"Ini Yogyakarta, Mas. Sudah sampai," ujar kondektur kereta, menepuk bahu Aditya pelan. Pemuda itu tersentak dari tidurnya yang gelisah. Mata lelahnya menangkap peron stasiun Tugu yang diterangi lampu kuning temaram. Suara riuh penumpang menggantikan keheningan malam yang tadi menemaninya. Â
Aditya mengangguk kecil pada kondektur, mengucapkan terima kasih sebelum melangkah turun. Ransel berat di punggungnya mengingatkan bahwa ini bukan perjalanan biasa. Udara malam yang hangat menyentuh kulitnya, kontras dengan dinginnya AC kereta yang menusuk. Ini pertama kalinya ia menjejakkan kaki di kota ini. Meski tubuhnya lelah, ada harapan kecil yang bersemayam di hatinya. Â
Keluar dari stasiun, ia disambut deretan tukang becak dan ojek online. Salah satu dari mereka, pria tua dengan topi anyaman, menghampirinya. "Losmen, Mas? Dekat Malioboro?" tanyanya dengan senyum ramah. Â
Aditya mengangguk. "Iya, Pak. Losmen dekat Malioboro."Â Â
"Naik, Mas. Bisa lihat-lihat jalan," bujuk bapak itu sambil mengusap peluh di dahinya. Â
Tanpa banyak berpikir, Aditya setuju. Becak mulai melaju pelan, membawanya melewati jalanan Yogyakarta yang sepi. Tukang becak itu mulai bercerita tentang kota ini---angkringan legendaris, pasar malam yang tak pernah tidur, hingga seniman jalanan Malioboro. Tapi pikiran Aditya melayang. Suara bapak itu hanya menjadi latar bagi kegelisahannya. Â
Apa aku terlalu egois meninggalkan semuanya begitu saja?
Ia menghela napas panjang. Pekerjaan di Jakarta memang menjanjikan, tapi juga menggerogoti. Kesalahan kecil menjadi beban besar. Rekan kerja yang ambisius seolah-olah menjadikan kantor sebagai medan perang. Rutinitas ini membuatnya jenuh. Ia memutuskan cuti panjang, berharap Yogyakarta bisa memberinya jawaban. Â
Becak berhenti di depan sebuah losmen kecil. Bangunan itu sederhana, dengan dinding kayu yang mulai mengelupas. Lampu temaram di terasnya memberi kesan hangat, berbeda dengan gedung-gedung tinggi yang biasa ia lihat. Â
"Terima kasih, Pak," ujar Aditya sambil menyerahkan uang lebih. Senyum lebar tukang becak itu membuatnya merasa sedikit lebih baik. Â
---
Di balik meja resepsionis, seorang wanita paruh baya menyambutnya. "Malam, Mas. Sudah pesan kamar?" tanyanya ramah. Â
"Sudah, Bu. Atas nama Aditya."Â Â
Setelah menerima kunci, Aditya menuju kamarnya. Ruangan itu kecil, hanya ada ranjang, meja usang, dan kipas angin tua. Kesederhanaannya menekankan rasa sunyi yang sudah ia rasakan sejak tiba. Â
Aditya merebahkan diri di ranjang. Tapi semakin ia mencoba tidur, semakin pikirannya berkecamuk. Apakah aku salah? Meninggalkan semuanya begitu saja? Ia rindu Jakarta, meski kota itu sering membuatnya tertekan. Kesunyian di losmen ini justru terasa asing. Â
Dengan langkah berat, Aditya menuruni tangga losmen yang berderit pelan. Di ruang tamu, suasana kontras dengan kesunyian di kamarnya. Ruangan itu dipenuhi tawa kecil, denting gitar, dan percakapan yang beragam. Sekilas, matanya menangkap keunikan masing-masing tamu. Â
Seorang pria berambut gondrong duduk santai di kursi rotan, memetik gitar tua dengan nada yang merdu. Ia terlihat asyik, sesekali bersenandung lagu Sunda dengan suara berat yang menggetarkan suasana. Di sudut lain, seorang wanita pirang tengah membungkuk di atas buku catatan tebal, dengan pena yang bergerak cepat. Ia tampak tenggelam dalam dunia lain, tetapi kadang tersenyum saat mendengar suara gitar. Â
Tak jauh dari situ, pasangan muda Jepang duduk saling berbisik. Wajah mereka berseri-seri sambil menunjukkan foto-foto di layar ponsel, seolah berbagi kebahagiaan yang hanya mereka pahami. Â
Aditya berdiri canggung di ambang pintu. Pandangannya terpaku, merasa seperti orang luar yang sedang mengintip dunia kecil yang penuh warna. Namun, pria gondrong itu segera menyadari kehadirannya. Â
"Gabung, Mas? Jangan cuma berdiri di situ," ujarnya dengan logat Sunda yang kental, sambil mengisyaratkan kursi kosong di dekatnya. Â
Aditya tersenyum kecil. "Boleh, Mas."Â Â
"Nama saya Asep," ujar pria itu sambil menyodorkan tangan dengan hangat. "Musisi jalanan, dari Bandung. Lagi cari inspirasi, siapa tahu Jogja punya jawabannya."Â Â
Aditya duduk, mendengarkan sambil memperhatikan jari-jari Asep yang lincah memetik gitar. "Kalau orang bilang, Jogja itu kota yang nggak pernah selesai," lanjut Asep, "selalu ada cerita, tinggal kita mau dengar atau nggak."Â Â
Belum sempat Aditya menjawab, wanita pirang di sudut ruangan menutup bukunya dan mendekat. Senyumnya lebar, dan ia menyodorkan tangan. "Hi, I'm Claire," katanya dengan aksen Australia yang khas. Â
Aditya menjabat tangannya, sedikit ragu. "Aditya," jawabnya pendek. Â
Claire tampak antusias. "Saya suka Indonesia. Saya sedang menulis... eh, apa ya... cerita perjalanan." Ia berbicara dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata, tetapi keberaniannya membuat Aditya tersenyum. Â
"Bagus, Claire!" sahut Asep, tertawa kecil. "Nanti kalau ceritanya jadi, kasih tahu. Siapa tahu ada saya di sana."Â Â
Claire tertawa, lalu menoleh ke pasangan Jepang yang masih sibuk dengan ponsel mereka. "Kenji, Aiko, kalian nggak mau gabung?"Â Â
Pria Jepang itu, Kenji, menoleh dengan senyum lebar. "Tentu saja!" Ia dan Aiko bergabung, memperkenalkan diri dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih. Â
"Budaya Jawa itu luar biasa," ujar Kenji. "Kami baru dari Solo. Ini foto saat belajar menari tradisional." Ia menunjukkan gambar dirinya mengenakan kostum tari lengkap, dengan Aiko yang tampak tersipu malu di sampingnya. Â
"Wah, keren sekali!" komentar Aditya, mencoba membuka diri. Â
Percakapan mengalir tanpa henti. Asep bercerita tentang hidupnya sebagai musisi yang sering berpindah-pindah kota, bertemu banyak orang, tetapi selalu merasa rindu rumah. "Tapi, gimana ya, musik itu seperti rumah buat saya," katanya, sambil memetik melodi sederhana. Â
Claire berbagi kisah perjalanannya keliling Asia. Matanya sedikit berkaca-kaca saat ia menyebutkan alasannya. "Saya... kehilangan tunangan saya tahun lalu. Jadi, perjalanan ini semacam terapi. Saya ingin menemukan diri saya lagi," ujarnya pelan. Â
Kenji dan Aiko mengangguk penuh empati. Aiko kemudian menambahkan, "Kami juga... sedang mencoba memperbaiki hubungan. Bulan madu ini penting bagi kami."Â Â
Aditya mendengarkan dengan saksama. Ia terkejut melihat betapa jujurnya mereka, betapa terbuka mereka berbagi cerita dengan orang asing. Ia mulai merasa lebih nyaman, lebih terhubung. Â
"Bagaimana dengan kamu, Aditya?" tanya Claire tiba-tiba. Â
Aditya terdiam, merasa semua mata tertuju padanya. Setelah menarik napas dalam, ia berkata, "Aku... hanya butuh istirahat. Kehidupan di Jakarta itu seperti lomba lari yang nggak pernah selesai. Aku merasa kehilangan arah."Â Â
Asep tersenyum kecil. "Kadang, berhenti itu bukan kelemahan, Mas. Berhenti itu cara kita buat mendengar diri sendiri."Â Â
"Perjalanan itu aneh, ya," sela Claire. "Kita meninggalkan sesuatu, tapi malah menemukan yang lain."Â Â
Aditya merenung. Kata-kata mereka seperti menggugah sesuatu di dalam dirinya. Apa aku melarikan diri? Atau aku memang mencari sesuatu? Â
Percakapan itu terus berlanjut, diselingi petikan gitar Asep dan tawa Claire yang riang. Malam itu, ruang tamu losmen menjadi tempat pertemuan yang sederhana, tetapi penuh arti.
---
Larut malam, mereka memutuskan berjalan ke Malioboro. Jalanan tetap hidup: pedagang kaki lima menjajakan makanan, suara angklung terdengar dari kejauhan, dan aroma sate memenuhi udara. Â
Aditya berhenti di depan salah satu pedagang. Ia membeli wedang ronde, merasakan kehangatan minuman itu mengalir di tenggorokannya. Ia memperhatikan Claire yang sibuk memotret, Asep yang bercanda dengan Kenji, dan Aiko yang tertawa pelan. Â
Mereka duduk di trotoar, berbagi cerita sambil menikmati suasana. Claire bertanya tentang kehidupan Aditya di Jakarta, tentang apa yang membuatnya datang ke Yogyakarta. Â
Aditya terdiam sejenak sebelum menjawab. "Kadang... rasanya seperti terus berlari, tapi nggak tahu apa yang sebenarnya aku kejar."Â Â
Asep menatapnya serius. "Mungkin kau hanya butuh berhenti sejenak. Nggak semua hal harus selesai dengan cepat."Â Â
Claire mengangguk setuju. "Sometimes, slowing down gives you clarity."Â Â
Kata-kata mereka menenangkan Aditya, seperti angin malam yang lembut. Ia menyadari, mungkin ia memang terlalu keras pada dirinya sendiri. Â
---
Keesokan pagi, Aditya melangkah keluar dari losmen dengan langkah yang lebih ringan. Udara pagi yang segar menyapa wajahnya, membawa harapan baru. Matahari baru saja terbit, menyinari sepanjang jalan Malioboro dengan cahaya emas yang lembut. Suasana kota yang semula sunyi kini perlahan mulai hidup. Pedagang mulai membuka lapaknya, menyusun dagangan mereka dengan penuh semangat. Suara deru kendaraan mulai terdengar, mengisi celah-celah pagi yang hening. Â
Aditya menyusuri trotoar, menikmati hiruk-pikuk yang tak seperti di Jakarta. Ada sesuatu yang berbeda di sini, sesuatu yang lebih santai, lebih hangat. Langkahnya berhenti di depan seorang pelukis jalanan yang sedang tekun menggoreskan kuas di atas kanvas besar. Lukisan itu menunjukkan sebuah pemandangan Malioboro yang ramai, namun dengan sentuhan yang penuh perasaan---sebuah interpretasi tentang kehidupan di jalanan yang tak pernah berhenti. Â
"Lukisanmu indah," ujar Aditya spontan, terpesona oleh goresan warna yang begitu hidup. Â
Pelukis itu menoleh dan tersenyum kecil. Matanya yang dalam memancarkan kebijaksanaan yang tenang. "Semua orang punya cara sendiri untuk menceritakan dunia," katanya pelan, kembali menatap kanvasnya. "Ini caraku."Â Â
Kalimat itu seperti petir yang menyambar dalam benak Aditya. ***Apa caraku?*** Pertanyaan itu terus mengiang dalam pikirannya, berputar-putar seolah-olah ingin memberinya jawaban yang belum ditemukan. Â
Ia melangkah lebih jauh, tetapi kalimat itu tak juga pergi. Ia merasa seperti terjebak dalam sebuah pencarian yang tak jelas arahnya. Apa yang selama ini ia cari? Apa yang sebenarnya ia inginkan dari perjalanan ini? Aditya memandangi orang-orang yang sibuk beraktivitas di sekitarnya---pedagang, pejalan kaki, wisatawan, semua memiliki cara mereka sendiri dalam menjalani hidup, dalam menggambarkan dunia mereka. Dan dia? Apa yang membedakan dirinya? Â
Pertanyaan itu menjadi bayangan yang terus mengikutinya sepanjang hari, seperti sebuah lukisan yang belum selesai, penuh ruang kosong yang menunggu untuk diisi. Â
---
Sebelum meninggalkan losmen, Asep menghampirinya. "Mas, kalau ke Bandung, kabari. Kita ngopi, ngobrol musik."Â Â
Claire memberikan buku catatannya. "This might help you write your own story," katanya sambil tersenyum. Â
Kenji dan Aiko melambaikan tangan. "Sampai jumpa!"Â Â
Aditya tersenyum dan melangkah ke luar. Yogyakarta telah memberinya lebih dari sekadar kenangan. Ia membawa pulang pelajaran: bahwa hidup adalah perjalanan yang diwarnai pertemuan, kehilangan, dan keberanian untuk terus melangkah. Â
Di dalam kereta menuju Jakarta, Aditya memandang jendela dengan perasaan berbeda. Ia tahu, dunia ini masih menyimpan banyak cerita untuk ditemukan. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI