"Tapi itu semua butuh modal, Pak," Raji menghela nafas.
"Modal utamanya adalah keberanian untuk mencoba," Harjo menepuk bahu Raji. "Kalau kau mau, besok aku akan ke rumahmu. Akan kuajari cara memulainya."
Malam itu, Raji menceritakan semuanya pada Sumi. "Apa tidak terlalu beresiko, Pak?" tanya istrinya khawatir.
"Kita sudah tidak punya pilihan lain, Bu. Lagipula..." Raji menatap Bayu yang tertidur pulas di dipan bambu, "aku tidak mau anak kita kehilangan tanahnya."
Keesokan harinya, Harjo benar-benar datang. Ia membawa beberapa kantong plastik berisi bibit sayuran dan tumpukan sampah organik. "Nah, ini modalmu," katanya sambil tersenyum.
Mereka mulai bekerja di pekarangan. Harjo mengajari cara membuat kompos dari sampah dapur dan kotoran ternak. Ia juga menunjukkan cara membuat lubang-lubang kecil yang diisi kompos, tempat menanam bibit nantinya.
"Pak Raji sudah gila ya?" Sin, tetangga sebelah, berkomentar sinis. "Tanah sekeras batu begitu mau ditanami apa?"
Raji tidak menghiraukan ejekan itu. Ia terus bekerja, dibantu Sumi yang dengan telaten mengumpulkan sampah dapur untuk kompos. Bayu pun ikut membantu dengan cara-caranya sendiri, membawa air dengan ember kecil plastiknya.
"Yang penting konsisten," kata Harjo sebelum pamit pulang. "Jangan berharap hasil besar di awal. Fokus saja membuat tanah ini hidup lagi."
Hari-hari berlalu dengan kerja keras. Raji bangun lebih pagi untuk merawat tanaman sebelum berangkat mencari kerja serabutan. Sumi mengurus kompos dan menyiram tanaman. Perlahan, titik-titik hijau mulai muncul dari tanah yang dulu keras.
"Ayah! Ayah! Lihat!" teriak Bayu suatu pagi. "Tanamannya tumbuh!"