Langkah pertama yang dilakukan oleh para intelektual Arab adalah menjelaskan sebab-sebab kekalahan tersebut. Di antara sebab-sebab yang paling signifikan adalah masalah cara pandang orang Arab kepada budaya sendiri dan kepada capaian modernitas.
Secara implisit, topik semacam itu pernah dilontarkan oleh Muhammad 'Abduh dan 'Abd al-Rahman Kawakibi. Namun sebagai satu wacana epistemis masalah tersebut baru mendapat sambutan luas pada dua dekade terakhir.
Istilah tradisi dan modernitas yang digunakan dalam diskursus pemikiran Arab kontemporer, merujuk pada terma idiomatik yang bervariasi, terkadang digunakan al-Turats wa al-Hadatsah, al-Ashlah wa al-Hadatsah, al-Turats wa al-Mu'ashirah, dan dalam bentuk yang tidak konsisten digunakan juga istilah al-Qadim wa al-Jadid. Akan tetapi istilah turats paling sering digunakan dan paling sering disebut.
Secara literal, turats berarti warisan atau peninggalan, yaitu berupa kekayaan ilmiah yang ditinggalkan atau diwariskan oleh orang-orang terdahulu.
Tidak seperti turats, hadatsah merupakan konsep pinjaman yang diambil dan ditransliterasikan dari bahasa Barat.
Turats dinilai telah menyatu dalam kesadaran bangsa Arab sejak empat belas abad lalu, sementara hadatsah baru dating tidak lebih dari dua ratus tahun lalu.
Secara umum ada tiga tipologi pemikiran yang mewarnai wacana pemikiran Arab kontemporer, yaitu:
Pertama, tipologi transformatik. Tipologi ini mewakili para pemikir Arab yang secara radikal mengajukan proses transformasi masyarakat Arab-Muslim dari budaya tradisional-patrikal kepada masyarakat rasional dan ilmiah.
Kedua, adalah tipologi reformistik. Kelompok ini lebih pesifik lagi dan dibagi kepada dua kecenderungan.
Kecenderungan pertama, para pemikir yang memakai metode pendekatan rekonstruktif, yaitu, melihat tradisi dengan perspektif pembangunan kembali.
Kecenderungan kedua dari tipologi pemikiran reformistik adalah penggunaan metode dekonstruktif. Metode dekonstruksi merupakan fenomena baru untuk pemikiran Arab kontemporer.