Mohon tunggu...
syahmardi yacob
syahmardi yacob Mohon Tunggu... Dosen - Guru Besar Manajemen Pemasaran Universitas Jambi

Prof. Dr. Syahmardi Yacob, Guru Besar Manajemen Pemasaran di Universitas Jambi, memiliki passion yang mendalam dalam dunia akademik dan penelitian, khususnya di bidang strategi pemasaran, pemasaran pariwisata, pemasaran ritel, politik pemasaran, serta pemasaran di sektor pendidikan tinggi. Selain itu, beliau juga seorang penulis aktif yang tertarik menyajikan wawasan pemasaran strategis melalui tulisan beberapa media online di grup jawa pos Kepribadian beliau yang penuh semangat dan dedikasi tercermin dalam hobinya yang beragam, seperti menulis, membaca, dan bermain tenis. Menulis menjadi sarana untuk menyampaikan ide-ide segar dan relevan di dunia pemasaran, baik dari perspektif teoritis maupun aplikatif. Gaya beliau yang fokus, informatif, dan tajam dalam menganalisis isu-isu pemasaran menjadikan tulisannya memiliki nilai tambah yang kuat, khususnya dalam memberikan pencerahan dan solusi praktis di ranah pemasaran Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

PPN 12%: Happy kah bagi Bisnis Indonesia?

19 November 2024   14:31 Diperbarui: 19 November 2024   14:42 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Pemerintah Indonesia berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Langkah ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk memperkuat penerimaan negara, yang dianggap penting untuk mendanai kebutuhan pembangunan dan memastikan keberlanjutan ekonomi nasional. Namun, kebijakan ini tidak lepas dari perdebatan, terutama karena diimplementasikan pada masa pemulihan ekonomi yang masih rentan setelah dampak pandemi COVID-19.

Kenaikan PPN ini menjadi isu strategis karena melibatkan berbagai pihak, mulai dari pelaku bisnis, masyarakat sebagai konsumen akhir, hingga pemerintah sendiri sebagai pengelola penerimaan negara. Bagi sebagian pihak, kenaikan tarif pajak ini dipandang sebagai langkah yang tidak dapat dihindari mengingat rasio perpajakan Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Namun, ada pula kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat memperlambat pemulihan ekonomi, melemahkan daya beli masyarakat, dan menambah beban bagi sektor usaha, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia.

Dengan berbagai dinamika ini, pertanyaan utama yang muncul adalah apakah kenaikan PPN ini akan memberikan dampak positif dalam jangka panjang atau justru menambah beban bagi perekonomian nasional di masa kini. Jadi, apakah kebijakan ini akan disambut dengan optimisme oleh dunia usaha, atau justru menjadi momok baru bagi mereka? Mari kita telusuri lebih jauh untuk memahami implikasi kebijakan ini bagi berbagai sektor di Indonesia.

Tujuan dan Alasan di Balik Kenaikan PPN

Kenaikan PPN menjadi 12% bukanlah kebijakan yang muncul tanpa alasan. Pemerintah berargumen bahwa reformasi perpajakan diperlukan untuk memperkuat penerimaan negara, yang pada akhirnya akan digunakan untuk mendukung pembangunan infrastruktur, layanan publik, dan pengentasan kemiskinan. Langkah ini juga dilihat sebagai strategi untuk mengatasi tantangan jangka panjang dalam meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa rasio perpajakan Indonesia saat ini masih tertinggal dibandingkan negara-negara anggota ASEAN, G20, dan OECD. Ia menyatakan, "Rasio pajak Indonesia selama ini relatif stagnan dan belum mencerminkan optimalisasi sumber daya yang ada." Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa pada tahun 2022, rasio pajak Indonesia hanya mencapai 10,38%, jauh di bawah rata-rata ASEAN yang berkisar 15-18%. (Sumber: Bisnis.com)

Sebagai pembanding, beberapa negara ASEAN memiliki rasio pajak yang jauh lebih tinggi. Thailand, misalnya, mencatatkan rasio pajak sebesar 17,18%, sementara Vietnam mencapai 16,21%, dan Singapura berada di angka 12,96%. Di lingkup global, Indonesia juga tertinggal dari rata-rata rasio pajak negara-negara OECD yang mencapai 34% pada tahun 2020)

Rendahnya rasio pajak ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia. Dengan rasio pajak yang kecil, kemampuan negara untuk mendanai kebutuhan dasar seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan program perlindungan sosial menjadi terbatas. Kementerian Keuangan menyebut bahwa penerimaan pajak yang lebih besar diperlukan untuk mengurangi ketergantungan pada pembiayaan utang negara, terutama di tengah situasi global yang semakin tidak menentu akibat ancaman resesi dan ketegangan geopolitik.

Lebih jauh, harmonisasi peraturan perpajakan melalui kenaikan PPN diharapkan dapat menciptakan struktur pajak yang lebih adil. Dengan memperluas basis pajak dan meningkatkan penerimaan dari konsumsi, pemerintah memiliki peluang untuk mendistribusikan beban pajak secara lebih merata. Kebijakan ini juga dinilai strategis untuk mempercepat transformasi digital dan memastikan bahwa ekonomi berbasis konsumsi dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara.

Meski begitu, kenaikan ini perlu diimbangi dengan pengelolaan yang transparan. Transparansi dalam alokasi dana hasil PPN akan menjadi kunci untuk memastikan bahwa masyarakat dan dunia usaha dapat merasakan manfaat langsung dari peningkatan pajak ini.

Dampak bagi Dunia Usaha

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun