serta akal, yaitu Al-Quran, sunnah, ijmak dan qiyas.
  2. Pembentukan fiqih yang dimulai paruh abad pertama sampai abad II H. Tahap ini fiqih berbentuk mahzab.
  3. Pematangan bentuk yang dimulai sejak awal abad II hingga pertengahan abad IV H. Pada masa ini ijtihad dalam bentuk fiqih dikodifikasi dan dilengkapi dengan ilmu ushul fiqih.
  4. Masa kemunduran fiqih yang ditandai oleh dua peristiwa penting, yakni jatuhnya baghdad ke tangan bangsa mongol dan di tutupnya pintu ijtihad oleh para ulama. Pada masa ini fuqaha hanya menempuh metode al-mutun,syarah al-hawasyi,dan taqrirat dalam menuliskan kitab fiqih.

Pemikiran Filsafat

            Dalam perspektif falasifah, filsafat dan agama merupakan dua pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Apa yang hendak dibedakan dengan tajam disini bukan filsafat, yang dipahami sebagai sistem rasional pemahaman dan wahyu yang dirumuskan secara bebas dan agama yang dipahami sebagai tradisi wahyu secara total. Filsuf-filsuf besar seperti : Al-kindi, Al-farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Suhrawardi, Fazlur Rahman, dll.

Golongan yang banyak tertarik kepada filsafat yunani adalah kaum Mu'tazilah. Abu Al-Huzail, Al-Nazzam, Al-Jahiz, Al-Juba'I, dll banyak membaca buku-buku filsafat yunani dan pengaruhnya dapat dilihat dalam pemikiran-pemikiran teologi mereka. Disamping kaum mu'tazilah, muncul pula filsuf-filsuf Islam.

Al-Ghazali merupakan filsuf besar terakhir di dunia Islam bagian timur. Di Indonesia ia sangat terkenal dengan kitabnya Ihya ' Ulul al-Din. Di dunia barat al-Ghazali dikenal dangan nama Abuhamet dan Algazel. Dia diberi gelar Hujjatul-Islam.

Filsuf-filsuf besar selanjutnya muncul di Andalusia yaitu, Abu Al-Walid. Ia lahir di Cordova pada tahun 1126 M dan wafat di Marakesh 1198. Setelah kematiannya, tradisi perenungan di kalangan musli agak meredup.

Di Persia, fase kebangkitan filsafat ditandai dengan kolaborasi yang mistisisme, yang dikenal dengan filsafat Persia atau isyraqi dan diresmikan oleh Suhrawadi. Filsafat sebagai satu bagian yang sah dari Islam. Filsafat bukanlah saingan agama atau teologa, sebagaimana pandangan dari kelompok revivalisme atau ortodoksi Islam. Tradisi berfikir yang kuat dalam Islam telah manghantarkan umat Islam memasuki ke-emasannya sebagai pusat peradaban dunia.

Pemikiran Tasawuf

Tasawuf adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia dalam upayanya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang hakekat realitas dan kebahagiaan rohaniah (Abu Wafa' al-Ghanimi, al-Taftazani,sufi dari zaman ke zaman). Dengan definisi ini, jelas tasawuf tidak bertentangan dengan Islam, zuhud, tawakkal, dan sabar.

Tasawuf juga berarti amal dan analisis. Amal yang melandaskan pada mujahadah. Selain itu, juga mengorbankan jiwa dan harta yang Nampak ke dalam alam batin.

Tasawuf Abad 1 Hijriah

Pada tahun 600-700 M, tasawuf belumlah memiliki seperangkat konsepsi yang runtut dan ia masih murni ajaran moral. Tanda yang menonjol adalah asketisme (zuhud).

Pertama, Aliran Madinah. Aliran ini mewarisi konsistensi kuat terhadap ajaran yang dibawa Nabi SAW. Kedua, Aliran Basrah. Terkenal dengan sifatnya yang kritis dan suka dengan hal-hal logis serta cenderung pada aliran Mutazillah dan Qadiriyah. Ketiga, Aliran Kufah. Bercorak idealistis, cenderung pada syiah dan Rajaiyyah. Tokohnya adalah Sufyan al-Tsauri, Sufyan ibn Uyainah.

Tasawuf Abad 3-4 Hijriah

Aliran yang menonjol pada masa ini adalah tasawuf yang selalu merunjuk pada nafas Islam dan yang kedua adalah tasawuf sebagai penjernihan moral. Mereka menumbuhkan sendiri hubungan manusia dengan Allah.

Tasawuf Sunni Abad 5 Hijriah

Pada abad ini tasawuf mulai dikembalikan lagi pada Al-Quran dan Sunnah. Tokohnya adalah al-Qusyairi dan Harawi, di samping sufi besar abad ini; al-Ghazali. Dia mengkritik keras para teolog yang menjawab tantangan pemikiran tidak dengan mangkaji, namu dengan membenturkan pendapat-pendapat, berdasarkan premis-premis.

Semua jawaban Al-Ghazali terhadap filsafat dituliskannya dalam Tahafut al-Falasifah. Dalam tasawufnya, Al-Ghazali membedah semua konsep tasawuf pendahulunya, seperti maqam, fana', hulul, mahabbah, dzauq, ma'rifah dan sebagainya, lalu didudukkan pada tempatnya. Dengan begitu, posisi tasawuf di mata para ulama salaf yang sebelumnya dianggap sesat, menjadi diterima.

Tasawuf Filosofis

Dalam dua abad, yaitu sekitar abad VI dan VII, tasawuf filosofis ini mencapai titik kesmpurnaan. Ajaran tasawuf ini memadukan visi mistis dan visi rasional penggagasnya. Tasawuf ini sangat isoteris, cenderung samar dan hanya dipahami oleh para penempuh jalannya. Tokohnya adalah Surahwardi, Ibn Masarra, Ibn 'Arabi, dan Ibn Sab'in. Dalam konsep penyatuan makhluk dengan Tuhan ini juga tertuang dalam karya sastra para sufi, di antaranya adalah Ibn al-Faridh dan Jalalludin Rumi.

Tasawuf Pendiri Tarekat

Tarekat diberikan sufi yang bergabung dengan seorang guru secara kolektif, yang menggelar acara tertentu dan memiliki ritual tertentu. Tokoh yang terkenal adalah Abdul Qadir Jailani, Ahmad al-Rifa'i, dan Najmuddin Kubra.

Pemikiran Islam Kontemporer

Tahun 1967 dianggap sebagai "penggalan" dari keseluruhan wacana Arab modern, karena masa itulah yang merubah cara pandang bangsa Arab terhadap beberapa persoalan sosial-budaya yang dihadapinya.

Langkah pertama yang dilakukan oleh para intelektual Arab adalah menjelaskan sebab-sebab kekalahan tersebut. Di antara sebab-sebab yang paling signifikan adalah masalah cara pandang orang Arab kepada budaya sendiri dan kepada capaian modernitas.

Secara implisit, topik semacam itu pernah dilontarkan oleh Muhammad 'Abduh dan 'Abd al-Rahman Kawakibi. Namun sebagai satu wacana epistemis masalah tersebut baru mendapat sambutan luas pada dua dekade terakhir.

Istilah tradisi dan modernitas yang digunakan dalam diskursus pemikiran Arab kontemporer, merujuk pada terma idiomatik yang bervariasi, terkadang digunakan al-Turats wa al-Hadatsah, al-Ashlah wa al-Hadatsah, al-Turats wa al-Mu'ashirah, dan dalam bentuk yang tidak konsisten digunakan juga istilah al-Qadim wa al-Jadid. Akan tetapi istilah turats paling sering digunakan dan paling sering disebut.

Secara literal, turats berarti warisan atau peninggalan, yaitu berupa kekayaan ilmiah yang ditinggalkan atau diwariskan oleh orang-orang terdahulu.

Tidak seperti turats, hadatsah merupakan konsep pinjaman yang diambil dan ditransliterasikan dari bahasa Barat.

Turats dinilai telah menyatu dalam kesadaran bangsa Arab sejak empat belas abad lalu, sementara hadatsah baru dating tidak lebih dari dua ratus tahun lalu.

Secara umum ada tiga tipologi pemikiran yang mewarnai wacana pemikiran Arab kontemporer, yaitu:

Pertama, tipologi transformatik. Tipologi ini mewakili para pemikir Arab yang secara radikal mengajukan proses transformasi masyarakat Arab-Muslim dari budaya tradisional-patrikal kepada masyarakat rasional dan ilmiah.

Kedua, adalah tipologi reformistik. Kelompok ini lebih pesifik lagi dan dibagi kepada dua kecenderungan.

Kecenderungan pertama, para pemikir yang memakai metode pendekatan rekonstruktif, yaitu, melihat tradisi dengan perspektif pembangunan kembali.

Kecenderungan kedua dari tipologi pemikiran reformistik adalah penggunaan metode dekonstruktif. Metode dekonstruksi merupakan fenomena baru untuk pemikiran Arab kontemporer.

Ketiga, adalah tipologi pemikiran ideal-totalistis. Ciri utama dari tipologi ini adalah sikap dan pandangan idealis terhadap ajaran Islam yang bersifat totalistis. Kelompok ini sangat commited dengan aspek religius budaya Islam.

PENUTUP

Simpulan

Perbedaan dalam dunia ini adalah sunatullah. Perbedaan pendapat dalam Islam, khususnya dalam memahami ayat mutasyabihat dan masalah-masalah ijtihadiyah diperbolehkan. Akan tetapi, perbedaan dalam memahami ayat muhkamat dan masalah-masalah ushul, Islam sangat ketat.

Yang diperbolehkan adalah perbedaan dalam penjelasan. Misalnya, adanya hari akhir serta surga dan neraka adalah pasti. Tidak boleh ada pemahaman yang mengatakan bahwa hari akhir itu masih belum pasti apakah pemahaman bahwa surga dan neraka itu hanyalah metafora dan itu hanya di dunia.

Untuk menghindarkan umat dari perpecahan tidak ada jalan lain kecuali merujuk kepada Al Quran dan sunnah. Fiqh kita dibedakan menjadi empat mazhab yang berbeda, tetapi itu bukan berarti umat Islam pecah jadi empat. Yang menyebabkan perpecahan itu bukan perbedaan, tapi kemiskinan ilmu.

Jika perbedaan pendapat itu didasari oleh ilmu, pengetahuan yang benar, maka akibat yang ditimbulkan dari perbedaan itu adalah berkembangnya ilmu.

DAFTAR PUSTAKA

Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2012. Misykat : Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam. Jakarta : INSISTS -- MIUMI

W. Montgomery Watt. 1990. Kejayaan Islam : Kajian Kritis dati Tokoh Orientalis. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya. hlm. 23

http://sanaky.staff.uii.ac.id/2009/02/05/bahan-kuliah-dinamika-pemikiran-dalam-islam/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun