Ah, tapi saya (mencoba berapologi) tak sedikitpun merasa berdosa saat pergi ke tempat-tempat ibadat itu. Sangat excited malah. Tak ada suara-suara berisik dalam diri saya yang terus mengingatkan seperti bila saya harus melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nurani saya.
Buat saya, pertanyaan hakiki yang layak muncul berkaitan dengan perilaku “sinkritisme suka-suka” saya dalam beragama adalah; ”Apakah tuhan-tuhan yang telah saya kunjungi di klenteng, gereja-gereja dan katedral, mushalla dan mesjid-mesjid itu adalah tuhan yang berbeda?”
(Hm, saya belum punya kesempatan mengunjungi sinagoge. Kalau ada tawaran untuk bisa pergi langsung ke Jerussalem dan ikut merintih di tembok ratapan, boleh juga.. :))
Pertanyaan hakiki lainnya berkaitan dengan agama seperti yang pernah diajukan seorang teman suatu ketika. Saat kami terjebak dalam kemacetan lalu lintas sementara Jakarta dihantam hujan badai. Setelah ngobrol ngalor-ngidul dan selingan sumpah serapah mengutuk kemacetan yang makin menggila, tiba-tiba ia bertanya, ”Sebenarnya apa sih fungsi agama?”
Sebuah pertanyaan klasik. Nietzsche telah melakukannya dengan membuat metafora orang gila yang berlari-lari di tengah pasar dengan obor di tangan untuk mencari (dan membunuh) Tuhan. Atau Marx yang mengkritik agama sebagai wahana alienasi manusia dan alat penindas dari penguasa.
”Kalau cuma untuk melarang orang untuk tidak mencuri, membunuh atau berlaku kriminal lainnya, tak perlu agama dong.. Itu kan sudah jadi ketentuan universal. Secara manusiawi pasti ada batasan bagi orang untuk bertindak yang merugikan hidup orang lain..”
Teman saya melanjutkan gugatannya.
Saya mengiyakan saja. Sementara pikiran saya mengawang-awang. Teringat catatan pinggir Goenawan Mohammad suatu ketika. Saat ia mengutip Kant untuk mengulas pertanyaan yang kurang lebih sama seperti yang diajukan teman saya.
”Apa guna Tuhan?”
Lamunan saya juga sampai pada deretan huruf yang pernah dipakai untuk kampanye salah satu kelompok kerukunan antar umat beragama.
”Tuhan agama mu apa?”