"Ja-jangan Pak," suara Asep bergetar. "Sa-saya mohon, beri saya kesempatan. Adi baru masuk SD, istri saya butuh obat rutin..."
"Itu urusan pribadimu!" potong Pak Hendra keras. "Bisnis ya bisnis! Kalau dalam satu bulan ke depan tidak ada perubahan..." ia menggantung kalimatnya, membiarkan ancaman itu melayang-layang di udara yang pengap.
Asep mengepalkan tangannya di bawah meja, menahan air mata yang nyaris tumpah. Ia teringat pesan mendiang ibunya dulu: "Sep, hidup itu seperti naik sepeda. Kalau berhenti mengayuh, kamu bisa jatuh."
"Baik, Pak," Asep berdiri dengan tegap, berusaha meneguhkan hatinya. "Saya akan buktikan bahwa losmen ini bisa bangkit lagi. Saya mohon, beri saya waktu satu bulan."
Pak Hendra menatap Asep lekat-lekat, mencari kesungguhan di mata pegawainya itu. "Satu bulan," ucapnya tegas. "Tidak lebih."
Asep keluar dari ruangan itu dengan lutut gemetar. Koridor losmen yang biasanya terasa pendek, kini seakan memanjang tak berujung. Di kejauhan, ia bisa mendengar tawa riang Adi yang sedang bermain di halaman belakang. Tawa yang mungkin akan segera berubah menjadi tangis jika ia gagal mempertahankan gajinya.
"Ya Allah," bisiknya lirih, "tunjukkan aku jalan..."
Malam itu, Asep pulang dengan wajah murung. Rini yang sedang menyetrika pakaian langsung menyadari ada yang tidak beres.
"Ada apa, Pak? Kok sepertinya ada masalah?" tanya Rini lembut.
Asep menceritakan percakapannya dengan Pak Hendra. Air mata Rini menggenang, tapi ia berusaha tegar.
"Kita pasti bisa melewati ini, Pak. Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan hambanya," hibur Rini sambil menggenggam tangan suaminya.