Mohon tunggu...
syafa'atun aisya
syafa'atun aisya Mohon Tunggu... -

wanderer wanabe

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Beragama dengan Santai

5 November 2010   20:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:49 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

III

”Eh lu masih sholat kan?” Tanya teman yang lama tak bertemu dan terkejut melihat penampilan baru (sekaligus cantik) saya :)

”Ih kayak emak gue aja pertanyaan lu..” Saya menjawab dengan tertawa.

Selama menjadi musafir di Eropa harus diakui cukup sulit (kalau tidak dikatakan malas) buat saya menjaga ritme keberlangsungan shalat. Apalagi memasuki musim panas yang jadwal shalatnya bisa sangat amburadul. Magrib bisa jam 9 atau 10 malam. Isya pukul 11 atau 12, dan subuh pukul 2 pagi.

Sementara keinginan saya untuk bisa berziarah ke Kota Mekkah dan Madinah tak jua terkabul, visa Schengen saya malah mendamparkan saya sampai ke Vatikan. Ikut ramai merayakan Paskah dan antri menyemut dengan satu tujuan yang sama dengan ribuan pengunjung lain. Bertemu Paus baik yang masih hidup atau yang sudah terpendam bersama batu-batu pualam ciamik di lantai dasar Basilica.

Kembali ke tanah air persoalan beragama menjadi soal yang (dibuat) rumit. Hubungannya tak lagi antara saya dan Tuhan saya. Tapi melibatkan juga orang-orang sekitar yang ikut sibuk ingin tahu dan mengatur bagaiman hubungan antara saya dan Tuhan saya seharusnya berjalan. Garis hubungan ini makin menjadi benang kusut bila anda kebetulan seorang perempuan. Sejumlah list do and don’t atas nama agama menjadi tuntutan bagi para perempuan untuk dilakukan dan bahkan didesakkan untuk menjadi undang-undang.

Belum lagi sentimen keagamaan yang telah ditanamkan sejak kecil. Menjadi ajaran yang terus mengendap di alam bawah sadarnya. Tak heran bila dalam pergaulan kesehariannya, bocah-bocah tersebut sudah mampu mengidentifikasi agamanya menjadi agama yang terbaik dan menjadi teropong untuk mengukur agama orang lain. Bila ia bermain dan bertemu dengan sesuatu yang berbeda dengan adat dan tata laku agamanya, ia bisa dengan spontannya berkata: ”Ih..  pantesan dia begitu. Dia kan agamanya A/B/C...”

Begitupun sebelum memutuskan untuk mengidolakan seseorang, pertanyaan (entah sadar atau tidak) pertama yang sering muncul adalah ”Agamanya apa sih?” Kalau ternyata berbeda dengan agama yang dipeluknya maka akan ada kalimat lanjutan: ”Ih.. sayang ya? Padahal dia kan baik..”

Agama juga menjadi identitas yang (diharapkan) terus melekat pada diri seseorang bersama-nama dengan nama dan status seseorang. Saat berobat dan (terpaksa) menjadi pasien rawat inap sebuah rumah sakit ”beragama” di Jakarta, setelah menanyakan nama dan status perkawinan saya, sang juru rawat bertanya, ”Agamanya apa?”

Saya yang tak melihat adanya korelasi antara penyakit yang diderita dengan kepercayaan yang dipeluk seseorang mendapatkan sedikit petunjuk mengapa pertanyaan tersebut diajukan. Rupa-rupanya disediakan para penyiram rohani yang akan mendatangi pasien-pasien yang membutuhkan. Apakah kedatangan para juru selamat tersebut pada akhirnya berdampak baik atau buruk bagi si pasien? Entahlah. Yang jelas saya lebih membutuhkan ketenangan dengan tidur dibanding mendengarkan khotbah.

Fikiran kotor juga kerap muncul, bagaimana ya kira-kira reaksi orang-orang bila saya bilang di KTP saya tertulis Islam, tapi saya kerap ikut misa di gereja dan sembahyang di klenteng? Apakah saya termasuk dalam kelompok Islam beraliran sesat? Apakah saya telah melakukan perbuatan syirik dengan menyembah tuhan selain dari tuhan yang telah diajarkan pada saya sejak saya mengenal huruf dan aksara?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun