Tukang becak itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Pak Tarjo, mengusap dagunya sambil berpikir sejenak. "Biasanya kalau long weekend gini, hotel besar penuh semua. Tapi kalau di gang-gang kecil, penginapan sederhana biasanya masih ada. Mau saya antar ke satu tempat yang saya tahu?" tawarnya. Â
Samad, yang sedari tadi hanya diam, mengerutkan dahi. "Tapi aman, kan, Pak? Jangan-jangan tempatnya nggak layak atau malah terlalu jauh," tanyanya dengan nada hati-hati, mencerminkan rasa ragu yang wajar di tengah situasi mereka. Â
Pak Tarjo tertawa kecil, suaranya terdengar seperti gurauan yang tulus. "Aman, Mas. Saya sering antar tamu ke sana. Tempatnya nyaman, walaupun sederhana. Kalau nanti Mas dan temannya nggak cocok, nggak usah ambil."Â Â
Mardi menoleh ke arah Samad, meminta persetujuan lewat tatapan. Raut wajahnya penuh harap, seolah mengatakan, ‘Kita nggak punya pilihan lain’. Samad, setelah berpikir sejenak, akhirnya mengangguk kecil. Â
"Baiklah, Pak. Kami ikut," kata Mardi sambil tersenyum lega. Â
Pak Tarjo langsung menyiapkan becaknya. "Ayo, Mas. Nggak jauh kok. Kita lewat jalan kecil aja, biar cepet."Â Â
Mardi dan Samad menghela napas panjang hampir bersamaan, seolah akhirnya menemukan jalan keluar setelah sekian lama tersesat. Mereka menaiki becak Pak Tarjo yang melaju pelan, memasuki gang-gang sempit di tengah riuhnya Malioboro. Â
---
Pak Tarjo mengantar mereka melewati gang-gang kecil yang tersembunyi di belakang Malioboro. Gang itu sempit, hanya cukup untuk dilewati satu motor, tetapi bersih dan tertata rapi. Rumah-rumah penduduk berjajar di sepanjang jalan, beberapa dihiasi pot bunga warna-warni yang digantung di depan pagar kayu. Â
Anak-anak kecil terlihat bermain layangan di tanah lapang kecil di ujung gang, sementara suara riuh tawa mereka bercampur dengan gonggongan anjing yang terdengar samar. Aroma masakan rumahan menyeruak di udara, menambah kesan hangat yang menenangkan. Â
Setelah sekitar sepuluh menit, mereka tiba di sebuah rumah sederhana. Mardi dan Samad menatap papan kayu bertuliskan ‘Guesthouse Melat’i. Tulisan itu sedikit pudar, namun tetap terlihat jelas. Di halaman kecilnya terdapat kursi-kursi plastik dengan meja rotan tua yang tampak sederhana. Â