Oleh : Dianyndra Kusuma Hardy, S.H.
Pendahuluan
Buku tersebut berasal dari hasil disertasi yang ditulis oleh Dr.H.Suhardi Somomoeljono,SH.,MH dari Universitas Borobudur. Saya selaku Advokat muda / praktisi hukum merasa perlu untuk melakukan resume atas buku tersebut, dengan pertimbangan karya ilmiah tersebut memiliki derajat tertinggi secara akademis mengingat tim penguji 7 guru besar telah memberikan nilai cum laude atas desertasi tersebut. Buku tersebut sungguh telah mengupas secara tuntas terutama dari sisi kebijakan Bank Indonesia dalam kaitannya dengan kewenangan Menteri Keuangan, Pemerintah dalam menetapkan Bank Century sebagai Bank Gagal yang ditengarai memiliki dampak sistemik terhadap perekonomian nasional.
Kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian yang dilakukan oleh penulis, sangat menakjubkan ! betapa tidak ternyata bailout atas bank century, justru mampu menyelamatkan Negara dari kehancuran dampak sistemik terhadap perekonomian nasional. Bukan hanya itu ! bahkan bailout atas bank century telah pula didukung oleh teori hukum / ekonomi yang sangat proporsional antara lain behavioral finance teori ( bft ). Penulis juga menegaskan dalam hasil penelitiannya, bahwa pemerintah pada saat itu ( Tahun 2008 ) tidak tepat ketika menggunakan argumentasi rumor yang digunakan sebagai alasan atau motif diambilnya keputusan bailout atas bank century. Rumor menurut penulis bukan teori yang secara akademis dapat digunakan sebagai rujukan dalam mengambil atau memutuskan suatu keputusan oleh pemerintah.
Menurut penulis jika, pada saat mengambil keputusan bailout atas bank century pemerintah memanfaatkan BFT digunakan sebagai landasan teori, maka secara akademis kebijakan tersebut memiliki landasan teori yang dapat dipertanggungjawabkan.Penulis juga menegaskan bahwa suatu kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah / penguasa tidak dapat dikenakan sanksi pidana. Kebijakan itu perwujudan dari ikhtikat atau niat baik dari penguasa, hukum pidana itu sebaliknya menghukum subyek hukum yang memiliki niat jahat / niat tidak baik dalam segala implimentasinya.
Penulis lebih lanjut menguraikan dalam tulisannya, bahwa Kebijakan Bank Indonesia menetapkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, berakibat langsung terhadap perekonomian nasional serta menimbulkan akibat hukum, mengingat kebijakan tersebut mewajibkan pemberian dana talangan (bailout) yang jumlah seluruhnya sebesar 6,7 triliun guna menyehatkan Bank Century. Pemerintah sangat yakin bahwa Bank Century adalah bank gagal, yang ditengarai dapat menimbulkan dampak sistemik (systemically important bank), terhadap perekonomian nasional, jika dibiarkan bangkrut (dibangkrutkan), maka dikawatirkan terjadi krisis moneter di Indonesia, sebagaimana pernah terjadi pada tahun 1998.
Dalam Penelitian ini, peneliti melakukan kajian dari sudut pandang hukum dan ekonomi, dengan menggunakan pendekatan teori-teori, yang terkait dan relevan sesuai dengan obyek yang menjadi pembahasan atau obyek penelitian.
Dari hasil temuan yang peneliti lakukan, ternyata telah terjadi perbedaan pendapat antara Pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif), untuk memutuskan apakah bank century layak diberikan kebijakan pemberian dana talangan (bailout).
Dari perspektif keilmuan (knowledge), apabila dari semula dapat disepakati bersama oleh Pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif) dengan merujuk tersedianya behavioral finance theory (BFT) sebagai dasar dari suatu teori atau dasar teori, maka penyelesaian terhadap bank century, tidak menimbulkan perbedaan pendapat yang berkepanjangan.
Behavioral finance teori (BFT) dapat menjelaskan secara akademik, mengapa Bank Indonesia menetapkan bank century sebagai bank gagal berdampak sistemik dengan hanya mendasarkan adanya rumor, hal inipun tidak dilakukan oleh pemerintah. Sampai saat ini Pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat (legslatif) belum merujuk tersedianya behavioral finance theory (BFT).
Latar Belakang Masalah
Krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2008 bermula dari krisis ekonomi Amerika Serikat yang kemudian menyebar ke negara-negara lain di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Krisis ekonomi Amerika diawali karena adanya dorongan untuk konsumsi (Propincity to Consume). Rakyat Amerika hidup dalam konsumerisme di luar batas kemampuan pendapatan yang diterimanya. Mereka hidup dalam hutang, belanja dengan kartu kredit, dan kredit perumahan. Akibatnya lembaga keuangan yang memberikan kredit tersebut bangkrut karena kehilangan likuiditasnya, karena piutang perusahaan kepada para kreditor perumahan telah digadaikan kepada lembaga pemberi pinjaman. Pada akhirnya perusahaan-perusahaan tersebut harus bangkrut karena tidak dapat membayar seluruh hutang-hutangnya yang mengalami jatuh tempo pada saat yang bersamaan.
