Kakak keduaku menawarkan air putih, disambutnya dengan tangan yang bergerak lamban.
"Saya tidak pernah merasa berpisah dari kalian semua anak-anakku, meskipun sejak kecil kalian semua tidak dalam asuhan ibumu ini langsung, tapi doa-doa setiap malam ibu panjatkan untuk kebahagiaan kalian dunia dan akhirat", mata ibu berkaca-kaca mengucapkan kata-katanya.
"Sejak menikah dengan bapakmu, ibu sudah bertekad hanya ingin memberikan seluruh jiwa raga ini untuk berbakti kepadanya. Dan telah kuteguhkan niatku, untuk menitip kalian kepada Allah SWT, sebagai ikhtiarku, karena ibu hanya ingin menyerahkan diri, tenaga dan waktu untuk bapakmu. Dan alhamdullilah, ibu melihat Allah SWT telah mengabulkan doa-doa ibu selama ini. Kalian semua sudah berhasil, pendidikan, pekerjaan dan keluarga. Bahkan kalian sudah sangat berbakti pada ibu dan bapakmu, karena ikhlas menerima keadaan kalian yang harus terpisah dariku sejak kalian semua masih kecil-kecil. Ibu selalu meminta pertolongan kepada Allah SWT agar hidup kalian dmudahkan dan dilimpahkan kasih sayang oleh Allah SWT. Jangan menyangka ibu tidak sayang pada kalian semua, ketika memisahkan kalian dari sisi ibu. Ibu harus mengorbankan perasaan cinta dan kasih sayangku ini kepada kalian, demi bapakmu. Ibu juga harus menahan beban yang berat harus berpisah jauh dengan buah hatiku. Tapi demi baktiku kepada suami, bapak kalian, perasaan itu harus aku korbankan", kata-kata ibuku lancar, teguh dan penuh keyakinan.
Ibu memang besar dalam didikan kakek, yang dikenal di kota kabupaten sebagai seorang alim dan sholeh. Di rumah kakekku dulu, ketika masih sekolah SD, aku  tidak pernah sepi, karena hampir setiap pekan, ramai orang-orang berdatangan ke rumah kakek untuk belajar agama islam tradisional.
Mereka sering membawakan aku macam-macam oleh-oleh dan memberi uang jajan. Tidak jarang juga, ada yang membawaku kerumahnya untuk bermalam, dengan perlakukan keperdulian, kemanjaan dan kasih sayang.
Selama aku berpisah dari ibu dan bapak sejak kecil, secara pisik sangat jarang bersua dengan keduanya, tetapi kasih sayang dari keluarga dan orang-orang dimana aku dititipkan, sangat melimpah dan ikhlas. Sehingga aku tetap senantiasa merasakan kehadiran seorang ibu disisiku.
Hal yang sama juga dialami dan dirasakan oleh kedua kakak laki-lakiku. Ibu itu selalu hadir di hati kami.
Yang paling nyata aku alami adalah kemudahan-kemudahan memperoleh biaya pendidikan dan uang-uang jajan. Kiriman kedua orang tua selalu berlebih, dan bantuan-bantuan lain yang kadang aku tidak menduganya, mengalir seolah tak terbendung.
Tidak pernah kami rasakan kekurangan finansial selama penempuh studi dari SD hingga program S2 ku selesai di negara Turkie. Â Aku sering memperoleh bantuan pendidikan berprestasi dari pemerintah dan Yayasan-yayasan amal di luar negeri.
Bahkan aku memiliki banyak tabungan. Aku kirimkan kembali tabungan itu kepada orang tua untuk digunakan keperluan rumah tangga keduanya. Namun ternyata uang itu digunakan untuk sumbangan rutin kepada sebuah lembaga tahfiz al-Quran untuk anak yatim piatu yang ada di kota kabupaten, milik teman bapakku.
"Jangan lupa, kabari kakamu yang di Malaysia untuk datang besok", lanjut ibu bersungguh-sungguh. Matanya kembali menatap kami satu persatu. Sebuah tatapan yang agak berbeda, dan membuat perasaan hatiku tidak menentu.