"Bu..., bu..., sudah azan bu..." kataku lembut dan mendekat tanpa suara kaki.
Aku duduk disampingnya dan menyentuh pundaknya. Sekali lagi membangunkannya. Tidak ada jawaban. Berkali kali aku membangunkan, berkali-kali juga tidak ada sahutan dari ibu.
Kesedihan seketika mencengkeram erat dadaku, hingga aku tak kuasa menarik nafas. Dadaku terasa berat dan sesak. Ibuku sudah terbujur kaku dan pucat pasih wajahnya dengan gaun mukenah putihnya. Ibu telah kembali keharibaan-Nya.
Wajahnya setenang wajah bayi yang sedang tertidur, dengan sebuah senyuman kecil.
Libur lebaran tahun 2000 itu, juga menjadi persuaan kami yang terakhir dengan ibu yang selalu kami rindu.
Ibuku tidak hanya mewariskan sebuah tikar rotan halus yang telah mengusam, tempat aku selalu mengenangnya jika sedang melipat pakaian. Tetapi juga mengalirkan pada jiwaku kepribadian seorang ibu yang baik bagi suaminya, sepanjang hayat dan tidak akan pernah kusam.
Jika bisikan sahabat di pengajian pada hari jumat kemarin, yang berkata "Mutiah adalah mutiara surgawi, maka mutiara itu adalah ibuku".
SM. Desember 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H