Pekerjaannya sebagai guru dan pekebun, hasilnya digunakan untuk membiayai sebagian kecil sekolah kami sampai SMA. Karena  setelah itu, sekolah lanjut di perguruan tinggi, kami semua bersaudara dibiayai oleh pemerintah melalui beasiswa berprestasi, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Saudara pertamaku saat ini, bekerja sebagai pegawai pemerintah di konsulat negara di negeri jiran. Saudaraku yang kedua adalah seorang guru besar di sebuah universitas islam dalam negeri, di ibukota. Aku sendiri, sebagai satu-satunya anak perempuan, memilih menjadi ibu bagi seorang anak.
Dan entah mengapa setelah ada perasaan ingin berumah tangga dan kemudian menikah dengan seorang enjinering bidang pertambangan minyak lepas pantai, perusahan asing yang beroperasi dalam negeri, aku tidak lagi berminat melanjutkan karirku di sebuah bank pemerintah, dan menolak tawaran sebagai dosen di sebuah universitas asing dalam negeri, namun lebih berbesar hati memilih untuk menjadi pendamping dan pelayan bagi suamiku.
"Biasanya ibumu sudah menyiapkan kudapan-kudapan dalam keranjang dan sebuah termos berwarna perak berisi kopi hitam manis, yang akan dinikmati bapakmu di rumah kebun, setelah mengerjakan perkejaan kebunnya, menjelang sore. Kadang kadang sehabis ashar, mereka meninggalkan kebun mereka", lanjut cerita tenteku, sembari minta aku menambah makanan yang dihidangkannya.
Hari itu, aku merasa banjir cerita mengenai ibuku. Sebagian aku telah mengetahuinya, tapi sebagian besarnya lainnya, baru kali ini terdengar di telingaku.
Anakku laki-lakiku satu-satunya, tiba-tiba datang dari sebelah, "mama dipanggil sama nenek", katanya kemudian berlalu.
Aku melihat ibuku sedang berbaring di ranjang kamarnya. Ditemani oleh kakak keduaku, dan tiga orang cucunya. Pakaian lebaran yang indah, belum dilepaskannya. Tubuhnya nampak tidak bertenaga diatas pembaringan, di usianya yang ke 70 tahun, seolah ingin tidur siang.
Mungkin agak kelelahan, dua hari persiapan menyambut hari lebaran, ibu juga turut menguras tenaga, ikut ramai dalam keseruan di dapur.
"Saya bahagia sekali hari ini, kalian berdua ada di rumah ini lebaran bersama ibu, meskipun kakamu yang satu belum sempat datang. Tapi panggillah juga dia besok untuk datang ke sini". Kata-kata ibu sangat dalam rasanya.
Hari pertama aku tiba, dia juga mengatakan hal yang kurang lebih sama. Selalu menanyakan kakak tertuaku, yang tidak sempat begabung karena kesibukannya di luar negeri.
"Mungkin kalian akan jarang lagi ke sini ke rumah ini, kecuali untuk siarah ke makam bapakmu", ibu berkata agak lirih, suaranya agak kedalam. Ibu menatap kami satu persatu.