Azan subuh memecah keheningan pagi di pinggiran kota Bandung. Asep membuka matanya perlahan, merasakan dinginnya udara pegunungan yang menyusup melalui celah jendela kamar sempitnya. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 04.30 pagi. Di sampingnya, Rini dan Adi masih terlelap dalam kehangatan selimut tipis mereka.
Dengan langkah hati-hati agar tidak membangunkan keluarganya, Asep bergegas mengambil wudhu. Air dingin membasuh wajahnya, menghilangkan sisa kantuk yang masih menempel. Setelah menunaikan shalat subuh, ia bergegas ke dapur kecil yang menyatu dengan kamar mereka.
Teko aluminium yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun mulai berdesis, mengeluarkan uap dari pancuran kecilnya. Asep menyeduh teh dengan hati-hati, aroma melati menguar memenuhi ruangan. Ia mengeluarkan roti tawar dari lemari plastik yang sudah agak kusam, memotongnya menjadi beberapa bagian.
"Sudah bangun, Pak?" suara lembut Rini mengejutkannya.
"Eh, iya Bu. Maaf membangunkanmu," jawab Asep sambil tersenyum.
Rini menggeleng, "Tidak kok, memang sudah waktunya bangun. Adi juga sebentar lagi harus siap-siap sekolah."
Mereka duduk di lantai beralas tikar plastik, sarapan bersama dengan menu sederhana namun penuh kehangatan. Adi yang baru bangun mengucek matanya, tersenyum melihat roti di hadapannya.
"Ayah, nanti pulang sekolah boleh main ke losmen?" tanya Adi dengan mata berbinar.
"Jangan dulu ya, Nak. Ayah sedang sibuk membereskan kamar-kamar," jawab Asep lembut.
Pukul 06.00 pagi, Asep sudah siap dengan seragam kerjanya yang bersih namun sudah agak pudar. Ia mengecek satu per satu kamar losmen, memastikan semuanya dalam keadaan rapi. Losmen "Bougenville" memang bukan penginapan mewah, tapi setidaknya ia berusaha menjaga kebersihan dan kenyamanannya.
Namun belakangan ini, Asep merasa beban di pundaknya semakin berat. Persaingan dengan hotel-hotel modern di sekitar membuat losmen tempatnya bekerja semakin sepi. Dari 15 kamar yang tersedia, rata-rata hanya 5-6 kamar yang terisi setiap harinya.
"Asep!" suara Pak Hendra, pemilik losmen, mengagetkannya yang sedang menyapu teras.
"Iya, Pak?"Â
"Ke ruangan saya sekarang."
Dengan langkah berat, Asep mengikuti Pak Hendra ke ruangan yang juga berfungsi sebagai kantor losmen. Ruangan itu dipenuhi aroma rokok yang menyengat. Dari balik kepulan asap rokok, Asep bisa melihat wajah Pak Hendra yang merah padam. Di atas meja, tumpukan kertas berisi data keuangan losmen berserakan. Beberapa angka yang dilingkari dengan spidol merah membuat jantung Asep berdegup kencang.
"Duduk!" perintah Pak Hendra singkat, sambil menghembuskan asap rokoknya ke udara.
Asep duduk di kursi kayu yang berderit, tangannya berkeringat dingin. Ia tahu betul arti tatapan tajam bosnya itu. Selama lima tahun bekerja di sini, ia belum pernah melihat Pak Hendra semarah ini.
"Coba lihat ini!" Pak Hendra membanting selembar kertas ke hadapan Asep. "Pendapatan bulan ini turun 40% dibanding tahun lalu. Hotel-hotel baru di sekitar sini menggerus pelanggan kita. Dan kamu..." ia menunjuk wajah Asep dengan jari telunjuknya yang gemetar, "...apa yang sudah kamu lakukan untuk memperbaiki situasi ini?"
"Sa-saya sudah berusaha maksimal, Pak," suara Asep tercekat. "Kamar-kamar selalu saya jaga kebersihannya. Tidak ada satu debu pun yang---"
"BRAK!" Pak Hendra menggebrak meja, membuat Asep terlonjak. "Kebersihan itu standar! Semua penginapan juga bersih! Saya butuh ide-ide baru, Sep! Inovasi! Kalau begini terus..." ia mengambil napas dalam-dalam, "...dengan berat hati, saya harus memotong gajimu 30 persen."
Dunia Asep seketika gelap. Gaji 2,5 juta per bulan yang ia terima saat ini saja sudah pas-pasan untuk menghidupi keluarganya. Bayangan wajah Adi yang belum membayar uang sekolah bulan ini, Rini yang butuh obat untuk asmanya, dan tagihan listrik yang menunggak dua bulan berkelebat di benaknya.
"Ja-jangan Pak," suara Asep bergetar. "Sa-saya mohon, beri saya kesempatan. Adi baru masuk SD, istri saya butuh obat rutin..."
"Itu urusan pribadimu!" potong Pak Hendra keras. "Bisnis ya bisnis! Kalau dalam satu bulan ke depan tidak ada perubahan..." ia menggantung kalimatnya, membiarkan ancaman itu melayang-layang di udara yang pengap.
Asep mengepalkan tangannya di bawah meja, menahan air mata yang nyaris tumpah. Ia teringat pesan mendiang ibunya dulu: "Sep, hidup itu seperti naik sepeda. Kalau berhenti mengayuh, kamu bisa jatuh."
"Baik, Pak," Asep berdiri dengan tegap, berusaha meneguhkan hatinya. "Saya akan buktikan bahwa losmen ini bisa bangkit lagi. Saya mohon, beri saya waktu satu bulan."
Pak Hendra menatap Asep lekat-lekat, mencari kesungguhan di mata pegawainya itu. "Satu bulan," ucapnya tegas. "Tidak lebih."
Asep keluar dari ruangan itu dengan lutut gemetar. Koridor losmen yang biasanya terasa pendek, kini seakan memanjang tak berujung. Di kejauhan, ia bisa mendengar tawa riang Adi yang sedang bermain di halaman belakang. Tawa yang mungkin akan segera berubah menjadi tangis jika ia gagal mempertahankan gajinya.
"Ya Allah," bisiknya lirih, "tunjukkan aku jalan..."
Malam itu, Asep pulang dengan wajah murung. Rini yang sedang menyetrika pakaian langsung menyadari ada yang tidak beres.
"Ada apa, Pak? Kok sepertinya ada masalah?" tanya Rini lembut.
Asep menceritakan percakapannya dengan Pak Hendra. Air mata Rini menggenang, tapi ia berusaha tegar.
"Kita pasti bisa melewati ini, Pak. Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan hambanya," hibur Rini sambil menggenggam tangan suaminya.
Semalaman Asep berpikir keras. Ia teringat pengalamannya menginap di losmen sederhana di Garut tahun lalu. Meski fasilitasnya tidak istimewa, tapi pelayanan ramahnya membuat ia betah.
Keesokan harinya, Asep mulai menerapkan ide-idenya. Ia menyediakan teh dan air putih gratis di setiap kamar. Ia juga memasang pot-pot kecil berisi tanaman hias di sepanjang koridor losmen, membuat suasana lebih asri.
Yang paling penting, ia memberikan pelayanan ekstra kepada setiap tamu. Mulai dari membantu membawakan koper, memberikan informasi tempat makan enak di sekitar losmen, hingga menyediakan obat-obatan ringan untuk tamu yang sakit.
Perlahan tapi pasti, perubahan mulai terlihat. Setiap pagi, Asep membaca ulasan-ulasan baru di situs perjalanan online dengan mata berbinar. "Losmen sederhana dengan hati yang besar," tulis seorang tamu. "Pak Asep adalah malaikat penyelamat liburan kami," puji yang lain. Rating losmen naik dari 2,5 menjadi 4,7 bintang dalam waktu sebulan.
Suatu malam, ketika hujan deras mengguyur Bandung, sepasang suami istri tua mengetuk pintu losmen dengan panik. Sang istri demam tinggi, menggigil kedinginan setelah terjebak macet berjam-jam di jalan. Tanpa pikir panjang, Asep mengeluarkan persediaan paracetamol dan jahe merah yang selalu ia simpan untuk kondisi darurat.
"Pak, Ibu harus segera minum obat dan beristirahat," ujar Asep sambil membantu pasangan itu ke kamar terdekat. Ia bahkan rela mengorbankan selimut cadangan milik keluarganya sendiri untuk menghangatkan sang istri yang masih menggigil.
Semalaman, Asep bolak-balik mengecek keadaan tamunya itu, membawakan teh jahe panas dan handuk basah untuk mengompres. Rini yang melihat kesibukan suaminya diam-diam tersenyum bangga, sambil berdoa untuk kesembuhan sang tamu.
Keesokan paginya, wajah sang istri sudah jauh lebih segar. Suaminya, seorang pensiunan dokter bernama Pak Rahmat, menggenggam tangan Asep dengan mata berkaca-kaca.
"Pak Asep, saya sudah menginap di banyak hotel berbintang," ujarnya terharu, "tapi belum pernah menemukan ketulusan seperti ini. Terimalah ini sebagai bentuk terima kasih kami." Pak Rahmat menyerahkan sebuah amplop putih.
