"Nama saya Asep," ujar pria itu sambil menyodorkan tangan dengan hangat. "Musisi jalanan, dari Bandung. Lagi cari inspirasi, siapa tahu Jogja punya jawabannya."Â Â
Aditya duduk, mendengarkan sambil memperhatikan jari-jari Asep yang lincah memetik gitar. "Kalau orang bilang, Jogja itu kota yang nggak pernah selesai," lanjut Asep, "selalu ada cerita, tinggal kita mau dengar atau nggak."Â Â
Belum sempat Aditya menjawab, wanita pirang di sudut ruangan menutup bukunya dan mendekat. Senyumnya lebar, dan ia menyodorkan tangan. "Hi, I'm Claire," katanya dengan aksen Australia yang khas. Â
Aditya menjabat tangannya, sedikit ragu. "Aditya," jawabnya pendek. Â
Claire tampak antusias. "Saya suka Indonesia. Saya sedang menulis... eh, apa ya... cerita perjalanan." Ia berbicara dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata, tetapi keberaniannya membuat Aditya tersenyum. Â
"Bagus, Claire!" sahut Asep, tertawa kecil. "Nanti kalau ceritanya jadi, kasih tahu. Siapa tahu ada saya di sana."Â Â
Claire tertawa, lalu menoleh ke pasangan Jepang yang masih sibuk dengan ponsel mereka. "Kenji, Aiko, kalian nggak mau gabung?"Â Â
Pria Jepang itu, Kenji, menoleh dengan senyum lebar. "Tentu saja!" Ia dan Aiko bergabung, memperkenalkan diri dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih. Â
"Budaya Jawa itu luar biasa," ujar Kenji. "Kami baru dari Solo. Ini foto saat belajar menari tradisional." Ia menunjukkan gambar dirinya mengenakan kostum tari lengkap, dengan Aiko yang tampak tersipu malu di sampingnya. Â
"Wah, keren sekali!" komentar Aditya, mencoba membuka diri. Â
Percakapan mengalir tanpa henti. Asep bercerita tentang hidupnya sebagai musisi yang sering berpindah-pindah kota, bertemu banyak orang, tetapi selalu merasa rindu rumah. "Tapi, gimana ya, musik itu seperti rumah buat saya," katanya, sambil memetik melodi sederhana. Â