Harjo tersenyum, matanya menerawang jauh. "Tiga puluh tahun lalu, aku hampir kehilangan tanahku karena kemarau dan rentenir. Seorang petani tua menolongku, mengajariku cara bertahan. Sekarang, aku hanya meneruskan apa yang dia lakukan."
Sore itu, ketika matahari mulai condong ke barat, Raji duduk di balai bambunya. Sumi sibuk memetik sayuran yang akan dijual ke pasar besok pagi. Bayu bermain dengan katak yang entah dari mana munculnya di pekarangan mereka yang kini hijau.
Di kejauhan, awan gelap mulai berkumpul. Angin bertiup membawa aroma yang sudah lama tidak mereka rasakan.
"Hujan akan turun," kata Harjo yang duduk di samping Raji. "Tapi kau sudah membuktikan satu hal: bahwa hidup, seperti tanaman-tanaman itu, bisa tumbuh bahkan di tanah yang paling kering sekalipun."
Tetes-tetes hujan pertama jatuh ke tanah, membawa aroma tanah basah yang khas. Bayu berlari-lari di pekarangan dengan tawa riang. Sumi berdiri di ambang pintu, tersenyum haru. Dan Raji, untuk pertama kalinya sejak kemarau datang, merasa beban di pundaknya sedikit terangkat.
Mereka tahu perjalanan masih panjang. Hutang belum lunas, dan hidup tidak akan langsung mudah. Tapi setidaknya mereka telah menemukan cara untuk bertahan, untuk terus melangkah meski di tanah yang paling kering sekalipun. Dan yang lebih penting, mereka tidak berjuang sendiri.
Jejak-jejak kaki di tanah yang mulai basah itu adalah saksi bisu sebuah perjuangan. Perjuangan sebuah keluarga, sebuah komunitas, yang menemukan kekuatan dalam kesederhanaan dan kebersamaan. Dan seperti hujan yang akhirnya turun membasahi tanah yang dulu kering, harapan pun turun membasahi hati mereka yang sempat mengering.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H