Orang luar jangan lewat Moonchunk Street kalau tidak terpaksa atau memiliki keperluan mendesak. Begitu nasihat yang banyak diucapkan orang di sekitar tempat yang kumuh dan gelap itu. Tapi sebanyak itu pula korban pembunuhan kejam tetap berjatuhan di jalan maut sepanjang sekitar satu kilometer itu. Pelakunya diduga adalah orang atau kelompok yang sama karena dia atau mereka selalu meninggalkan jejak berupa pushpin (paku untuk papan buletin) berkepala merah yang ditancapkan di ujung hidung korban.
Moonchunk berarti potongan atau bongkahan bulan dan tidak ada di peta mana pun, yang ada adalah Jalan Muncang. Moonchunk (baca muncang) adalah ejaan yang mulanya muncul begitu saja di kalangan dua geng di jalan itu, Moonchunk Sunset di barat dan Muncang Wetan di timur.
Di sekitar itu tidak ada pohon Muncang. Dinamakan demikian karena di lingkungan itu semua nama-nama jalannya merupakan nama buah atau bunga yang dimulai dengan huruf "m", seperti: Maja, Mangga, Manggar, Manggis, Mantang, Mawar, Mayang, Melati, Melur, Mengkudu, Menteng, Mindi, Muncang, dan Mundu.
Kedua geng itu memang bermusuhan tapi sepakat bahwa pembunuh berantai yang misterius ini adalah pihak ketiga atau di luar kedua geng tersebut. Pada awalnya memang sempat terjadi kecurigaan bahwa ada anggota-anggota geng mereka yang saling berbalas menjarah pihak lawannya. Namun dari perkembangannya nampak bahwa korban agak acak, sulit dilihat polanya, kecuali korban bisa dinilai nakal, tidak baik, atau bahkan kriminal dan berani lewat Jalan Muncang. Sudah sembilan orang yang menjadi korban, tiga dari Sunset, empat dari Wetan, dan dua bukan anggota kedua geng itu.
Lambatnya pemecahan masalah oleh kepolisian menyebabkan simpang siurnya cerita dan penafsiran di kalangan warga sekitar. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah perbuatan salah satu anggota geng yang lepas kontrol dan bermain solo. Ada lagi yang berpendapat akan adanya geng ketiga yang menunggu tampil untuk menggeser kedua geng yang ada. Bahkan ada yang berteori bahwa aparatlah yang bertindak diam-diam membersihkan kriminal yang tak ada takutnya menghadapi hukum. Namun yang paling banyak dipercaya adalah rumor adanya sekelompok warga yang menegakkan keadilan dengan cara mereka sendiri, semacam vigilante justice.
***
"Ririn, kamu mau ke mana malam-malam seperti ini? Sunset bahaya, tau?"
"Aduh bu, ini emerjensi. Ririn mau ngambil plesdis di rumah Dina, ada spek orderan di dalamnya. Dia gak bisa aplot karena kompi-nya ngadat."
"Oke, jangan lupa bawa semprotan merica ya?"
"Okidoki."
Terus terang bukan ibu saja yang khawatir, aku juga yang asli warga Wetan agak keder melarut dalam kegelapan yang sunyi sepi itu.
Tiupan angin dingin yang menerpa wajahku membuat bulu kudukku tegak.
"Deg!" jantungku berdegup karena kaget. Agak samar kulihat seorang pemuda berdiri pada jarak sekitar 30 meter di hadapanku. Tak jelas wajahnya tapi bisa kubayangkan ia sedang menyeringai atau mungkin tersenyum lebar seperti badut yang mengerikan.
Kupikir, kalau harus berkelahi, ia harus kupancing masuk ke teritori Wetan dulu, maka aku memutuskan berbalik badan.
"Ops!" ternyata pada jarak dua atau tiga meter di hadapanku ada seorang perempuan berjilbab seumuranku yang sedang berjalan ke arahku. Refleks, tanganku sudah merogoh kantung celana training pack dan menggenggam semprotan merica.
Tapi perempuan itu tersenyum ramah dan menyemangati, "percuma lari, lebih baik kita adepin. Ayo, gua yang jalan di depan."
Ini keadaan yang membingungkan dan menegangkan tapi ia kelihatan tenang, penuh percaya diri. Oh, jangan-jangan ia sendirilah pembunuh berantai yang tersohor itu meskipun tampak seperti gadis lemah tak berdaya tapi sesungguhnya trengginas dan fatal.
Atau, ya atau, akulah pelaku pembunuhan itu tanpa kusadari karena aku mungkin memiliki kepribadian ganda. Bisa jadi bukan? Ah, dalam ketakutan, aku malah berpikir terlalu jauh seperti pemain catur dalam keadaan tertekan, sementara jam berdetak terus.
"Lu bisa ilmu bela diri?" tanyaku singkat.
"Bi-jei-jei, lu?"
"Oh, Ti-kei-di."
Brazilian Jiu Jitsu-nya itu memang lebih cocok untuk berkelahi di jalanan, bisa untuk jarak dekat atau bahkan saat jatuh dan berkelahi di tanah. Taekwondo-ku hanya efektif kalau bisa menjaga jarak tapi tak berdaya kalau dikeroyok atau kena sergap, apalagi kalau sudah bergumul di tanah, ilmu yang kumahiri dalam keadaan berdiri itu tak dapat digunakan lagi.
"Eh, koq pake jilbab?"
"Pake velcro alus, gampang lepas kalau ketarik."
"Oh."
Ia berjalan di depanku. Kami sudah siap.
"Bletakkk!!!" Pandanganku gelap.
***
Aku kesulitan membuka mataku. Silau. Pening. Kepalaku terasa berat. Aku berada di sebuah ruangan. Bukan rumah sakit karena ruangan ini agak kecil.
"Udah bangun kau Rin?"
"Oh, ibu! Di mana kita?"
"Puskesmas Jalan Menteng."
"Apa yang telah terjadi, Bu?"
"Istirahatlah dulu. Minum dan makan bubur dan obat."
"Obat?"
"Mungkin antibiotika dan penahan nyeri."
Selesai makan dan minum, aku tidak sabar lagi mendengarkan ibu bercerita.
Gadis berjilbab itu bernama Fitri, tinggal di Jalan Mundu, sudah diperiksa polisi. Menurut pemeriksaan polisi, Fitri memukul bekakang kepalaku menggunakan sepotong kayu kemudian membunuh pria anggota geng Sunset itu, dan akhinya membius dirinya sendiri dengan membekap hidungnya menggunakan saputangan yang sudah dibasahi dengan chloroform. Maksudnya agar orang mengira bahwa pembunuh berantai memukul kepalaku, kemudian membius dia, dan terakhir baru membunuh pria anggota geng. Tapi di pentungan ada sisik jarinya, dan saputangan yang berchloroform itu berada ditangannya.
***
Cerita itu sedikit membingungkanku dan mengundang rasa penasaran, maka aku mengunjungi rumah Fitri. Aku bertemu ibunya, sedang Fitri masih di rumah tahanan polisi.
Pada awalnya Bu Warmi, begitu namanya, sangat tertutup dan enggan menceritakan yang dia tahu dan bisa jadi relevan dengan kasus ini. Tapi setelah ngobrol beberapa lama dan aku berhasil meyakinkan dia bahwa aku bisa membantunya membebaskan Fitri karena aku adalah saksi mata yang mendeteksi kejanggalan cerita hasil pemeriksaan, barulah Bu Warmi mau membuka cerita masa lampau kami yang mengejutkan.
Dua puluh tiga tahun lalu, ketika Retno, ibuku, mengandungku, Suwarno, ayahku berselingkuh dengan Warmi dan menghasilkan anak, yaitu Fitri yang delapan bulan lebih muda dariku. Mulanya, kepada Warmi, ayahku mengaku bujangan tapi itu tak berlangsung lama. Saat aku berumur enam bulan, ibu memergoki mereka. Ayah dan ibu bercerai, ayah lalu tinggal bersama Warmi. Pada saat Fitri berumur satu setengah tahun, ayah berangkat ke Malaysia sebagai tenaga kerja tapi tak pernah kembali dan tak ada beritanya lagi.
***
Pada pemeriksaan polisi, aku bisa meyakinkan mereka bahwa kepalaku dipukul dari belakang, sementara Fitri berada di depanku. Keterangan itu sesuai dengan pengakuan Fitri yang tidak tahu tentang keadaanku, tahu-tahu ia merasa dibekap dari belakang.
Keterangan yang berikutnya ini bisa disebut keterangan palsu dariku.
"Setelah dipukul dari belakang, saya tidak segera pingsan. Saat nanar, saya melihat seorang pria bercelana jeans berkaos hijau lewat di samping saya dan membekap Fitri. Saya tidak tahan peningnya dan jatuh pingsan."
Bisa jadi, itu adalah hasil rekaanku setelah terbangun di puskesmas. Saat itu aku tidak ingat betul apa yang terjadi sebelumnya, juga kepalaku masih terasa berat dan sakit. Aku kesulitan mengingat-ingat dan rancu dengan halusinasi yang mungkin terjadi akibat obat yang disuntikkan ke tubuhku.
Karena tidak cukup bukti, Fitri diizinkan pulang.
***
Aku curiga pada ibu dengan beberapa ceritanya agak janggal. Misalnya, ia mengatakan bahwa ia yang menelepon dan memanggil polisi ke tempat kejadian. Ia sendiri datang ke situ karena khawatir keselamatanku lalu menyusul. Padahal dari waktunya, yang aku periksa di ponsel, periode antara aku menelepon temanku Dina yang memiliki flashdisk dan saat ibu menelepon polisi sedemikian pas, hanya cukup kalau ibu menguntitku, yang berarti ibu mengetahui semua yang terjadi di tempat kejadian.
Ketika ibu sedang keluar rumah cukup lama, aku memeriksa kamarnya. Lemarinya terkunci tapi persiapanku sudah cukup matang, aku membukanya dengan kunci duplikat yang kuminta tukang kunci membuatkan sebelumnya.
Di lemari itu kudapati semua barang bukti yang digunakan oleh pembunuh berantai terutama pushpin berkepala merah. Senjata yang digunakan adalah tiga pisau terbang yaitu semacam belati yang  memiliki pegas di dalam gagangnya. Apabila tombol digagangnya ditekan, bilah belati melesat terbang karena didorong oleh tenaga pegas. Tekanannya sangat kuat, bilah belati itu bisa menancap cukup dalam di papan. Ada sebuah tang yang kuduga digunakannya untuk mencabut bilah belati dari tubuh korban setiap kali ia selesai membunuh.
Ketika ibu pulang, aku ceritakan semua perkembangan kasusnya. Ia mengakuinya. Aku memintanya memusnahkan semua barang bukti. Perhitunganku, tanpa  tindakan vigilante ibu lebih lanjut maka heboh pembunuhan berantai otomatis berhenti, berarti tidak akan ada tersangka baru kecuali polisi bisa membongkar rahasia pembunuhan yang telah terjadi sebelum ini.
Ibu setuju dan kami akan membuang semua barang bukti ke laut.
***
Sore itu ibu dan aku ke pantai Marunda dan menyewa perahu. Sebelumnya semua barang bukti disusun rapi dan dilem menjadi satu kemudian dililit serat kawat tembaga sehingga kompak, tidak tercerai berai, dan pasti bisa tenggelam dalam air.
Yang mengherankan, ibu membawa sebuah benda pejal kira-kira sebesar tiga batu bata disusun tapi berat sekali, mungkin terbuat dari besi. Aku tidak tahu apa itu karena dibungkus kertas koran. Dan ia juga tidak mau memberi tahu.
Aku duduk di bagian tengah perahu, mengayuh. Ibu duduk di buritan, memegang kemudi.
Agak jauh di tengah laut, keadaan lingkungan mulai gelap, terasa sepi. Aku melihat ke belakang.
Ibu tidak ada!
Semua barang bawaannya juga tidak ada!
Ternyata benda berat tadi adalah pemberat yang diikatkan ke tubuhnya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H