"Pak," Sumi berbisik setelah Bayu berlari mengejar kucing, "bagaimana kalau kita jual saja cincin kawin kita?"
Raji menggeleng keras. "Tidak, Bu. Itu satu-satunya peninggalan orangtuamu. Biar aku yang cari jalan."
"Tapi..."
"Aku ke kota hari ini," Raji memotong kata-kata istrinya. "Kata Kang Wahyu ada proyek bangunan yang butuh kuli. Siapa tahu masih bisa masuk."
Sumi terdiam. Ia tahu betul suaminya bukan tipe yang suka menyerah. Sejak menikah lima belas tahun lalu, Raji selalu bekerja keras menghidupi keluarga mereka. Tapi kemarau kali ini berbeda. Lebih panjang, lebih kejam.
Di kota, Raji berjalan dari satu lokasi proyek ke lokasi lain. Terik matahari membakar kulitnya yang sudah gelap. Perutnya keroncongan, tapi ia tak berani membeli makanan. Uang di sakunya harus ia hemat untuk ongkos pulang.
"Maaf, Pak, kami sudah cukup orang," kata seorang mandor di proyek terakhir yang ia datangi.
Dengan langkah gontai, Raji masuk ke sebuah warung kopi kecil di sudut jalan. Ia memesan segelas teh panas, minuman termurah di menu.
"Sepertinya ada yang sedang susah," sebuah suara mengejutkannya. Seorang pria tua duduk di seberang mejanya. Wajahnya penuh kerutan, tapi matanya tajam dan bersinar.
"Ah, tidak apa-apa, Pak," Raji menjawab sopan.
"Namaku Harjo," pria tua itu memperkenalkan diri. "Dari cara dudukmu, kelihatan kalau kau petani."