Sore itu sembari menghabiskan waktu, aku, Bima, dan Bastian berjalan-jalan di tengah kota Lyon. Aku sengaja merepotkan mereka untuk mencarikanku sebuah aromanis warna-warni berbentuk bunga yang besar. Bak putri raja yang sedang menyuruh para pelayan untuk mengabulkan permintaannya. Mereka mau saja menuruti perintahku. Baik sekali memang Bima dan Bastian. Aku menyayangi keduanya.
Kami bertiga duduk di pinggiran jalan kota Lyon sambil memandangi orang-orang yang berlalu lalang. Bima sedang kembali kepada kebiasaannya yang berbakat yaitu melukis. Entah apa yang ia sedang lukis. Mungkin menjiplak salah satu mural yang ada di kota ini. Memang, kota Lyon terkenal akan kota dengan banyak mural di setiap dinding bangunan dan gedung-gedungnya. Bahkan, kota ini disebut sebagai kota mural di Perancis.
                       ***
Aku terbangun dari tidur untuk mengambil segelas air putih hangat di dapur. Di ruang tengah, Bima masih terbangun sedang menonton film kesukaannya, yaitu Transformers dengan sub judul terbarunya yaitu Transformers : The Last Knight. Aku menghampiri lalu duduk di sebelahnya. "Kalo nonton film kaya ginian, ajak-ajak dong Bim..", pintaku dengan alih mengganggunya. Dia tersenyum lalu megacak-acak rambutku yang tidak aku ikat. Semakin lama, semakin mengantuk juga. Aku dan Bima tertidur di sofa ruang tengah hingga dini hari.
Mamasuki hari-hari perkuliahan aku mulai sibuk dengan segala macam aktivitas. Lebih sibuk dan tugas banyak menumpuk dibandingkan saat SMA. Minggu-minggu pertama di kampus masih terasa asing. Aku, Bima, dan Bastian berkuliah di salah satu kampus terfavorit di kota ini bernama Universit de Lyon. Namanya juga Perancis, ya semua mahasiswa dan pengajar menggunakan bahasa Perancis ketika kegiatan perkuliahan. Untungnya, karena kakekku merupakan penduduk asli negara ini, maka sedari kecil ia sudah mengajarkan aku sedikit demi sedikit bahasanya.
                        ***
PART 8 :SEMUA YANG SUDAH DITATA DENGAN BAIK, HANCUR
Sepulang kuliah, aku dan kedua sahabatku mampir ke kebun anggur yang jaraknya tidak jauh dari komplek rumah kami. Aku ingin menyaksikan bagaimana serunya memanen anggur. Telepon dari saku celanaku berdering. Ada telpon dari bunda. Katanya, ada kabar buruk bahwa Ajana..., Ajana meninggal? Mendengar itu, aku tidak bisa berkata apa-apa. Teleponku, aku jatuhkan lalu menunduk dan menangis di depan kedua sahabatku. Bima mengambil teleponnya dan berbicara pada bunda. Ajana sakit Demam Berdarah dan mengalami trauma berat akibat kecelakaan di laut saat di Bali.
Aku merasa bersalah atas kepergiannya. Bastian menangis, lalu berlari ke rumah. Aku dan Bima mengejarnya. "Semuanya salah kamu, Bi! Kalo aja hari itu kamu ga so soan kangen sama kakekmu itu, ga pengen surfing, ini semua ga akan terjadi! Ajana pasti ga akan pergi!", bentak Bastian kepadaku. Aku mencoba menjelaskan dan menenangkannya bahwa semua itu merupakan kecelakaan dan takdir. Semua terjadi karena kehendak yang maha kuasa. "Kamu gabisa nyalahin aku gitu aja, Bas. Semua itu kecelakaan dan sudah digariskan oleh Tuhan", jelasku padanya.
Aku melihat Bima, dia pun sama pusingnya mendengar kejadian ini. Bima pun sama, sama sama menyalahkanku. Aku kesal, aku marah kepada mereka. "Bas, kamu sayang sama Ajana?", tanyaku padanya. Dia menjawab, "Lebih dari kalian!", masih dengan nada marahnya. Aku terkejut mendengar itu. Rasanya hatiku hancur. Aku kira persahabatan kita di atas segalanya. Tetapi, menurut Bastian tidak. Ajana yang segalanya. Aku menangis, aku pergi dari rumah. Entahlah, aku tidak punya tujuan. Aku diam saja di tempat ketika aku dan kedua sahabatku menghabiskan aromanis berbentuk bunga besar di hari pertama kami sampai di Lyon. Aku menangis mengingat-ingat pengalaman persahabatan kami selama delapan belas tahun yang menyenangkan. Tetapi, mendengar ucapan Bastian tadi, aku merasa semua itu tidak ada apa-apanya.
Aku masih duduk di pinggiran kota ini, mataku sembab. Orang-orang di hadapanku berlarian sambil berhamburan. Mereka semua kenapa? Sedang dikejar anjing? Atau Satpol PP? Aku melihat cahaya terang di salah satu bangunan di gedung kota itu yang agak dekat dengan kediamanku. Tiba-tiba suara ledakan terdengar begitu kencang. Aku berlari begitu cepat menjauhi bangunan itu. Badanku terpental lalu kepalaku menghantam trotoar jalan. Penglihatanku buram, badanku lemas tak bertenaga. Terasa sekali, banyak darah yang bercucuran di keningku.