Namun, begitu mereka bertanya di meja resepsionis, wanita muda di balik meja hanya tersenyum tipis. "Maaf, Mas, semua kamar sudah penuh."Â Â
Jawaban itu menjadi nada yang sama di hotel berikutnya, dan berikutnya lagi. Setiap kali mereka keluar dari lobi, wajah Mardi semakin terlihat muram. "Kok, penuh semua, sih? Ini nggak biasanya. Yogya kan selalu punya kamar kosong."Â Â
"Long weekend, Mar," kata Samad sambil mengipas dirinya dengan topi. "Semua orang punya pikiran yang sama kayak kita."Â Â
Setelah hampir satu jam, mereka berhenti di pinggir jalan, duduk di bawah bayangan pohon. Mardi membuka aplikasi pemesanan lagi dengan gerakan gusar, mencoba membuktikan keberuntungan mereka. Tapi yang tersisa hanya hotel berbintang dengan harga yang melangit. Â
"Kita nggak mungkin bayar segitu cuma buat tidur semalam," keluh Mardi, suaranya mulai kehilangan kesabaran. Â
Samad hanya mengangkat bahu. "Yah, kalau nggak ada pilihan lain, tidur di stasiun juga nggak buruk. Gratis, lagi."Â Â
Mardi memutar bola matanya. "Kamu tuh..."Â Â
---
Ketika mereka nyaris menyerah, seorang tukang becak tua mendekati mereka. Becak motornya yang terlihat tua dan berdebu berhenti dengan suara mesin yang sedikit batuk-batuk. Pria itu turun, melepas helmnya, dan menyapa mereka dengan ramah. Â
"Mas, cari penginapan, ya?" tanyanya dengan nada santai, senyumnya mengembang, menampilkan deretan gigi yang sudah tidak lengkap. Â
Mardi menoleh cepat, seperti seseorang yang menemukan oase di tengah gurun pasir. Matanya berbinar, seolah harapan yang nyaris padam kembali menyala. "Iya, Pak! Tapi semuanya penuh," jawabnya penuh semangat, meskipun nada khawatir masih terselip di ujung suaranya. Â