Benar saja, tunas-tunas kangkung dan bayam mulai menyembul dari tanah. Terong yang mereka tanam di sudut pekarangan mulai mengeluarkan daun-daun kecil. Bahkan cabai yang mereka tanam dalam pot-pot bekas cat mulai berbunga.
Keberhasilan kecil ini tidak luput dari perhatian tetangga. Sin, yang dulu mengejek, diam-diam mulai bertanya cara membuat kompos. Beberapa tetangga lain ikut mencoba metode yang sama di pekarangan mereka.
"Lihat," kata Harjo yang rutin mengecek perkembangan tanaman Raji, "kadang dari kesulitan besar lahir perubahan yang tidak terduga."
Tapi masalah belum selesai. Pak Karso datang tepat di hari jatuh tempo, membawa dua orang berbadan besar. "Mana uangmu?" tanyanya kasar.
"Pak Karso," Raji menjawab tenang, "saya minta waktu sedikit lagi. Lihat, tanaman saya sudah mulai berbuah. Sebentar lagi-"
"Sebentar lagi apa? Mau bayar hutang pakai kangkung?" Pak Karso tertawa mengejek. "Sudah, serahkan saja surat tanahmu. Anggap ini pelajaran."
"Tunggu," sebuah suara menginterupsi. Harjo muncul dari balik pagar, diikuti beberapa warga desa. "Pak Karso, mari kita bicara baik-baik."
"Siapa kau? Mau ikut campur urusan orang?"
"Saya Harjo, dari Lembaga Swadaya Tani." Harjo mengeluarkan sebuah kartu nama lusuh. "Kami sedang mengembangkan program pertanian lahan kering di desa ini, dan Pak Raji adalah pionirnya. Kalau bapak mau, kita bisa diskusikan cara win-win solution."
Pembicaraan berlangsung alot. Pada akhirnya, dengan mediasi Harjo dan dukungan warga, Pak Karso setuju memberi perpanjangan waktu tiga bulan. Sebagai jaminan, hasil panen pekarangan akan dibagi dua sampai hutang lunas.
"Kenapa Bapak mau repot-repot membantu saya?" tanya Raji pada Harjo setelah Pak Karso pergi.