Kedua, epistemologi irfani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah kehendak. Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan. Epistemologi ini lebih mengandalkan pada rasa individual, daripada penggambaran dan penjelasan, bahkan ia menolak penalaran. Penganut epistemologi ini adalah para sufi, oleh karenanya teori-teori yang dikomunikasikan menggunakan metafora dan tamsil, bukan dengan mekanisme bahasa yang pasti.
Ketiga, epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk. Epistemologi burhani ini dalam bidang keagamaan banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti Mu'tazilah. Tokoh pendiri epistemologi ini adalah Aristoteles. Karena epistemologi ini lebih berpedoman pada tradisi berpikir yunani, maka ciri utamanya adalah penggunaan akal secara maksimal.
Semangat mencari kebenaran dengan metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana muslim pada abad keemasan Islam, antara abad IX dan XII, yang dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani dan hampir padam dengan jatuhnya kekaisaran Romawi, dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam.
Proses pembentukan pemikiran itu umumnya diawali dengan berbagai peristiwa, misalnya ada persentuhan pendapat, agama, kebudayaan atau peradaban antara satu dengan yang lainnya. Persentuhan tersebut tidak jarang menimbulkan ketidaksesuaian, benturan, Â tapi juga sering terjadi kecocokan. Proses perkembangan pemikiran muslim, terdapat dalam tiga fase dan erat kaitannya dengan sejarah Islam. Fase tersebut diantaranya meliputi:
Fase pertama, pemikiran atau persoalan pertama muncul dalam Islam pada saat wafatnya Nabi Muhammad SAW. Pasca Rasulullah, mulailah periode Khulafa al-Rasyidun mengalami fase baru. Pada periode ini muncul persoalan baru yang diselesaikan dengan pemikiran. Anshar dari suku Khazraj sudah kumpul di Tsaqifah Bani Sa'idah. Pada saat itu mereka hampir memilih Sa'ad sebagai khalifah dengan alasan merekalah yang menolong kaum Muhajirin saat hijrah ke Madinah.
      Disisi lain, golongan Muhajir yang mengklaim bahwa merekalah yang berhak untuk menduduki jabatan kekhalifahan. Mendengar berita dan kejadian di Tsaqifah Bani Sa'idah, Abu bakar dan Umar Bin Khatab segera tiba disana, yang semula berada di dekat Rasulullah. Dua kelompok tersebut akhirnya memilih Abu Bakar sebagai khalifah pertama.
      Menjelang wafatnya Abu Bakar, ditunjuklah Umar Ibn Khattab sebagai penggantinya. Setelah Umar wafat, kemudian pergolakan politik selanjutnya diwarnai dengan kegagalan Ali Bin Abi Thalib dalam pemilu. Saat itu yang memenangkan adalah Usman bin Affan sebagai khalifah ketiga. Hal ini mengakibatkan adanya pergolakan politik masa kekhalifahan Ali dan pada gilirannya menimbulkan perang Jamal antara entara Ali dengan Aisyah dan perang Shiffin antara Ali dan Muawiyah.
      Adanya kasus perang Siffin menjadi faktor utama munculnya golongan Khawarij. Pergolakan politik itu diruncingkan oleh adanya pendapat Khawarij, bahwa orang-orang yang terlibat dalam perang Jamal dan Siffin adalah berdosa besar dan kafir.
Pernyataan kaum khawarij tidak langsung diterima kaum muslim. Lalu lahir kelompok pembela Ali (syi'ah) yang menolak kesimpulan kaum Khawarij. Disisi lain muncul kelompok yang berusaha netral yaitu Murji'ah, mereka tidak ingin menyalahkan satu dengan lainnya. Menurut mereka, segala hukum perbuatan manusia yang belum jelas nash, ditangguhkan hukumnya sampai di akhirat kelak.
Fase kedua, akibat ekspansi Islam menuju ke berbagai penjuru dunia. Ekspansi yang dilakukan Islam, ternyata tidak berdampak pada ajaran tetapi juga semakin memperkaya khasanah kebudayaan Islam. Dikarenakan akulturasi budaya arab Islam dengan budaya lokal daerah yang di taklukkan. Perembesan budaya ini, karena interaksi kaum muslim dengan orang yang mempelajari tradisi spekulatif yunani, dan penerjemahan secara besar-besaran khasanah intelektual yunani kedalam bahasa arab di masa Abbasiah.
Fase ketiga, akibat adanya perubahan masyarakat dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, dari pandangan atau cara berpikir yang menjadi lebih luas. Kehidupan pribadi makin lama makin kompleks dan menimbulkan masalah-masalah baru yang memerlukan solusi.