Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | "Homme"

7 November 2020   14:43 Diperbarui: 8 November 2020   20:12 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak awal musim semi lalu rutin melakukan jogging sore di pinggiran Tolouse, saya sering melihat lelaki itu duduk di sebuah kursi sepanjang satu meter di atas jalanan yang menyisir sungai Garonne, tak jauh dari jembatan Neuf. Wajahnya yang hampa menghadap ke sungai, matanya tajam namun menatap ketiadaan. Kata orang, ia memang hampir selalu di sana saban sore, dan hanya akan pulang ketika matahari tenggelam.

Tidak ada yang berani bertanya apa yang sedang ia lakukan, atau hanya sekadar untuk menyapanya karena dulunya orang itu dikenal sebagai anggota mafia Marseille yang mudah naik darah dan berlaku kasar serta pernah terlibat berbagai tindak kriminal. Ia diketahui agak berubah lebih baik semenjak menikahi seorang wanita, yang kata orang adalah bekas korban perkosaan yang ia lakukan sendiri.

Sayangnya, sekitar dua bulan lalu istrinya itu ditemukan tewas tenggelam di sungai Garonne. Tetangga dan orang-orang di sekitar apartemennya beranggapan bahwa pria itulah yang bertanggung jawab atas kematian istrinya. Lebih lanjut, sebagian besar orang meyakini kalau istrinya tidak tenggelam karena bunuh diri, melainkan sengaja dibunuh oleh lelaki itu dengan diceburkan ke sungai mengingat istrinya yang memang tak bisa berenang. Terlebih lagi karena tetangganya mengaku sempat mendengar cekcok antara ia dan istrinya tepat dua hari sebelum istrinya meninggal.

Namun hasil autopsi tidak menunjukkan adanya bekas tanda-tanda paksaan atau kekerasan, juga tak ditemukan adanya bukti yang mengarah pada lelaki itu sehingga ia pun lolos dari jerat hukum.

Entah benar atau tidaknya kabar-kabar itu, saya sendiri tetap merasa kasihan kepadanya. Raut dan pandangannya yang benar-benar menggambarkan kesepian serta kesedihan yang mengekal.

Setiap kali melintas sekitar dua atau tiga meter di depannya, di dekat pohon berangan itu, saya selalu memelankan lari saya, mencuri pandang ke arahnya, menyaksikan wajahnya yang nampak menderita. Semacam menyimpan perasaan bersalah.

Saya lakukan itu selama lebih dari dua minggu kebelakang. Seingat saya, pernah di hari kedelapan belas, ketika saya memerhatikannya, ia terlihat berbalik memandang ke arah saya dengan sorot tajam seolah ingin menikam. Saya pun reflek segera memalingkan wajah dari hadapannya dan segera mempercepat lari saya. Saya takut sekali waktu itu. Bahkan sempat dua hari saya memilih untuk mengambil jalan mememutar ketimbang lewat di hadapan lelaki itu.

Saya kembali melewati jalan itu dan melintas di depannya lagi dua hari kemudian, terlihat ia juga sedang memandang ke arah saya. Namun kali itu saya mencoba untuk tetap tenang dan bersikap biasa karena tatapannya memang tidak sebengis yang pertama. Beberapa hari berlalu, saya melontarkan seutas senyum pada lelaki itu. Ia mengangguk. Selang sehari saya beranikan diri untuk menyapa dan mengucapkan selamat sore. Ia tersenyum. Itu kali pertama saya melihat ia tersenyum.

Lalu kami mulai bertegur sapa. Sekali, dua kali, tiga kali. Hingga pada akhirnya, ia meminta saya untuk singgah dan duduk. Sukar untuk saya percaya bahwa orang itu berbicara kepada saya.

"Kau pasti sudah mendengar apa yang orang lain katakan tentang aku," kata lelaki itu, membuat saya agak gugup.

"Ya, tapi saya tidak bisa menyimpulkan secepat mereka," sahut saya.

"Benarkah?" tanya lelaki itu.

Saya melihat ada simpul senyum kecil di wajahnya.

"Apa yang Anda lakukan di sini setiap hari?"

"Kau penasaran? Persis seperti apa yang kau lihat dariku setiap hari."

"Maaf. Saya tak mengerti."

"Apa yang kau lihat dariku setiap hari?"

Ia balik bertanya. Saya bingung. Semacam takut bersuara. Malu, karena ia tahu saya selalu memerhatikannya. Saya mencoba untuk tetap tenang.

"Saya tidak tahu. Mungkin Anda sedang menunggu seseorang."

"Lalu?"

"Lalu apa?"

"Bukan seseorang."

"Lantas?"

"Aku menunggu jodohku menjemput."

"Bukankah jodoh itu berbentuk orang?"

"Mungkin. Tapi ia berbeda. Ia jodohku yang sebenarnya."

"Bukankah istri Anda itu jodoh Anda?"

"Mungkin. Tapi aku belum menemukan persamaan antara istri dan jodoh. Karena istriku telah pergi. Tapi mungkin jodohku akan membawa istriku kembali kepadaku."

Saya semakin tak mengerti apa yang dikatakan oleh pria itu dan sempat berpikiran kalau ia memiliki gangguan jiwa.

"Istriku telah pergi meninggalkanku, tepat di bawah sana," sambungnya sambil menunjuk ke arah aliran sungai Garonne, dari bawah jembatan Neuf. "Bukan aku yang membuatnya pergi. Kau percaya itu?"

"Iya," jawab saya.

"Kau berbohong. Kau seperti kebanyakan orang. Berpura-pura ikut berduka, tapi meneriaki aku pembunuh di belakang. Bukan begitu?"

"Tidak. Saya tidak seperti itu."

"Benarkah?"

Saya mengangguk.

"Anda mencintai istri Anda?"

"Tidak."

Saya melihat ia menahan airmatanya untuk tidak keluar.

"Kenapa demikian?"

"Karena orang lain tak akan mengerti meski aku berkata iya."

Saya tertegun.

"Seorang pembunuh pada akhirnya tidak mungkin mencintai istri yang dibunuh olehnya, bukan?"

"Tapi bukankah Anda bilang anda tidak membunuhnya?"

"Ya, persis sepertimu. Orang-orang meragukanku. Lagipula aku tidak mengenalmu, sebaliknya, kau juga mengenalku hanya melalui omongan orang lain."

"Tidak, maksud saya bukan begitu."

"Kau tak perlu berpura-pura peduli padaku."

"Saya tak berpura-pura."

"Pergilah. Lanjutkan larimu."

Saya kembali berdiri dan mulai berjalan meninggalkannya. Tetapi setelah beberapa langkah ia memanggil saya.

 "Tunggu!"

Saya menoleh.

"Siapa namamu?"

"Nama saya Eustache. Ada apa?"

"Bukan apa-apa."

Saya masih kebingungan dengan percakapan yang baru saja terjadi, percakapan saya bersama lelaki kesepian itu, yang sepertinya dipenuhi penyesalan, serta bahasanya yang berbelit dan sulit saya pahami. Dari jauh saya melihat ia masih memerhatikan saya tanpa memedulikan orang lain yang berlalu-lalang di hadapannya.

Semenjak percakapan itu, kami  jadi sedikit lebih akrab. Ia mulai sedikit lebih mau terbuka dan sedikit banyak bercerita tentang kehidupannya, tentang dirinya yang dijauhi oleh orang sekitar setelah kematian istrinya. Orang-orang beranggapan bahwa ia tidak mencintai istrinya dan menikahinya karena terpaksa.

"Orang-orang tidak mengetahui kalau perempuan itu adalah kekasihku. Sejak awal ia adalah kekasihku. Ia sama sekali tidak melawan ketika aku melakukan itu. Kami melakukannya atas dasar suka sama suka. Tidak ada paksaan. Tetapi memang tidak banyak yang bisa kuingat. Aku sedang mabuk waktu itu. Tapi aku yakin aku tidak memperkosanya selagi hubungan itu kami laksanakan atas dasar kemauan."

Aku paham. Memang, jika kupikir-pikir, sulit untuk menerima kenyataan bahwa perempuan itu mau dinikahi oleh pemerkosanya. Agak tidak masuk akal.

Sehari setelah kami bertemu dan berbicara untuk terakhir kali, lelaki itu tidak pernah terlihat duduk di kursi itu lagi. Bahkan hingga tiga hari setelahnya.
Saya jadi penasaran dan agak khawatir perihal apa yang terjadi padanya.

Kemudian di hari kelima, di sebuah sore, orang-orang pesisir Daurade dikagetkan oleh seorang warga yang menemukan tubuh mengapung di sungai Garonne, berjarak sekitar delapan ratus meter dari jembatan buah karya Jacques Le Mercier itu. Banyak orang berkerumun. Berselang satu jam polisi datang, dan tak berselang lama mereka dan warga sekitar bisa mengenali bahwa jasad tersebut adalah lelaki yang sering saya lihat duduk sendiri hingga petang di kursi dekat pohon berangan.

Lelaki yang saya bahkan lupa untuk menanyakan namanya. Terus terang saya terpukul dan masih tidak percaya. Perkiraan sementara dari kepolisian, ia bunuh diri dengan menceburkan dirinya sendiri ke sungai. Beberapa orang telanjur melihat saya pernah berbicara dengan lelaki itu. Dan setelah berminggu-minggu, saya merupakan satu-satunya orang yang berbicara kepadanya. Saya pun ditunjuk sebagai salah seorang saksi atas kematiannya.

Dua hari setelah penemuan mayat lelaki itu, saya kembali melakukan lari-lari kecil. Menyusuri jalan setapak yang sama. Melewati kursi di dekat pohon berangan itu. Saya menatap ke arah kursi itu. Berhenti di sana. Lalu memutuskan untuk duduk sebentar.

Saya menemukan sebuah amplop di bawah kursi itu, dengan lebih dari setengah bagiannya ditindih batu. Saya membuka dan membaca isinya:


Ya Tuhan, aku tak yakin apakah kau akan menemukan surat ini. Tapi tentu saja aku berharap kau akan menemukan dan membacanya. Karena hanya kau yang datang ke sini untuk berbicara kepadaku.

Pertama-tama aku ucapkan terima kasih karena sudah mau menjadi teman bicaraku selama beberapa hari. Sebagian besar apa yang aku sampaikan padamu adalah kebenaran. Kecuali tentang istriku.

Aku memang tidak memperkosanya. Aku hanya dijebak oleh dua orang temanku. Mereka yang memperkosanya dan mereka berpura-pura seolah-olah aku yang melakukannya. Aku sedang mabuk dan tidak banyak yang kuingat. Di hari-hari istriku menceritakan kebenaran ini, ia menangis dan menyesal karena telah menyimpan semuanya. Katanya aku tidak seharusnya menikahinya. Ia bilang ia sangat menyesal. Tapi aku tidak marah. Kami sempat berdebat sebelum akhirnya ia meminta izin keluar untuk menenangkan diri.

Ia merasa sangat dihantui oleh perasaan bersalah dan mungkin karena itu akhirnya ia memutuskan untuk mengakhiri hidup. Aku tidak mengatakan hal ini kepada siapa pun selain kepadamu, bahkan kedua orangtuanya tidak mengetahui kebenaran ini. Aku hanya ingin menjaga kehormatannya.

Cukup kau yang tahu karena aku memercayaimu, terlebih karena aku tak sanggup menanggung semua kenyataan ini sendirian. Sebagaimana kau percaya bahwa aku mencintainya. Sebagaimana namamu yang berarti 'laki-laki yang baik, jujur, dan bisa dipercaya.'

Mungkin kau akan dianggap terlibat atas kepergianku, aku sungguh minta maaf. Namun cukup katakan kepada para polisi itu hal-hal yang aku ceritakan kepadamu di awal, serta kenyataan bahwa aku mencintai istriku. Aku pikir itu saja sudah cukup. Aku akan segera bertemu kembali dengannya.

Terima kasih, Eustache.

Hilmaz.

***

Hari ketika saya dimintai keterangan pun tiba. Saya hanya mengatakan apa yang pernah lelaki itu katakan kepada saya. Saya menyimpan rapat-rapat kebenaran tentang istrinya.

"Ada tambahan," tanya polisi.

"Ada," jawab saya.

Polisi itu kembali menyiapkan buku catatan dan voice recorder miliknya.

"Bisa saudara jabarkan?"

"Ia sangat mencintai istrinya."

Polisi itu terdiam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun