---
Di balik meja resepsionis, seorang wanita paruh baya menyambutnya. "Malam, Mas. Sudah pesan kamar?" tanyanya ramah. Â
"Sudah, Bu. Atas nama Aditya."Â Â
Setelah menerima kunci, Aditya menuju kamarnya. Ruangan itu kecil, hanya ada ranjang, meja usang, dan kipas angin tua. Kesederhanaannya menekankan rasa sunyi yang sudah ia rasakan sejak tiba. Â
Aditya merebahkan diri di ranjang. Tapi semakin ia mencoba tidur, semakin pikirannya berkecamuk. Apakah aku salah? Meninggalkan semuanya begitu saja? Ia rindu Jakarta, meski kota itu sering membuatnya tertekan. Kesunyian di losmen ini justru terasa asing. Â
Dengan langkah berat, Aditya menuruni tangga losmen yang berderit pelan. Di ruang tamu, suasana kontras dengan kesunyian di kamarnya. Ruangan itu dipenuhi tawa kecil, denting gitar, dan percakapan yang beragam. Sekilas, matanya menangkap keunikan masing-masing tamu. Â
Seorang pria berambut gondrong duduk santai di kursi rotan, memetik gitar tua dengan nada yang merdu. Ia terlihat asyik, sesekali bersenandung lagu Sunda dengan suara berat yang menggetarkan suasana. Di sudut lain, seorang wanita pirang tengah membungkuk di atas buku catatan tebal, dengan pena yang bergerak cepat. Ia tampak tenggelam dalam dunia lain, tetapi kadang tersenyum saat mendengar suara gitar. Â
Tak jauh dari situ, pasangan muda Jepang duduk saling berbisik. Wajah mereka berseri-seri sambil menunjukkan foto-foto di layar ponsel, seolah berbagi kebahagiaan yang hanya mereka pahami. Â
Aditya berdiri canggung di ambang pintu. Pandangannya terpaku, merasa seperti orang luar yang sedang mengintip dunia kecil yang penuh warna. Namun, pria gondrong itu segera menyadari kehadirannya. Â
"Gabung, Mas? Jangan cuma berdiri di situ," ujarnya dengan logat Sunda yang kental, sambil mengisyaratkan kursi kosong di dekatnya. Â
Aditya tersenyum kecil. "Boleh, Mas."Â Â