Asep menggeleng sopan, "Ah, tidak usah repot-repot Pak. Sudah kewajiban saya membantu tamu yang kesusahan."
"Saya mohon," Pak Rahmat meletakkan amplop itu di tangan Asep. "Anggap saja sebagai rezeki dari Allah. Saya juga akan merekomendasikan losmen ini ke komunitas pensiunan dokter saya. Mereka sering mengadakan reuni di Bandung."
Air mata Asep nyaris menetes. Sudah lama ia memimpikan bisa membelikan sesuatu untuk keluarganya. Adi butuh mainan baru untuk perkembangan motoriknya - kata guru TK-nya minggu lalu. Rini juga sudah lama menabung untuk membeli jilbab baru, tapi selalu saja uangnya terpakai untuk kebutuhan mendadak.
Sepulang kerja, Asep mampir ke pasar. Dengan hati berbunga-bunga, ia memilih mobil-mobilan remote control yang sudah lama diinginkan Adi dan sehelai jilbab sutra sederhana untuk Rini. Uang tips dari Pak Rahmat lebih dari cukup untuk membeli keduanya.
"AYAAAAH!" Adi berlari menubruk kaki Asep begitu ia membuka pintu rumah. "Itu... itu... mobil-mobilan yang seperti punya Dani ya?" mata bocah lima tahun itu berbinar-binar melihat bungkusan di tangan ayahnya.
"Iya, sayang. Tapi ingat ya, mainannya harus berbagi sama teman-teman," Asep mengusap kepala putranya dengan sayang.
Rini yang baru selesai melipat cucian tertegun melihat suaminya mengeluarkan jilbab dari kantong plastik lainnya. "Astagfirullah... Pak, ini pasti mahal. Harusnya uangnya ditabung saja atau---"
"Ssst," Asep menempelkan jarinya di bibir Rini. "Ini rezeki dari Allah melalui tamu yang baik hati. Dan kamu..." ia menggenggam tangan istrinya, "sudah terlalu lama menahan diri. Sekarang gantian kamu yang harus terima kasih sama Allah."
Malam itu, kamar sempit mereka dipenuhi tawa bahagia. Adi asyik memainkan mobil barunya, sementara Rini tak henti-hentinya mengusap jilbab pemberian suaminya dengan mata berkaca-kaca. Asep memeluk keduanya erat-erat, mensyukuri bagaimana Allah menunjukkan kasih sayangnya melalui cara-cara yang tak terduga.
"Pak," bisik Rini saat Adi sudah tertidur pulas, "terima kasih ya. Bukan karena hadiahnya, tapi karena sudah mengajarkan Adi arti kerja keras dan ketulusan."
Asep tersenyum. Ia teringat kata-kata mendiang ibunya: "Rejeki itu seperti air, Sep. Kalau kamu ikhlaskan untuk mengalir ke orang lain, Allah akan kirimkan lebih banyak mata air ke hidupmu."
Tiga bulan berlalu, okupansi losmen meningkat signifikan. Pak Hendra bahkan memberikan bonus kepada Asep karena prestasinya.
"Sep, saya salah menilaimu. Ternyata bukan hanya kebersihan yang penting, tapi juga keramahan dan pelayanan tulus yang kamu berikan," ucap Pak Hendra.
Malam itu, Asep duduk di teras kamarnya yang sederhana. Ia memandang bintang-bintang yang bertaburan di langit Bandung. Hatinya dipenuhi rasa syukur yang tak terhingga.
"Ternyata benar ya, Bu. Rezeki itu datangnya dari mana saja kalau kita mau berusaha dan berdoa," ucap Asep kepada Rini yang duduk di sampingnya.
"Iya, Pak. Yang penting kita selalu berbuat baik dan ikhlas. Allah pasti memberikan jalan," jawab Rini sambil tersenyum.
Kamar-kamar losmen mungkin tidak selalu penuh, tapi hati Asep selalu penuh dengan rasa syukur dan bahagia. Ia memiliki istri yang setia mendampingi, anak yang selalu membuatnya tersenyum, dan pekerjaan yang membuatnya bisa berbuat baik kepada sesama.
Di tengah dinginnya malam Bandung, kehangatan cinta dan keikhlasan mengalir dalam kehidupan sederhana keluarga kecil ini. Mereka membuktikan bahwa kebahagiaan sejati tidak diukur dari seberapa mewah tempat tinggal atau seberapa besar penghasilan, tapi dari seberapa penuh hati dengan rasa syukur dan kasih sayang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H