”Tergantung masing-masing sih. Ada yang percaya ada yang gak..” jawabannya sedikit menenangkan saya.
“Lu juga gak sembahyang?” tanya saya pada teman yang lain. Laki-laki yang juga berperawakan Cina. Bahkan namanya pun masih menggunakan nama Tionghoa.
“Ih.. gue gak sembahyang begituan kali. Tiap Minggu gue dah ke gereja. Lagian gue juga gak ngerti sama yang beginian..” Ia tampak enggan dihubung-hubungkan dengan ritual di klenteng ini.
”Eh, Dewi Kwan Im-nya kayak apa sih, Koh?” Saya bertanya penasaran pada si penjaga.
”Lha itu..” Ia merujuk pada gambar besar dengan pigura kaca. Tertempel di sudut ruangan. Seorang putri cantik berjubah putih berdiri diatas kepala naga yang tengah meliuk-liuk di tengah samudera. Sosok sang Dewi mengingatkan saya pada Nyi Roro Kidul. Ratu cantik penguasa laut Selatan di Jawa.
”Asalnya dari laut sana.” Si penjaga melanjutkan. Menunjuk ke luar klenteng. Pemandangan lautan terhampar dari altar halaman depan ruang utama klenteng.
”Eh namanya siapa Koh..?” Saya bertanya mengakhiri.
”Aliong.”
”Kamsia ya Koh..”
II
Hari Minggu menjadi hari yang spesial buat saya selama tinggal di Oslo. Pada hari itu saya memiliki agenda rutin berkunjung ke gereja-gereja yang ada di kota ini.