Tiupan angin dingin yang menerpa wajahku membuat bulu kudukku tegak.
"Deg!" jantungku berdegup karena kaget. Agak samar kulihat seorang pemuda berdiri pada jarak sekitar 30 meter di hadapanku. Tak jelas wajahnya tapi bisa kubayangkan ia sedang menyeringai atau mungkin tersenyum lebar seperti badut yang mengerikan.
Kupikir, kalau harus berkelahi, ia harus kupancing masuk ke teritori Wetan dulu, maka aku memutuskan berbalik badan.
"Ops!" ternyata pada jarak dua atau tiga meter di hadapanku ada seorang perempuan berjilbab seumuranku yang sedang berjalan ke arahku. Refleks, tanganku sudah merogoh kantung celana training pack dan menggenggam semprotan merica.
Tapi perempuan itu tersenyum ramah dan menyemangati, "percuma lari, lebih baik kita adepin. Ayo, gua yang jalan di depan."
Ini keadaan yang membingungkan dan menegangkan tapi ia kelihatan tenang, penuh percaya diri. Oh, jangan-jangan ia sendirilah pembunuh berantai yang tersohor itu meskipun tampak seperti gadis lemah tak berdaya tapi sesungguhnya trengginas dan fatal.
Atau, ya atau, akulah pelaku pembunuhan itu tanpa kusadari karena aku mungkin memiliki kepribadian ganda. Bisa jadi bukan? Ah, dalam ketakutan, aku malah berpikir terlalu jauh seperti pemain catur dalam keadaan tertekan, sementara jam berdetak terus.
"Lu bisa ilmu bela diri?" tanyaku singkat.
"Bi-jei-jei, lu?"
"Oh, Ti-kei-di."
Brazilian Jiu Jitsu-nya itu memang lebih cocok untuk berkelahi di jalanan, bisa untuk jarak dekat atau bahkan saat jatuh dan berkelahi di tanah. Taekwondo-ku hanya efektif kalau bisa menjaga jarak tapi tak berdaya kalau dikeroyok atau kena sergap, apalagi kalau sudah bergumul di tanah, ilmu yang kumahiri dalam keadaan berdiri itu tak dapat digunakan lagi.