Raji mengusap keringat yang mengalir di dahinya, matanya menyipit menatap matahari yang baru merangkak naik dari ufuk timur. Sudah menjadi kebiasaannya sejak dulu untuk bangun sebelum ayam berkokok, memeriksa sawahnya yang kini tak lebih dari hamparan tanah retak-retak. Di kejauhan, gunung Merbabu berdiri angkuh dengan kabut tipis menyelimuti puncaknya, seolah tak peduli dengan kegersangan yang melanda desa Karanganyar.
"Masih seperti kemarin, seperti kemarinnya lagi," gumamnya sambil berjongkok, mengambil segenggam tanah yang terasa kasar dan keras di telapak tangannya. Tiga bulan tanpa hujan telah mengubah sawah yang dulu menghijau menjadi padang gersang berwarna kecokelatan. Retakan-retakan menganga seperti luka yang tak kunjung sembuh, dalam dan menyakitkan.
"Bapak sudah dari tadi di sini?" Suara Sumi membuat Raji menoleh. Istrinya itu berdiri dengan Bayu dalam gendongannya. Anak mereka yang berusia enam tahun masih setengah mengantuk, kepalanya bersandar di bahu sang ibu.
"Namanya juga kebiasaan," Raji tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegetiran dalam suaranya. "Dulu waktu masih ada padi, jam segini sudah harus mengecek air."
Sumi menurunkan Bayu yang langsung berlari ke arah ayahnya. "Istirahat dulu, Pak. Sarapan sudah siap."
Mereka duduk di balai bambu depan rumah warisan orangtua Raji. Rumah sederhana dengan dinding anyaman bambu yang mulai rapuh di beberapa bagian. Sumi menuangkan kopi dari teko aluminium yang sudah kusam, aroma kopi robusta menguar di udara pagi yang kering. Menu sarapan mereka sederhana: nasi putih dengan tempe goreng dan sambal terasi. Raji ingat, dulu mereka masih bisa makan dengan lauk ikan atau telur, tapi sekarang...
"Ayah," Bayu memecah keheningan, "tadi malam aku mimpi hujan."
Raji dan Sumi bertukar pandang. "Mimpi yang bagus itu," kata Sumi sambil mengusap kepala anaknya.
"Iya, hujannya besar sekali. Sawah kita jadi hijau lagi, ada banyak katak yang melompat-lompat." Bayu bercerita dengan mata berbinar. "Kapan ya hujan beneran turun?"
Pertanyaan polos itu menghantam dada Raji. Ia teringat tagihan yang harus dibayar minggu depan. Pak Karso, rentenir desa yang terkenal kejam, sudah memberikan ultimatum. "Kalau minggu depan tidak bayar, tanahmu ini yang ambil. Mau protes? Silakan, toh surat hutangnya ada tanda tanganmu!"
"Pak," Sumi berbisik setelah Bayu berlari mengejar kucing, "bagaimana kalau kita jual saja cincin kawin kita?"
Raji menggeleng keras. "Tidak, Bu. Itu satu-satunya peninggalan orangtuamu. Biar aku yang cari jalan."
"Tapi..."
"Aku ke kota hari ini," Raji memotong kata-kata istrinya. "Kata Kang Wahyu ada proyek bangunan yang butuh kuli. Siapa tahu masih bisa masuk."
Sumi terdiam. Ia tahu betul suaminya bukan tipe yang suka menyerah. Sejak menikah lima belas tahun lalu, Raji selalu bekerja keras menghidupi keluarga mereka. Tapi kemarau kali ini berbeda. Lebih panjang, lebih kejam.
Di kota, Raji berjalan dari satu lokasi proyek ke lokasi lain. Terik matahari membakar kulitnya yang sudah gelap. Perutnya keroncongan, tapi ia tak berani membeli makanan. Uang di sakunya harus ia hemat untuk ongkos pulang.
"Maaf, Pak, kami sudah cukup orang," kata seorang mandor di proyek terakhir yang ia datangi.
Dengan langkah gontai, Raji masuk ke sebuah warung kopi kecil di sudut jalan. Ia memesan segelas teh panas, minuman termurah di menu.
"Sepertinya ada yang sedang susah," sebuah suara mengejutkannya. Seorang pria tua duduk di seberang mejanya. Wajahnya penuh kerutan, tapi matanya tajam dan bersinar.
"Ah, tidak apa-apa, Pak," Raji menjawab sopan.
"Namaku Harjo," pria tua itu memperkenalkan diri. "Dari cara dudukmu, kelihatan kalau kau petani."
Raji tertegun. "Kok bisa tahu?"
Harjo tersenyum. "Aku dulu aktivis tani. Tiga puluh tahun berkeliling Jawa, mengajari petani cara bertahan hidup. Sekarang sudah tua, kerja serabutan saja." Ia mengeluarkan sebungkus rokok kretek dari saku kemejanya yang lusuh. "Mau?"
Raji menggeleng. "Sudah lama berhenti, Pak. Anak saya asma."
"Ah, bapak yang bertanggung jawab rupanya." Harjo menghisap rokoknya dalam-dalam. "Cerita saja, siapa tahu aku bisa bantu."
Entah mengapa, Raji merasa nyaman dengan pria tua ini. Ia mulai bercerita tentang kemarau, tentang sawahnya yang mati, tentang hutang yang mencekik, dan tentang Pak Karso yang mengancam akan mengambil tanahnya.
Harjo mendengarkan dengan serius. "Kau tahu," katanya setelah Raji selesai bercerita, "tanah kering bukan berarti mati. Justru di saat seperti ini kita bisa melihat siapa petani yang benar-benar tangguh."
"Maksud Bapak?"
"Kau punya pekarangan di rumah?"
Raji mengangguk. "Ada, tidak terlalu besar."
"Itu cukup untuk memulai." Harjo mengeluarkan sebuah notes usang dari tasnya. "Lihat, ada cara untuk membuat tanah kering tetap bisa menghasilkan."
Selama satu jam berikutnya, Harjo menjelaskan tentang teknik bertanam di lahan kering. Tentang pembuatan pupuk dari sampah rumah tangga, tentang sistem irigasi tetes yang menghemat air, tentang pemilihan tanaman yang tahan kekeringan.
"Tapi itu semua butuh modal, Pak," Raji menghela nafas.
"Modal utamanya adalah keberanian untuk mencoba," Harjo menepuk bahu Raji. "Kalau kau mau, besok aku akan ke rumahmu. Akan kuajari cara memulainya."
Malam itu, Raji menceritakan semuanya pada Sumi. "Apa tidak terlalu beresiko, Pak?" tanya istrinya khawatir.
"Kita sudah tidak punya pilihan lain, Bu. Lagipula..." Raji menatap Bayu yang tertidur pulas di dipan bambu, "aku tidak mau anak kita kehilangan tanahnya."
Keesokan harinya, Harjo benar-benar datang. Ia membawa beberapa kantong plastik berisi bibit sayuran dan tumpukan sampah organik. "Nah, ini modalmu," katanya sambil tersenyum.
Mereka mulai bekerja di pekarangan. Harjo mengajari cara membuat kompos dari sampah dapur dan kotoran ternak. Ia juga menunjukkan cara membuat lubang-lubang kecil yang diisi kompos, tempat menanam bibit nantinya.
"Pak Raji sudah gila ya?" Sin, tetangga sebelah, berkomentar sinis. "Tanah sekeras batu begitu mau ditanami apa?"
Raji tidak menghiraukan ejekan itu. Ia terus bekerja, dibantu Sumi yang dengan telaten mengumpulkan sampah dapur untuk kompos. Bayu pun ikut membantu dengan cara-caranya sendiri, membawa air dengan ember kecil plastiknya.
"Yang penting konsisten," kata Harjo sebelum pamit pulang. "Jangan berharap hasil besar di awal. Fokus saja membuat tanah ini hidup lagi."
Hari-hari berlalu dengan kerja keras. Raji bangun lebih pagi untuk merawat tanaman sebelum berangkat mencari kerja serabutan. Sumi mengurus kompos dan menyiram tanaman. Perlahan, titik-titik hijau mulai muncul dari tanah yang dulu keras.
"Ayah! Ayah! Lihat!" teriak Bayu suatu pagi. "Tanamannya tumbuh!"
Benar saja, tunas-tunas kangkung dan bayam mulai menyembul dari tanah. Terong yang mereka tanam di sudut pekarangan mulai mengeluarkan daun-daun kecil. Bahkan cabai yang mereka tanam dalam pot-pot bekas cat mulai berbunga.
Keberhasilan kecil ini tidak luput dari perhatian tetangga. Sin, yang dulu mengejek, diam-diam mulai bertanya cara membuat kompos. Beberapa tetangga lain ikut mencoba metode yang sama di pekarangan mereka.
"Lihat," kata Harjo yang rutin mengecek perkembangan tanaman Raji, "kadang dari kesulitan besar lahir perubahan yang tidak terduga."
Tapi masalah belum selesai. Pak Karso datang tepat di hari jatuh tempo, membawa dua orang berbadan besar. "Mana uangmu?" tanyanya kasar.
"Pak Karso," Raji menjawab tenang, "saya minta waktu sedikit lagi. Lihat, tanaman saya sudah mulai berbuah. Sebentar lagi-"
"Sebentar lagi apa? Mau bayar hutang pakai kangkung?" Pak Karso tertawa mengejek. "Sudah, serahkan saja surat tanahmu. Anggap ini pelajaran."
"Tunggu," sebuah suara menginterupsi. Harjo muncul dari balik pagar, diikuti beberapa warga desa. "Pak Karso, mari kita bicara baik-baik."
"Siapa kau? Mau ikut campur urusan orang?"
"Saya Harjo, dari Lembaga Swadaya Tani." Harjo mengeluarkan sebuah kartu nama lusuh. "Kami sedang mengembangkan program pertanian lahan kering di desa ini, dan Pak Raji adalah pionirnya. Kalau bapak mau, kita bisa diskusikan cara win-win solution."
Pembicaraan berlangsung alot. Pada akhirnya, dengan mediasi Harjo dan dukungan warga, Pak Karso setuju memberi perpanjangan waktu tiga bulan. Sebagai jaminan, hasil panen pekarangan akan dibagi dua sampai hutang lunas.
"Kenapa Bapak mau repot-repot membantu saya?" tanya Raji pada Harjo setelah Pak Karso pergi.
Harjo tersenyum, matanya menerawang jauh. "Tiga puluh tahun lalu, aku hampir kehilangan tanahku karena kemarau dan rentenir. Seorang petani tua menolongku, mengajariku cara bertahan. Sekarang, aku hanya meneruskan apa yang dia lakukan."
Sore itu, ketika matahari mulai condong ke barat, Raji duduk di balai bambunya. Sumi sibuk memetik sayuran yang akan dijual ke pasar besok pagi. Bayu bermain dengan katak yang entah dari mana munculnya di pekarangan mereka yang kini hijau.
Di kejauhan, awan gelap mulai berkumpul. Angin bertiup membawa aroma yang sudah lama tidak mereka rasakan.
"Hujan akan turun," kata Harjo yang duduk di samping Raji. "Tapi kau sudah membuktikan satu hal: bahwa hidup, seperti tanaman-tanaman itu, bisa tumbuh bahkan di tanah yang paling kering sekalipun."
Tetes-tetes hujan pertama jatuh ke tanah, membawa aroma tanah basah yang khas. Bayu berlari-lari di pekarangan dengan tawa riang. Sumi berdiri di ambang pintu, tersenyum haru. Dan Raji, untuk pertama kalinya sejak kemarau datang, merasa beban di pundaknya sedikit terangkat.
Mereka tahu perjalanan masih panjang. Hutang belum lunas, dan hidup tidak akan langsung mudah. Tapi setidaknya mereka telah menemukan cara untuk bertahan, untuk terus melangkah meski di tanah yang paling kering sekalipun. Dan yang lebih penting, mereka tidak berjuang sendiri.
Jejak-jejak kaki di tanah yang mulai basah itu adalah saksi bisu sebuah perjuangan. Perjuangan sebuah keluarga, sebuah komunitas, yang menemukan kekuatan dalam kesederhanaan dan kebersamaan. Dan seperti hujan yang akhirnya turun membasahi tanah yang dulu kering, harapan pun turun membasahi hati mereka yang sempat mengering.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI