Mohon tunggu...
syafa'atun aisya
syafa'atun aisya Mohon Tunggu... -

wanderer wanabe

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Beragama dengan Santai

5 November 2010   20:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:49 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada beberapa alasan mengapa saya melakukan aktifitas ini.

Pertama, saya tak ingin rugi menganggurkan kartu bulanan saya. Kartu yang bisa digunakan untuk seluruh moda transportasi publik di kota Oslo. Trem, subway, bus, hingga feri yang bisa mengantar kita melihat-lihat fjord dan pulau-pulau kecil di sekitar Oslo. Dengan membeli kartu bulanan kita juga akan mendapatkan diskon yang cukup besar dibanding membeli kartu eceran harian atau pass sekali naik. Meski, kalau anda tak sering bepergian atau justru lebih banyak bepergian keluar kota, kartu bulanan anda tentu akan menjadi mubazir.

Nah, saya termasuk orang yang tak mau merugi dengan kartu bulanan itu. Maka meski hari Sabtu atau Minggu saya usahakan pergi meski tanpa tujuan. Wisata keliling kota dengan berpindah dari satu moda transportasi ke moda transportasi lain. Tak ubahnya seperti kelakukan Mr. Bean yang tengil dan pelit itu lah..

Kedua, plesiran ke gereja bisa menjadi salah satu alternatif membunuh waktu yang jitu di hari Minggu. Sebagai negara dimana para buruh menjadi penguasa, hari Minggu adalah hari bagi para buruh memanjakan diri. Along the day.  Beberapa aktivitas mulai menurunkan intensitasnya pada hari Sabtu dan benar-benar berhenti pada hari Minggu. Kota menjadi sepi. Gedung-gedung tutup. Hampir tak ada toko yang buka. Kalaupun ada harganya menjadi luar biasa.

Diantara sedikit gedung yang buka pada hari Minggu adalah gereja. Mayoritas gereja di kota ini adalah gereja Protestan. Semua gereja akan melakukan misa pukul 11 siang. Misa dilakukan dalam bahasa Norwegia. Kalaupun ada yang dalam bahasa Inggris biasanya pada petang hari. Itu pun sangat jarang. Satu-satunya gereja Katolik (yang saya tau) dan melakukan misa dalam bahasa Inggris ada di pusat kota. Misa dilakukan pada pukul lima sore hari. Katedral ini konon dibangun khusus diperuntukkan bagi para tenaga kerja asal Filipina (TKF) yang menjadi tenaga kerja cukup berpengaruh di Norwegia. Kisah sukses juga banyak mengalir dari para TKF ini. Banyak dari mereka yang berhasil beralih kewarganegaraan dengan mengawini warga asli Norway.

Ketiga, pengalaman pertama saya yang awalnya secara iseng pergi ke gereja dekat asrama tempat saya tinggal pada akhirnya memberi efek candu bagi saya. Pergi dari satu gereja ke gereja lain memperkaya pengetahuan saya akan seni arsitektur di kota ini. Sebanyak gereja yang saya kunjungi, tak ada satupun arsitektur yang sama. Begitu beragam dan unik. Mulai dari yang sangat cozy dengan kayu-kayu Norwegia yang terkenal sangat kuat namun juga hangat yang melapisi seluruh ruangan dalam gereja, atau gaya Romawi kuno dengan ruangan beratap tinggi dan kaca-kaca patri di atap yang memberi kesan cahaya matahari berpendar dengan cantik. Salah satu gereja bahkan ada yang bergaya sangat posmodern hingga sama sekali tak mirip dengan bangunan gereja ataupun seperti rumah ibadah konvensional. Gereja yang mendapat sejumlah penghargaan untuk desain bangunan tersebut juga dimasukkan dalam salah satu dari seni kontemporer di Oslo.

Selain, saya juga suka sekali mendengar hymne-hymne yang dinyanyikan pada saat misa di gereja-gereja tersebut. Membandingkan satu paduan suara dengan paduan suara lain yang sangat bervariasi. Pada momen ini saya juga bisa bertindak gila dengan ikut bernyanyi-nyayi dalam bahasa Norway yang tak sepenuhnya saya mengerti. Sementara lyric hymne bisa dengan mudah didapat lewat selebaran atau booklet yang dibagikan pada saat jemaat masuk ruangan atau telah tersedia di masing-masing bangku jemaat.

Saat tetirah gereja ini saya juga mendapati sebuah gereja yang dipimpin oleh seorang pendeta dan petugas yang semuanya perempuan. Meski jemaatnya tidak hanya perempuan. Mimbar khotbah pun dibuat unik. Menggantung di salah pilar besar dan tinggi. Pada saat khutbah, pendeta perempuan yang masih muda dan cantik itu naik ke atas mimbar yang menggantung tersebut. Dengan suara yang merdu ia menyapa jamaat yang ada di bawahnya. Sinar matahari yang masuk lewat salah satu kaca atap memberi siluet indah. Saat jubah putih tipis sang pendeta berkibar menerawang diiringi koor paduan suara yang syahdu, saya seperti tengah syuting dalam salah satu adegan ”Lord of the Ring” bersama peri cantik di tengah hutan.

Omong-omong soal bahasa Norway, komuni-komuni dalam gereja inilah yang dengan baik hati menyediakan kursus bahasa Norway secara gratis. Saya sempat ikut komunitas ini. Menambah jaringan pertemanan sekaligus bisa sedikit mengirit bea makan malam. Pada setiap pertemuan secara berkala akan digilir juru masak dari para anggota yang berasal dari beragam negara. Anggota lain yang tak memasak hanya diminta sumbangan a la kadarnya dan bantu bersih-bersih selesai acara. Maka selain bisa belajar menyapa dengan bahasa Norway paling dasar saya juga punya kesempatan untuk mencicipi aneka penganan dari beragam negara. Tortilla a la Meksiko, pasta Italia, atau salmon saus jeruk a la Norwegia.

Meski, ada juga momen yang tak begitu saya sukai saat mengikuti ibadat misa di gereja-gereja tersebut. Saat para pendeta menyampaikan khotbahnya. Dalam bahasa Norway dan durasi yang cukup lama. Membuat mata ingin mengantuk.

Juga saat kantong-kantong amal (dengan beragam bentuk. Masing-masing gereja juga punya desain kantongnya sendiri-sendiri) mulai disebarkan petugas dan jamaat merogoh recehan disakunya untuk disumbangkan secara sukarela. Saya kerap tak enak hati bila hanya mendiamkan tangan saya. Untuk menyiasatinya, lagi-lagi saya gunakan aksi tengil dan pelit-nya Mr. Bean. Meraih kantong yang diasongkan, memasukkan tangan ke kantong dengan sedikit kocokan sehingga sedikit bunyi dentingan koin terdengar seolah-olah baru saja memasukkan beberapa koin ke dalam kantong, lalu segera mengangsurkan kantong ke jemaat di samping saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun