Sejatinya, menurut mereka yang kontra terhadap kebijakan bailout Bank Century, solusi bagi Bank Century yang berstatus sebagai bank gagal adalah dengan menutup bank tersebut, bukan malah memberi bantuan dana dalam bentuk bailout. Berdasarkan data-data yang ada, mereka menilai bahwa kegagalan Bank Century tidak sampai berdampak sistemik. Tidak sampai di situ saja, kontroversi munculnya Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan pun menjadi perdebatan. Menurut mereka, meskipun bailout tersebut telah berhasil diberikan, namun keabsahan akan payung hukum pengucuran bailout tersebut juga dipertanyakan.
Berdasarkan data dari BPK, penyaluran dana bailout ke Bank Century setelah tanggal 18 Desember 2008 (sebesar Rp 2,886 triliun) adalah tidak sah alias illegal. Dana bailout yang dianggap legal adalah sebagian dana yang dikucurkan pada tahap kedua (yang dikucurkan pada 19-30 Desember 2008), pengucuran tahap ketiga dan tahap keempat. Dikarenakan, setelah tanggal 18 Desember 2008, Perpu JPSK yang memayungi bailout Bank Century sudah tidak berlaku lagi, menyusul ditolaknya perpu tersebut oleh DPR.
Bahkan, ditemukan beberapa bukti yang mengindikasikan adanya dugaan tindak pidana di bidang perbankan, seperti yang tercantum dalam Undang-undang Perbankan, Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, maupun Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Namun demikian, kesalahan dalam pengambilan kebijakan (mal kebijakan) atau keputusan, tidak dapat dipidana. Dalam hukum administrasi Negara, tidak dikenal sanksi pidana. Sanksi yang dikenal dalam hukum administrasi Negara antara lain: teguran (lisan maupun tertulis), penurunan pangkat, pembebasan dari jabatan, bahkan diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatan.
Meski demikian, terhadap prinsip umum bahwa kebijakan dan keputusan yang salah tidak dapat dikenai sanksi pidana, terdapat pengecualian. Paling tidak ada tiga pengecualian, yakni sebagai berikut:
1) Â Â Â Â Pertama, adalah kebijakan atau keputusan dari pejabat yang bermotifkan melakukan kejahatan internasional atau dalam konteks Indonesia diistilahkan sebagai pelanggaran HAM berat.
2) Â Â Â Â Kedua, meski suatu anomali, kesalahan dalam pengambilan kebijakan atau keputusan, secara tegas ditentukan dalam perundang-undangan.
3) Â Â Â Â Ketiga, kebijakan atau keputusan yang bersifat koruptif atau pengambil kebijakan dan keputusan bermotifkan kejahatan.
Menurut doktrin hukum, terkait tiga parameter secara kumulatif untuk menjustifikasi apakah suatu kebijakan telah memasuki ranah hukum pidana, dijabarkan sebagai berikut:
1) Â Â Â Â Pertama, jika suatu kebijakan dijadikan pintu masuk untuk melakukan kejahatan.
2) Â Â Â Â Kedua, ada aji mumpung dalam pengambilan kebijakan.