Di lobi, semuanya sudah siap. Ajana, Om Dimas, dan calon istrinya pun ikut. Mereka semua berseragamkan pakaian pantai. Aku memasuki mobil yang sudah terparkir di depan pintu lobi hotel. Bima, Bastian, dan Ajana ikut ke mobilku. Bastian duduk di kursi belakang dan mengajak Ajana untuk duduk bersamanya. Aku menertawai Bima yang kelihatan jealous melihat Bastian dengan Ajana.
"Hahaha, Bim kenapa sih?",
"Aku duduk sama kamu, ya Bi!" (Dengan wajah yang terus cemberut),
Sekitar satu setengah jam lamanya kami melakukan perjalanan dari Ubud ke Pantai Pandawa. Kebiasaan Bima yang suka mual-mual karena mabok darat membuat mobil yang kami tumpangi paling terlambat tiba disana.Â
Cuaca hari ini sangat mendukung untuk berjemur di pantai. Gelombang lautnya pun sedang tenang, cocok untuk berselancar di bawah sinar matahari yang terik. Wah indah sekali pemandangannya. Pantai ini berada di balik perbukitan, dan sering disebut dengan Pantai Rahasia.
Disekitar pantai terdapat dua tebing besar yang salah satu sisinya dipahat lima patung Pandawa dan Kunti. Aku turun dari mobil dan meminta tolong ayah untuk menurunkan papan selancar yang dibawanya. Asal kalian tahu, selain piano aku pun menyukai olahraga surfing. Almarhum kakekku yang mengajarkannya. Sebenarnya, aku tidak suka membicarakan ini. Terkadang, pantai bisa membuatku bahagia karena pasirnya yang berbisik dan langitnya yang luas membiru. Tetapi, pantai juga bisa mendatangkan kesedihan karena suara gemuruh gelombangnya yang membuat aku mengenang akan kematian, kakek.
"Kamu beneran mau surfing lagi?", tanya Bima kepadaku
"Iya, Bim. Dengan cara ini aku bisa mengenang walaupun menyakitkan",
"Yaudah, mari aku bantu bawakan papan seluncurmu",
Aku mengajak Bima dan yang lainnya untuk meminum es kelapa terlebih dahulu di sebuah warung di pinggiran pantai. Ayah, Om Rio, Om Andre, dan Om Dimas bermain voli pantai sedangkan bunda, Tante Sienna, Tante Keith, dan Tante Ivanna sedang memakai sun protection untuk berjemur di bawah sinar matahari yang terik.Â
Bima dan Bastian sedang memesan es kelapa untuk kami. Disini, hanya ada aku dan Ajana saja. Kami saling terdiam. Tidak ada yang memulai pembicaraan sampai akhirnya,
"Nama kamu Bintang kan?", tanya Ajana kepadaku
"Iya. Ajana kamu wanita yang di pesawat itu kan?",
"Benar. Oh iya ini aku kembalikan sapu tanganmu",
"Tidak perlu, untukmu saja",
Aku tidak suka mendapatkan kembali barang seperti sapu tangan yang sudah diberikan. Jadi, aku tolak saja pengembalian sapu tanganku itu dari Ajana. Bima dan Bastian datang membawakan empat buah es kelapa segar untuk kami. Aku rasa gelombang laut sudah semakin bagus untuk diselancari.Â
Aku mengganti pakaianku agar terasa nyaman saat dipakai berseluncur. Bima, Bastian, dan Ajana mengawasiku dari pantai. Ajana berbisik kepadaku, bahwa dia ingin diajarkan surfing juga. Dengan senang hati aku membantunya. Tetapi, Bastian menolak. Dia bilang itu akan sangat berbahaya untuk Ajana. Menurutku, tidak apa lah untuk mencoba sekali selagi orangnya mau. Â Siapa dia berani melarang-larang kemauan seseorang. Apalagi untuk Ajana calon saudaraku.Â