Indonesia adalah negara yang sangat pluralis, semboyan Bhineka Tunggal Ika merupakan potret realitas kehidupan keseharian bangsa Indonesia sebagai bangsa yang heterogen.Â
Keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia bukan hanya dari aspek flora fauna, suka bangsa, adat kebiasaan, dan segala aspek demografis dan sosial budaya. Perbedaan adat, kebiasaan, bahasa, dan kepercayaan yang tercermin dalam kehidupan antar etnis, antar pulau yang satu dengan pulau yang lain.Â
Perbedaan bahasa interpulau semacam pulau Jawa, Papua, Sulawesi, dan pulau Sumatera serta Kalimantan sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Perbedaan adat dan kebiasaan antar etnis Sunda, Betawi, dengan Badui di Provinsi Banten ternyata memilik keunikannya tersendiri.Â
Demikian halnya dengan etnis Madura, Jawa, Samin dengan Osing yang ada di provinsi Jawa Timur. Keberagaman itu semua masih ada dalam satu provinsi atau bahkan di dalam satu pulau yang bernama pulau Jawa. Sedangkan Indonesia memiliki 17.504 pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai dengan Rote, mulai dari yang berpenghuni sampai yang belum memiliki nama.Â
Walaupun ada 6 agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia yaitu Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu dan Konghucu, tetapi keberadaan kelompok penghayat kepercayaan, termasuk animisme -- dinamisme yang berkembang dan bersinkretisme dengan agama-agama monoteistik, khususnya sufisme Islam, mengakibatkan adanya beberapa keyakinan lokal semacam Kejawen di pulau Jawa, Kaharingan di Kalimantan, Parmalim di Sumatera, dan lain sebagainya.Â
Dalam Kejawen atau penghayat terbagi lagi menjadi beberapa kelompok yang lebih spesifik seperti Sumarah, Pangestu, dan Sapta Darma yang banyak berkembang di Pulau Jawa khususnya di Jawa Tengah dan DIY.
Keberagaman itu berimplikasi kepada pluralitas dalam bidang hukum. Ada tiga hukum yang keberadaannya diakui dan berlaku di Indonesia yaitu hukum barat, hukum agama dan hukum adat.Â
Dalam praktek kehidupan sehari -- hari masih banyak masyarakat Indonesia yang menggunakan hukum adat dalam mengatur kegiatannya, termasuk dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang dialami.Â
Dan setiap wilayah mempunyai tata hukum adatnya masing - masing dalam mengatur kehidupannya dalam bermasyarakat. Keberagaman tersebut berimplikasi pula kepada hukum adat di setiap wilayah yang tidak terdapat dalam bentuk aturan yang tertulis.
Hukum adat dalam kenyataanya eksis dan berkembang mengikuti perkembangan masyarakat itu sendiri. Hukum adat sejalan dengan tradisi rakyat yang ada diantara ribuan gugusan pulau-pulau di Nusantara. Hukum adat merupakan endapan kesusilaan yang tumbuh berkembang di masyarakat dimana kebenarannya mendapatkan pengakuan dalam masyarakat tersebut.Â
Dan sebagai hukum yang berada di tengah-tengah masyarakat yang amat heterogen, maka hukum adat memiliki banyak variasi dan model yang tidak selalu bersesuaian dengan setiap daerah yang satu dengan daerah yang lain.Â
Dalam artian, ada kekhasan adat tertentu bagi setiap daerah atau wilayah, misalnya budaya Siri' untuk menyelesaikan suatu persoalan di Sulawesi.Â
Siri' merupakan tuntutan budaya terhadap setiap individu yang ada pada masyarakat Sulawesi Selatan dalam mempertahankan kesucian, keamanan, ketertiban dan kesejahteraan agar tetap terjamin. Artinya, Siri' dalam budaya Bugis merupakan realitas sosial dalam kehidupan sehari - hari.Â
Demikian halnya dengan Carok di masyarakat Madura. Carok adalah tindakan pembunuhan yang dilakukan untuk mempertahankan harga diri dari pelecahan orang lain. Penyebab paling utama adalah pelecehan terhadap istri orang lain, sengketa tanah / lahan dan atau sumber daya alam.
Maka dari itu, praktek yang terjadi pada masyarakat hukum adat dalam perkembangan dan keberadaannya sering menimbulkan pertanyaan - pertanyaan, apakah aturan hukum adat tetap dapat digunakan untuk mengatur kegiatan sehari - hari masyarakat, termasuk dalam rangka menyelesaikan suatu permasalahan yang timbul di tengah - tengah masyarakat hukum adat!Â
Sementara Indonesia mempunyai aturan hukum yang dibuat oleh badan atau lembaga pembuat undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya. Jadi antara hukum adat dengan hukum negara secara nasional mempunyai daya pengikat yang berbeda, dimana secara konstitusional bersifat sama akan tetapi ada perbedaan pada bentuk dan aspeknya.
Walaupun keberadaan hukum adat secara resmi telah diakui oleh negara, tetapi keberadaan dan eksistensi penggunaannya masih terbatas.Â
Pengakuan atas hukum adat merujuk pada pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa "Negara mengakui dan menghormati kesatuan - kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang." Hal itu berarti bahwa negara mengakui keberadaan hukum adat dimana hak konstitusional hukum adat berada dalam system hukum Indonesia.
Berbagai peraturan perundang-undangan juga mengakui eksistensi hukum adat, misalnya Undang-undang Pokok Agraria yang mengatur masalah hak ulayat dalam Pasal 3 tentang "Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang - undang dan peraturan - peraturan lain yang lebih tinggi".Â
Demikian halnya dengan UU No.1/1974 tentang Perkawinan dalam pasal 2 ayat 1 yang berbunyi "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing - masing agamanya dan kepercayaannya itu." Jadi hukum adat dan kepercayaan masyarakat mendapat ruang yang cukup memadai dalam beberapa peraturan perundangan -- undangan yang ada di tanah air.
Eksistensi hukum adat dalam hukum nasional tidak terlepas dari aspek kesejarahan. Sejarah hukum nasional mengenal istilah hukum adat (adatrecht)Â pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli hukum berkebangsaan Belanda bernama Snouck Hurgronje pada tahun 1893, melalui bukunya yang berjudul De Atjehers.Â
Dan kemudian Van Vollenhoven mempopulerkan adatrecht melalui bukunya dengan judul Het Adatrecht van Nederland-Indie, sehingga istilah hukum adat mulai dikenal luas di kalangan akademisi.Â
Van Vollenhoven berpendapat bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda atau alat - alat kekuasaan lainnya yang diadakan oleh kekuasaan Belanda. Dan hukum tersebut hanya berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang Timur Asing.
Dalam kehidupan sehari-hari adakalanya sulit untuk membedakan antara adat dengan hukum adat. Untuk melakukan pembedaan maka hukum adat dapat dilihat dari unsur sanksi, sehingga tidak semua adat merupakan hukum adat. Jadi hanya adat yang memiliki sanksi saja yang bisa digolongkan sebagai hukum adat. Maksud dari sanksi disini adalah apabila adat tersebut dilanggar maka akibat bagi mereka yang melanggar dapat dituntut dan selanjutnya di hukum.
Pandangan Van Vollenhoven tentang hukum adat tersebut mendapat penguatan dari Ter Haar. Dia menyatakan bahwa hukum adat adalah seluruh peraturan yang diterapkan dalam keputusan - keputusan yang penuh wibawa dan dalam kelahirannya dinyatakan mengikat.Â
Pendapat itu dikenal dengan teori keputusan (beslissingenleer). Jadi, walaupun hukum adat tersebut tidak tertulis tetapi ia lahir dari dan dipelihara oleh keputusan-keputusan para warga masyarakat. Bahkan lebih daripada itu, keputusan - keputusan tersebut berfungsi sebagai hukum.Â
Artinya, hukum dalam perspektf hukum adat bukan hanya yang dihasilkan oleh putusan hakim semata, tetapi termasuk keputusan kepala adat, rapat desa, wali tanah dan petugas-petugas desa lainnya.Â
Sehingga keputusan yang dihasilkan dalam hukum adat bukan hanya keputusan mengenai sengketa resmi, tetapi meliputi keputusan yang berdasarkan nilai - nilai hidup yang berlaku di dalam kemasyarakatan dengan anggota-anggotanya.Â
Hal itu senada dengan pendapat R. Soepomo yang berpandangan bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis yang meliputi peraturan hidup mengenai peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari - hari, yang senantiasa ditaati dan dihormati karena mempunyai akibat hukum atau sanksi hukum.
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis tetapi diyakini dan ditaati oleh masyarakat dengan anggota masyarakatnya serta memiliki sanksi. Karena hukum adat merupakan suatu aturan tidak tertulis yang memiliki sanksi.Â
Maka untuk menguasai tentang hukum adat perlu mengenal lebih jauh dengan apa yang dimaksud masyarakat adat. Masyarakat adat adalah induk geneologis yang menurunkan masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat terbentuk oleh dua faktor utama yaitu : geneologis (hubungan darah) dan territorial, wilayah, seperti desa, dusun, atau kampung.
Masyarakat hukum adat berdasarkan geneologis dikelompokkan menjadi 3 yakni Patrilineal, Matrilineal, dan Parental. Patrilineal merupakan masyarakat hukum adat yang mengikuti garis keturunan Ayah (laki-laki) sehingga kedudukan orang tua laki-laki lebih tinggi daripada Ibu.Â
Berbeda dengan matrilineal yang merupakan kebalikan dari Patrilineal. Matrilineal merupakan masyarakat hukum adat yang mengikuti garis keturunan Ibu. Artinya kedudukan Ibu lebih tinggi daripada Ayah. Dan terakhir ialah Parental. Dalam masyarakat hukum adat yang bersifat parental sistem kekerabatan yang dimiliki oleh anggota-anggotanya  bisa mengikuti garis keturunan Ayah maupun Ibu.
Adapun masyarakat hukum adat yang terbentuk karena teritorial dibatasi oleh wilayah-wilayah tertentu saja, misalnya adat Minangkabau yang ada di Sumatera Barat, adat Madura khusus di Kepulauan Madura dan sekitarnya, adat Batak yang dilestarikan oleh suku Batak, dan demikian pula dengan adat Bugis, Jawa, maupun adat Bali.
Dengan demikian maka hukum adat sebagai hukum tidak tertulis bisa dipakai oleh Hakim dalam memutuskan perkara sesuai dengan kebiasaan yang berkembang di daerah atau masyarakat adat setempat. Selain daripada itu, hukum adat juga memiliki pengaruh terhadap perkembangan hukum di Indonesia.Â
Sehingga ketika Hakim menghadapi suatu perkara yang tidak ditemukan pengaturannya dalam hukum tertulis maka seorang Hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat adat guna memutus perkara tersebut. Artinya, seorang Hakim harus mengerti perihal hukum adat dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.Â
Namun demikian bukan berarti harus mengabaikan asas legalitas hukum yang melarang menghukum seseorang apabila belum ada aturannya. Kebolehan menggunakan eksistensi hukum adat sebagai rujukan dalam menangani perkara memiliki landasan hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.Â
Pada Pasal tersebut menyatakan bahwa "Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat." Maksudnya, agar Hakim bertindak arif dan bijaksana di dalam mewujudkan rasa keadilan yang lebih komprehensif sesuai dengan hukum positif, sekaligus sejalan dengan adat kebiasaan setempat. Â
Ketentuan dalam Undang-undang No. 48/2009 pada pasal 5 tersebut memang lebih mengadopsi praktek Common Law System yang merupakan sistem hukum di Inggris.Â
Di dalam ketentuan tersebut lebih menganut aliran frele recht lehre sebagai suatu asas hukum yang tidak dibatasi Undang-undang. Sedangkan di Indonesia lebih mengadopsi Civil Law System atau eropa continental. Akan tetapi dalam beberapa kasus terkontaminiasi dengan common law system, dimana Hakim diberi kebebasan untuk melaksanakan Undang - undang atau mengabaikannya.Â
Oleh sebab itu, dengan merujuk pada ketentuan pasal 5 tersebut, maka Hakim diwajibkan menggali nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat karena pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa belum ada hukum yang mengatur atau kurang jelas. Artinya, melalui ketentuan tersebut seorang Hakim wajib memeriksa dan mengadili setiap perkara yang diajukan.Â
Sehingga Hakim perlu mengetahui dan memahami eksistensi hukum adat dalam pelaksanaan tugas-tugasnya menangani perkara. Apalagi hukum adat memiliki pengaruh dalam pembangunan hukum nasional sehingga mendalami dan menerapkan hukum adat menemukan urgensinya.
Â
Kebudayaan Sebagai Jatidiri Bangsa Melalui Konstrusi Hukum
Â
Kedudukan hukum adat sebagai materi ialah untuk memberikan bahan dalam rangka pembangunan hukum nasional di Indonesia. Sebab hukum adat sebagai bagian dari Hukum Positif memerlukan pembinaan yang perlu diarahkan kepada kesatuan bangsa dan perkembangan pembangunan.Â
Walau bagaimanapun hukum adat merupakan hukum yang hidup di tengah masyarakat adat. Sebagai hukum maka hukum adat merupakan aturan yang sesuai dengan pandangan hidup, cita-cita dan kesadaran hukum rakyat sebagai salah satu sumber yang penting dalam rangka memperoleh bahan-bahan untuk pembangunan hukum nasional yang baru.
Sedangkan hubungan hukum adat dengan perundang-undangan ialah memastikan bahwa pembangunan hukum nasional tidak mengabaikan kesadaran hukum rakyat, tetapi justru menjamin untuk timbul, tumbuh serta berkembangnya hukum kebiasaan, terutama yang akan dilakukan pembuatan melalui peraturan perundangan - undangan. Melalui pendekatan yang demikian maka adat, tradisi, kebudayaan, dan kebiasaan yang hidup ditengah-tengah masyarakat bisa menjelma menjadi kepribadian nasional sekaligus jatidiri bangsa Indonesia.Â
Sehingga dapat diproyeksikan bahwa perkembangan hukum positif di Indonesia tidak dilepaskan dari peranan hukum adat dalam memberikan nilai - nilai serta pandangan - pandangan maupun cita-cita masyarakat terhadap pembangunan hukum nasional, dimana hukum adat tersebut diserap ke dalam peraturan perundang - undangan agar menjadi sumber hukum.
Pendapat ini sejalan dengan pandangan W. Levensbergen yang menilai bahwa hukum adalah peraturan yang mengatur perbuatan manusia di dalam masyarakat. Sedangkan Prof. Mr. E. K. Meyers menganggap bahwa hukum adalah semua peraturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia. Oleh sebab itu, kebudayaan bukan saja menjadi sumber hukum materiil tetapi bisa menjadi hukum itu sendiri, hukum adat.Â
Sumber hukum materiil merupakan sumber yang menjelaskan dari mana suatu materi hukum diambil. Sehingga menjadi faktor yang membantu menentukan isi atau materi hukum, misalnya agama, kesusilaan, kehendak Tuhan, akal budi, hubungan sosial, dan sebagainya. Sumber hukum materiil dapat ditinjau dari berbagai sudut, seorang ahli ekonomi akan mengatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam masyarakat itulah yang menyebabkan timbulnya hukum.Â
Berbeda dengan pendapat seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog) yang akan mengatakan bahwa yang menjadi sumber hukum ialah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Artinya, Kebiasaan (costum) sebagai suatu perbuatan manusia yang dilakukan secara berulang-ulang mengenai hal yang sama apabila diterima masyarakat secara luas dan merasa wajib, maka kebiasaan itu dipandang sebagai hukum tidak tertulis, bahkan bisa menjadi hukum formal.
Perbedaan sudut pandang antara hukum adat, adat, masyarakat adat, dan bahkan budaya kerapkali memberikan interpretasi ilmiah tetapi tidak operasional dalam upaya mengkonstruksi kebudayaan dan adat kebiasaan dimasyarakat untuk menjadi suatu hukum yang hidup, dinamis dan interpretative. Tulisan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan perspektif baru dalam pendekatan budaya sebagai sumber hukum bahkan untuk menjadi hukum itu sendiri.
Masyarakat adat adalah kesatuan masyarakat yang tetap dan teratur dimana anggota - anggotanya bukan saja terikat pada tempat kediaman suatu daerah tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur (teritorial). Masyarakat adat terikat pula dengan hubungan keturunan dalam ikatan pertalian darah dan atau kekerabatan dari satu leluhur, baik secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat (genealogis).Â
Sedangkan Hukum adat merupakan kumpulan aturan tingkah laku yang hanya berlaku bagi golongan masyarakat yang bersifat memaksa dan belum dikodifikasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Jadi setiap masyarakat adat bisa mempunyai Hukum Adat tersendiri untuk mengatur semua persoalan yang terjadi dalam lingkungan adat tersebut.Â
Kondisi ini menjadikan hukum adat memiliki aspek lokalitas sekaligus sebagai wujud kearifan lokal dari suatu realitas bangsa indonesia yang sangat heterogen, sehingga menjadi tantangan tersendiri dalam rangka memformilkan praktek hukum adat secara luas agar hukum adat di satu wilayah diterima wilayah lainnya.
Sementara adat merupakan gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai - nilai budaya, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan bahkan dapat menjelma menjadi hukum adat selama memiliki sanksi, tetapi apabila tidak memiliki sanksi maka disebut dengan kebiasaan. Jadi hukum adat lebih lekat dengan adat istiadat sebagai tata perilaku yang paling tinggi kedudukannya di masyarakat karena dari segi jangka waktu bersifat kekal membumi sekaligus terintegrasi sangat kuat dengan masyarakat yang memegangnya.Â
Oleh sebab itu, pelanggaran terhadap adat istiadat akan menerima sanksi yang keras dari anggota lainnya. Sehingga relasi antara budaya dengan adat sangat erat kaitannya.Â
Budaya, yang dalam pokok bahasan ini adalah kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah sebagai bentuk jamak dari Buddhi yang berarti Budia atau Akal. Adapun bentuk lain dari kata budaya adalah Kultur. Kata kultur berasal dari bahasa Latin yaitu Cultura.Â
Dengan demikian kebudayaan berkaitan dengan budi dan akal manusia. Karena Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang, serta diwariskan dari generasi ke generasi, maka proses terbentuknya budaya terdiri dari banyak unsur yang rumit termasuk sistem agama dan politik, adat - istiadat, bahasa, peralatan, pakaian, bangunan, dan karya seni.Â
Artinya, budaya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang beranggapan bahwa budaya merupakan suatu nilai yang diwariskan secara genetis.Â
Melville J. Herskovits dan Bronisaw Malinowski sebagai seorang antropolog mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri atau determinisme budaya (cultural-determinism). Sementara menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan, termasuk keseluruhan struktur - struktur sosial, religius, serta segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Jadi kebudayaan sebagai sesuatu yang akan mempengaruhi pengetahuan serta meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia di kehidupan sehari-hari, lebih bersifat abstrak, walaupun perwujudan dari kebudayaan itu adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku atau benda-benda yang bersifat nyata.Â
Dengan begitu maka hukum adat merupakan hasil karsa dan karya manusia dengan kebudayaanya demi melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Sehingga mengkonstruksi hukum adat sebagai bagian dari upaya mewujudkan kepribadian nasional atau berkepribadian dalam budaya menjadi salah satu alternatif yang bersifat strategis atu bahkan bisa menjadi penemuan hukum.
Penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo, "lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum yang diberi tugas melaksanakan hukum atau menerapkan peraturan-peraturan hukum terhadap suatu peristiwa yang konkret." Keharusan menemukan hukum baru ketika aturannya tidak saja tak jelas, tetapi memang tidak ada, sehingga diperlukan pembentukan hukum untuk memberikan penyelesaian yang hasilnya dirumuskan dalam suatu putusan yang disebut dengan putusan hakim, yang merupakan penerapan hukum.Â
Penemuan hukum dirasa mampu memberikan suatu putusan yang lebih dinamis dengan memadukan antara aturan yang tertulis dan aturan yang tidak tertulis. Rechtsvinding Hakim diartikan sebagai upaya hakim dalam memberikan keputusan yang memiliki jiwa sebagai tujuan hukum.Â
Menurut Paul Scholten "penemuan hukum diartikan sebagai sesuatu yang lain daripada penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya, dimana kadangkala terjadi bahwa peraturannya harus dikemukakan dengan jalan interpretasi." Jadi penemuan hukum merupakan proses pembentukan hukum oleh hakim, hakim harus melihat apakah Undang-undang tersebut tidak memberikan peraturan yang jelas, atau tidak ada ketentuan yang mengaturnya, jika terjadi demikian maka hakim dapat melakukan penemuan hukum.Â
Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan hukum yang konkrit dan sesuai kebutuhan masyarakat. Praktek penemuan Hukum ini sudah sering terjadi di Mahkamah Konstitusi.
Penemuan hukum menjadi sangat berarti karena menurut Roscoe Pound hukum adalah lembaga terpenting dalam melaksanakan kontrol sosial. Dimana Hukum secara bertahap telah menggantikan fungsi agama dan moralitas sebagai instrumen yang paling penting untuk mencapai ketertiban sosial.Â
Sementara kontrol sosial diperlukan demi melestarikan peradaban karena fungsi utamanya adalah mengendalikan perubahan sosial. Jadi hubungan antara perubahan sosial dengan sektor hukum merupakan perubahan hukum yang dapat mempengaruhi perubahan sosial sejalan dengan salah satu fungsi hukum, yakni fungsi hukum sebagai sarana perubahan sosial, atau sarana merekayasa masyarakat (social engineering). Jadi, hukum merupakan sarana rekayasa masyarakat (a tool of social engineering).Â
Karena hukum pada dasarnya adalah kemauan publik, bukan sekedar hukum dalam pengertian law in books. Dimana Sociological Jurisprudence menunjukkan kompromi yang cermat antara hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya kepastian hukum (positivism law) dan hukum yang hidup ditengah masyarakat (living law) sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum.
Merujuk kepada pendapat Soepomo, bahwa hukum adat dikemudian hari masih tetap akan meminta perhatian para pembangun negara Indonesia, baik untuk memberikan bahan-bahan dalam pembentukan kodifikasi, maupun untuk langsung di pakai dalam lapangan yang belum mungkin di kodificeer, bahkan dimana telah dapat diadakan kodifikasi.Â
Artinya, hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang tak tertulis akan tetap menjadi sumber dari hukum baru dalam hal-hal yang tidak atau belum ditetapkan dengan Undang-undang. Praktek penggunaan hukum adat ini sejalan dengan Terhaar yang berpendapat bahwa hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan adat dan berlaku secara spontan.
Dan eksistensi hukum adat saat ini telah semakin pesat, dimana hal itu terlihat dari masuknya hukum kebiasaan / hukum adat sebagai salah satu sumber hukum formil di Indonesia, disamping undang-undang, yurisprudensi, traktat, dan doktrin. Maka tidak salah jika hukum adat dalam penerapannya sering dijadikan rujukan atau sumber hukum dalam hal undang-undang yang tidak mengatur secara jelas.Â
Dan lebih daripada itu, hukum adat juga dijadikan sebagai sumber dalam pembuatan peraturan perundang - undangan dimana asas - asas yang terkandung dalam hukum adat dirumuskan ke dalam bentuk peraturan perundangan - undangan.
DAFTAR PUSTAKA
Â
- Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya : Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009.
- Khaeron Sirin, "Fikih Perkawinan di Bawah Umur", www.ptiq.ac.id, diakses tanggal 23 Januari 2009
- Munir Fuady, Sosiologi Hukum Kontemporer "Interaksi Hukum, Kekuasaan, dan Masyarakat", Jakarta: Kencana, 2011.
- Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Jakarta: Kencana Prennamdeia Group, 2013.
- R. Supomo, Bab -- Bab Tentang Hukum Adat, Penerbitan Universitas, 1963
- Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2011.
- Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria
- Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
- Undang -- undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
- https://law.unja.ac.id/keberadaan-hukum-adat-dalam-sistem-hukum-indonesia/ mengakses pada tanggal 5 Nopember 2021.
- https://hukum.uma.ac.id/2021/01/31/hukum-adat-adalah/, diakses pada tanggal 5 Nopember 2021
- https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4fcc4bee2ae6f/berhak-atau-tidaknya-mendapatkan-waris-dari-orang-tua-tugas-hk-waris-adat- , diakses tanggal 10 Nopember 2021.
- http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/876, diakses pada tanggal 16 Nopember 2021
*** Tulisan Disampaikan kepada DPP PA GMNI pada Tahun 2021
***---***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H