Raji tertegun. "Kok bisa tahu?"
Harjo tersenyum. "Aku dulu aktivis tani. Tiga puluh tahun berkeliling Jawa, mengajari petani cara bertahan hidup. Sekarang sudah tua, kerja serabutan saja." Ia mengeluarkan sebungkus rokok kretek dari saku kemejanya yang lusuh. "Mau?"
Raji menggeleng. "Sudah lama berhenti, Pak. Anak saya asma."
"Ah, bapak yang bertanggung jawab rupanya." Harjo menghisap rokoknya dalam-dalam. "Cerita saja, siapa tahu aku bisa bantu."
Entah mengapa, Raji merasa nyaman dengan pria tua ini. Ia mulai bercerita tentang kemarau, tentang sawahnya yang mati, tentang hutang yang mencekik, dan tentang Pak Karso yang mengancam akan mengambil tanahnya.
Harjo mendengarkan dengan serius. "Kau tahu," katanya setelah Raji selesai bercerita, "tanah kering bukan berarti mati. Justru di saat seperti ini kita bisa melihat siapa petani yang benar-benar tangguh."
"Maksud Bapak?"
"Kau punya pekarangan di rumah?"
Raji mengangguk. "Ada, tidak terlalu besar."
"Itu cukup untuk memulai." Harjo mengeluarkan sebuah notes usang dari tasnya. "Lihat, ada cara untuk membuat tanah kering tetap bisa menghasilkan."
Selama satu jam berikutnya, Harjo menjelaskan tentang teknik bertanam di lahan kering. Tentang pembuatan pupuk dari sampah rumah tangga, tentang sistem irigasi tetes yang menghemat air, tentang pemilihan tanaman yang tahan kekeringan.