Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Long Weekend di Yogyakarta

27 Januari 2025   07:18 Diperbarui: 27 Januari 2025   07:18 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu Yogyakarta.  Sumber foto: dokumen pribadi 

"Samad, kamu yakin nggak perlu booking kamar dulu?" tanya Mardi, memecah keheningan perjalanan kereta menuju Yogyakarta. Layar ponselnya menampilkan deretan nama hotel yang masih tersedia dalam aplikasi pemesanan. "Masih banyak pilihan, lho. Kalau kita nggak booking sekarang, nanti keburu penuh gimana?"  

Samad, yang duduk menyender santai di kursinya, hanya melambaikan tangan. Wajahnya tampak tenang, bahkan sedikit terlalu santai. "Santai, Mar. Yogya itu kota turis. Penginapan pasti berlimpah. Kita tinggal pilih nanti. Lagipula, apa serunya kalau semua udah direncanain?"  

Mardi mendesah panjang, menatap sahabatnya itu dengan ekspresi penuh keraguan. "Kamu tuh ya, terlalu percaya diri. Aku cuma nggak mau kita tidur di tempat absurd. Di emperan toko, misalnya. Atau, lebih parah lagi, di stasiun."  

Samad terkekeh, memamerkan deretan giginya. "Emang iya, Mar. Seandainya kita beneran segitu apesnya, aku akan ngaku kalah sama rencana kamu. Tapi tenang aja, insting jalan-jalanku ini nggak pernah salah."  

Kereta mulai melambat, tanda mereka hampir tiba di Stasiun Tugu, Yogyakarta. Mardi memandang ke luar jendela, menyaksikan keramaian khas stasiun yang mulai terlihat. Tenda-tenda kecil pedagang makanan dan orang-orang yang berseliweran membuat jantungnya berdebar. Entah kenapa, firasatnya mengatakan bahwa Samad mungkin salah kali ini.  

"Kalau ternyata instingmu salah, aku nggak bakal berhenti ngomel sepanjang liburan ini. Siap-siap aja," ancamnya, setengah bercanda.  

Samad menepuk bahu sahabatnya sambil tertawa. "Tenang, Mar. Ini Yogyakarta, bukan daerah kutukan. Semua pasti bakal baik-baik aja."  

Namun, begitu mereka melangkah keluar dari stasiun, kerumunan turis yang tumpah ruah, antrean panjang taksi online, dan pedagang asongan yang berseru riuh menyambut mereka. Mardi berdiri mematung, mulutnya sedikit terbuka. "Kayaknya nggak sesantai itu," gumamnya, melirik Samad yang mulai kehilangan senyum santainya.  

---

Mereka berjalan perlahan menyusuri Malioboro. Jalanan dipenuhi wisatawan lokal dan mancanegara, sementara pedagang kaki lima sibuk menawarkan barang dagangan mereka dengan suara lantang. Mardi memandangi papan nama hotel kecil yang berjajar di sepanjang jalan. "Kita masuk ke sini dulu, yuk," katanya sambil menunjuk salah satu hotel sederhana yang terlihat masih baru.  

Namun, begitu mereka bertanya di meja resepsionis, wanita muda di balik meja hanya tersenyum tipis. "Maaf, Mas, semua kamar sudah penuh."  

Jawaban itu menjadi nada yang sama di hotel berikutnya, dan berikutnya lagi. Setiap kali mereka keluar dari lobi, wajah Mardi semakin terlihat muram. "Kok, penuh semua, sih? Ini nggak biasanya. Yogya kan selalu punya kamar kosong."  

"Long weekend, Mar," kata Samad sambil mengipas dirinya dengan topi. "Semua orang punya pikiran yang sama kayak kita."  

Setelah hampir satu jam, mereka berhenti di pinggir jalan, duduk di bawah bayangan pohon. Mardi membuka aplikasi pemesanan lagi dengan gerakan gusar, mencoba membuktikan keberuntungan mereka. Tapi yang tersisa hanya hotel berbintang dengan harga yang melangit.  

"Kita nggak mungkin bayar segitu cuma buat tidur semalam," keluh Mardi, suaranya mulai kehilangan kesabaran.  

Samad hanya mengangkat bahu. "Yah, kalau nggak ada pilihan lain, tidur di stasiun juga nggak buruk. Gratis, lagi."  

Mardi memutar bola matanya. "Kamu tuh..."  

---

Ketika mereka nyaris menyerah, seorang tukang becak tua mendekati mereka. Becak motornya yang terlihat tua dan berdebu berhenti dengan suara mesin yang sedikit batuk-batuk. Pria itu turun, melepas helmnya, dan menyapa mereka dengan ramah.  

"Mas, cari penginapan, ya?" tanyanya dengan nada santai, senyumnya mengembang, menampilkan deretan gigi yang sudah tidak lengkap.  

Mardi menoleh cepat, seperti seseorang yang menemukan oase di tengah gurun pasir. Matanya berbinar, seolah harapan yang nyaris padam kembali menyala. "Iya, Pak! Tapi semuanya penuh," jawabnya penuh semangat, meskipun nada khawatir masih terselip di ujung suaranya.  

Tukang becak itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Pak Tarjo, mengusap dagunya sambil berpikir sejenak. "Biasanya kalau long weekend gini, hotel besar penuh semua. Tapi kalau di gang-gang kecil, penginapan sederhana biasanya masih ada. Mau saya antar ke satu tempat yang saya tahu?" tawarnya.  

Samad, yang sedari tadi hanya diam, mengerutkan dahi. "Tapi aman, kan, Pak? Jangan-jangan tempatnya nggak layak atau malah terlalu jauh," tanyanya dengan nada hati-hati, mencerminkan rasa ragu yang wajar di tengah situasi mereka.  

Pak Tarjo tertawa kecil, suaranya terdengar seperti gurauan yang tulus. "Aman, Mas. Saya sering antar tamu ke sana. Tempatnya nyaman, walaupun sederhana. Kalau nanti Mas dan temannya nggak cocok, nggak usah ambil."  

Mardi menoleh ke arah Samad, meminta persetujuan lewat tatapan. Raut wajahnya penuh harap, seolah mengatakan, ‘Kita nggak punya pilihan lain’. Samad, setelah berpikir sejenak, akhirnya mengangguk kecil.  

"Baiklah, Pak. Kami ikut," kata Mardi sambil tersenyum lega.  

Pak Tarjo langsung menyiapkan becaknya. "Ayo, Mas. Nggak jauh kok. Kita lewat jalan kecil aja, biar cepet."  

Mardi dan Samad menghela napas panjang hampir bersamaan, seolah akhirnya menemukan jalan keluar setelah sekian lama tersesat. Mereka menaiki becak Pak Tarjo yang melaju pelan, memasuki gang-gang sempit di tengah riuhnya Malioboro.  

---

Pak Tarjo mengantar mereka melewati gang-gang kecil yang tersembunyi di belakang Malioboro. Gang itu sempit, hanya cukup untuk dilewati satu motor, tetapi bersih dan tertata rapi. Rumah-rumah penduduk berjajar di sepanjang jalan, beberapa dihiasi pot bunga warna-warni yang digantung di depan pagar kayu.  

Anak-anak kecil terlihat bermain layangan di tanah lapang kecil di ujung gang, sementara suara riuh tawa mereka bercampur dengan gonggongan anjing yang terdengar samar. Aroma masakan rumahan menyeruak di udara, menambah kesan hangat yang menenangkan.  

Setelah sekitar sepuluh menit, mereka tiba di sebuah rumah sederhana. Mardi dan Samad menatap papan kayu bertuliskan ‘Guesthouse Melat’i. Tulisan itu sedikit pudar, namun tetap terlihat jelas. Di halaman kecilnya terdapat kursi-kursi plastik dengan meja rotan tua yang tampak sederhana.  

Mardi mengetuk pintu kayu dengan ritme yang sepertinya sudah biasa ia lakukan. Tak lama, seorang wanita paruh baya dengan rambut disanggul rapi membuka pintu. Senyumnya hangat, wajahnya berseri-seri.  

"Cari kamar, Mas?" tanyanya akrab.  

"Iya, Bu.” jawab Pak Mardi.

"Ada satu kamar kosong. Tapi cuma kamar biasa, pakai kipas angin. Kalau cocok, silakan lihat dulu."  

Mardi dan Samad saling pandang. Mardi berkata dengan nada penuh harap, "Boleh, Bu. Kami lihat dulu."  

Ibu itu mempersilakan mereka masuk. Rumah itu kecil dan sederhana, tetapi bersih. Dindingnya dihiasi foto-foto lama Yogyakarta, beberapa lukisan kecil, dan rak buku tua di sudut ruang tamu. Aroma bunga melati terasa samar, menambah kesan nyaman.  

Mereka mengikuti pemilik rumah melewati lorong kecil menuju kamar. Ketika pintu dibuka, mereka mendapati ruangan sederhana dengan tempat tidur single, meja kayu, dan kipas angin kecil di atasnya. Sebuah jendela menghadap ke taman belakang yang ditumbuhi tanaman hijau.  

"Kamar ini cukup, Mar," kata Samad. Wajahnya terlihat lelah, tetapi nada suaranya terdengar lega. Mardi mengangguk setuju. "Kami ambil, Bu. Terima kasih."  

“Mas-mas berdua tau penginapan ini dari siapa?” tanya ibu itu pula.

“Dari tukang becak yang mengantar kami tadi, namanya Pak Tarjo” jawab Samad.

---

Malam itu, setelah mandi dan beristirahat sebentar, mereka memutuskan untuk keluar sebentar mencari makan di angkringan dekat gang. Suasana malam Yogya terasa lebih damai di area itu.  

Mereka duduk di bangku kayu sambil menikmati nasi kucing, sate usus, dan teh hangat. Mardi menatap Samad dengan seringai kecil. "Jadi, gimana insting jalan-jalanmu tadi?" tanyanya dengan nada menggoda.  

Samad terkekeh sambil menyeruput teh. "Ternyata instingku nggak sepenuhnya salah, kan? Kita tetap dapat kamar, dan murah pula."  

"Tapi kalau nggak ada Pak Tarjo, kita pasti tidur di stasiun," balas Mardi.  

Samad hanya tersenyum. "Ya, dia kayak penyelamat kita malam ini."  

---

Pagi harinya, sebelum mereka melanjutkan perjalanan, pemilik rumah mendekati mereka. Wajahnya tampak heran. "Maaf, Mas, boleh saya tanya sesuatu?"  

"Tentu, Bu. Kenapa?" jawab Mardi.  

"Semalam, kalian bilang diantar sama Pak Tarjo, ya?"  

"Iya, Bu. Kenapa?"  

Pemilik rumah itu menarik napas panjang sebelum menjawab. "Pak Tarjo itu... sebenarnya sudah meninggal lima tahun lalu. Dia dulu tukang becak yang sering antar tamu ke sini, tapi suatu malam dia kecelakaan di dekat stasiun."  

Mardi dan Samad saling pandang, tubuh mereka merinding.  

"Tapi kami jelas-jelas diantar semalam. Dia bahkan ngobrol sama kami!" Mardi bersikeras, meski suaranya mulai gemetar.  

Ibu itu tersenyum samar. "Banyak tamu yang pernah bilang hal serupa. Katanya, mereka selalu bertemu Pak Tarjo di saat paling butuh. Mungkin, dia masih ingin membantu orang-orang seperti dulu."  

Mardi dan Samad terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja mereka dengar.  

Saat mereka meninggalkan guesthouse, Mardi menatap gang kecil itu untuk terakhir kali. "Jadi, Pak Tarjo itu hantu?" tanyanya pelan.  

Samad menghela napas panjang. "Entahlah, Mar. Tapi kalau iya, dia hantu yang baik."  

Mereka melangkah pergi, membawa cerita yang tak hanya akan mereka kenang, tapi juga mungkin tak akan mereka ceritakan kepada siapa pun.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun