Mardi mengetuk pintu kayu dengan ritme yang sepertinya sudah biasa ia lakukan. Tak lama, seorang wanita paruh baya dengan rambut disanggul rapi membuka pintu. Senyumnya hangat, wajahnya berseri-seri.
"Cari kamar, Mas?" tanyanya akrab.
"Iya, Bu.” jawab Pak Mardi.
"Ada satu kamar kosong. Tapi cuma kamar biasa, pakai kipas angin. Kalau cocok, silakan lihat dulu."
Mardi dan Samad saling pandang. Mardi berkata dengan nada penuh harap, "Boleh, Bu. Kami lihat dulu."
Ibu itu mempersilakan mereka masuk. Rumah itu kecil dan sederhana, tetapi bersih. Dindingnya dihiasi foto-foto lama Yogyakarta, beberapa lukisan kecil, dan rak buku tua di sudut ruang tamu. Aroma bunga melati terasa samar, menambah kesan nyaman.
Mereka mengikuti pemilik rumah melewati lorong kecil menuju kamar. Ketika pintu dibuka, mereka mendapati ruangan sederhana dengan tempat tidur single, meja kayu, dan kipas angin kecil di atasnya. Sebuah jendela menghadap ke taman belakang yang ditumbuhi tanaman hijau.
"Kamar ini cukup, Mar," kata Samad. Wajahnya terlihat lelah, tetapi nada suaranya terdengar lega. Mardi mengangguk setuju. "Kami ambil, Bu. Terima kasih."
“Mas-mas berdua tau penginapan ini dari siapa?” tanya ibu itu pula.
“Dari tukang becak yang mengantar kami tadi, namanya Pak Tarjo” jawab Samad.
---