Runtuhnya perusahaan-perusahaan finansial tersebut mengakibatkan bursa saham Wall Street menjadi tak berdaya, perusahaan-perusahaan besar tak sanggup bertahan seperti Lehman Brothers dan Goldman Sachs. Krisis tersebut terus merambat ke sektor riil dan non-keuangan di seluruh dunia.[1]
Sebagai akibat dari krisis keuangan di Amerika Serikat pada awal dan pertengahan tahun 2008 tersebut, telah menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat Amerika Serikat yang selama ini dikenal sebagai konsumen terbesar atas produk-produk dari berbagai negara di seluruh dunia. Penurunan daya serap pasar itu menyebabkan volume impor menurun drastis yang berarti menurunnya ekspor dari negara-negara produsen berbagai produk yang selama ini dikonsumsi ataupun yang dibutuhkan oleh industri Amerika Serikat. Oleh karena volume ekonomi Amerika Serikat itu sangat besar, maka sudah tentu dampaknya kepada semua negara pengekspor di seluruh dunia menjadi serius pula, terutama negara-negara yang mengandalkan ekspornya ke Amerika Serikat.
Terdapat enam penyebab terjadinya krisis ekonomi Amerika Serikat[2], yaitu: penumpukkan hutang yang sangat besar, adanya program pengurangan pajak korporasi yang mengakibatkan berkurangnya pendapatan Negara, besarnya biaya yang dikeluarkan untuk membiayai perang Irak dan Afghanistan, lembaga pengawas keuangan CFTC (Commodity Futures Trading Commision) tidak mengawasi mengawasi ICE (Inter Continental Exchange) sebuah badan yang melakukan aktifitas perdagangan berjangka, kerugian surat berharga property, dan yang terakhir adalah keputusan suku bunga murah yang mengakibatkan timbulnya spekulasi yang berlebihan. Penurunan suku bunga yang dilakukan oleh The Federal Reserve of The United States atau bank sentral Amerika yang kala itu dipimpin oleh master ekonom dunia Alan Greenspan membuat gejolak baru di pasar Amerika.
Krisis ekonomi Amerika tersebut yang semakin lama semakin merambat menjadi krisis ekonomi global karena sebenarnya perekonomian di dunia ini saling terhubung satu sama lainnya, peristiwa yang terjadi di suatu tempat akan berpengaruh di tempat lainnya. Dan tidak jarang dampak yang terjadi jauh lebih besar daripada yang terjadi di tempat asalnya. Oleh karena itu Indonesia juga turut merasakan krisis ekonomi global ini. Indonesia merupakan Negara yang masih sangat bergantung dengan aliran dana dari investor asing, dengan adanya krisis global ini secara otomatis para investor asing tersebut menarik dananya dari Indonesia. Hal ini yang berakibat jatuhnya nilai mata uang kita. Aliran dana asing yang tadinya akan digunakan untuk pembangunan ekonomi dan untuk menjalankan perusahaan-perusahaan hilang, banyak perusahaan menjadi tidak berdaya, yang pada ujungnya Negara kembalilah yang harus menanggung hutang perbankan dan perusahaan swasta.
Nilai ekspor Indonesia juga berperan dalam sebagai penyelamat dalam krisis global tahun 2008 lalu. Kecilnya proporsi ekspor terhadap PDB (Product Domestic Bruto) cukup menjadi penyelamat dalam menghadapi krisis finansial di akhir tahun 2008 lalu. Di regional Asia sendiri, Indonesia merupakan negara yang mengalami dampak negatif paling ringan dari krisis tersebut dibandingkan negara lainnya. Beberapa pihak mengatakan bahwa ‘selamat’nya Indonesia dari gempuran krisis finansial yang berasal dari Amerika itu adalah berkat minimnya proporsi ekspor terhadap PDB. Negara-negara yang memiliki rasio ekspor dengan PDB yang tinggi mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif, seperti Singapura yang rasio ekspornya mencapai 200% dan Malaysia mencapai 100%, sedangkan Indonesia sendiri ‘terselamatkan’ dengan hanya memiliki rasio ekspor sebesar 29%
Sejak itulah Asia menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi dunia, tak terkecuali Indonesia. Setiap hari, uang mengalir deras ke kawasan ini. Para investor dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa berbondong-bondong memindahkan uangnya ke Asia untuk mengambil untung. Pendek kata, Asia menjadi tempat yang subur untuk berternak uang.
Menurut catatan Badan Perdagangan dan Pembangunan PBB atau UNCTAD, aliran modal asing (FDI) dari negara maju ke negara berkembang besar seperti: China, India, Rusia, Brasil, dan Afrika Selatan naik hampir dua kali lipat sejak krisis finansial 2008.[3] Pada 2013, modal asing di negara berkembang naik 6,2% ke rekor tertingginya, yakni US$ 759 miliar. Sedangkan investasi asing di negara maju naik 12% menjadi US$ 576 miliar.[4]
Negara-negara berkembang besar di Asia akhirnya tumbuh subur. Setiap kali mobil baru keluar, langsung habis dibeli konsumen. Properti mewah dibangun di mana-mana dan restoran setiap hari penuh sesak oleh pengunjung. Benarkah rakyat Asia sudah punya daya beli kuat? Belum tentu, sebab, banyaknya barang yang dibeli itu karena begitu longgarnya aturan kredit dan utang.
Longgarnya aturan utang dan banyaknya pihak asing yang ingin berinvestasi menjadi ledakan ekonomi bagi Asia. Tapi, ini juga sekaligus membawa benua ini ke jurang utang yang semakin besar. Jutaan konsumen Indonesia rela berutang untuk memiliki kendaraan bermotor dan rumah. Konsumen di Thailand, Hongkong, Singapura, dan Malaysia berani mengambil kredit agar punya real estate.
Obligasi Pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Filipina saat ini banyak dimiliki oleh asing. Begitu pula saham-saham yang diperdagangkan di bursa ketiga negara tersebut.
Kini beban utang di beberapa negara Asia menggunung, yakni melebihi utang benua ini di era 1997. Firma Konsultasi Mc Kinsey Global Institute mengukur utang ini dari perbandingan persentase utang negara dan swasta atas produk domestik bruto (PDB). Dalam empat tahun terakhir presentase ini naik menjadi 155% pada pertengahan 2012 dari 133% pada 2008.[5]
China jadi pemimpin barisan pengutang. Rasio utang atas PDB China naik menjadi 183% pada pertengahan 2012 dari 153% pada 2008. Beberapa ekonom mengatakan bahwa rasio utang itu sebetulnya jauh lebih tinggi sampai mencapai 200%. Utang luar negeri jangka panjang Korea Selatan juga membengkak. Pada akhir 2012, utang luar negerinya mencapai US$ 413,4 miliar, atau meningkat US$ 14,7 miliar dari tahun sebelumnya.[6]
Singapura masuk daftar pengutang besar karena rasio kredit mencapai 101%. Di paruh pertama 2012, perusahaan-perusahaan Singapura mencatat kenaikan pinjaman sebesar 7%. Di Singapura, utang publik sebagian besar terdiri dari terbitan Singapore Government Securities untuk mendanai anggaran pensiun.
Jika kredit di Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Singapura tidak bisa dikendalikan, maka negara-negara ini akan terperosok ke jurang utang yang sangat mengerikan. Apalagi, jika AS dan Eropa sudah mulai stabil. Sedikit saja mereka menarik dananya dari Asia, krisis baru bukan tak mungkin melanda kawasan ini.
Sejak itulah kondisi bursa dan pasar keuangan secara global telah mengalami tekanan yang sangat berat, akibat kerugian yang terjadi di pasar perumahan (subprime mortgages) yang berimbas ke sektor keuangan Amerika Serikat. Lembaga-lembaga keuangan raksasa mulai bertumbangan akibat nilai investasi mereka jatuh. Banyak di antara lembaga-lembaga keuangan yang sudah berusia lebih dari seratus tahun tersebut harus meminta penyelamatan keuangan mereka apabila tidak mau gulung tikar. Bahkan Fannie Mae dan Freddie Mac, sebagai lembaga penyalur kredit terbesar di AS dengan nilai kredit mencapai sekitar USD 5 triliun, juga harus diselamatkan oleh pemerintah. Investment Banker sekelas Lehman Brothers juga terpaksa menutup usahanya. Kondisi bursa saham juga sangat memprihatinkan yang ditunjukkan dengan turunnya indeks Dow Jones kepada posisi yang sangat rendah (paling rendah dalam 2 dekade terakhir).
Hal ini berimbas ke negara-negara lain di dunia, baik di Eropa, Asia, Australia maupun Timur Tengah. Indeks harga saham di bursa global juga mengikuti keterpurukan indeks harga saham bursa di AS, bahkan di Asia, termasuk Indonesia, indeks harga saham menukik tajam melebihi penurunan indeks saham di AS sendiri. Hal ini mengakibatkan kepanikan yang luar biasa bagi para investor, sehingga sentimen negatif terus berkembang, yang mengakibatkan banyak harga saham dengan fundamental yang bagus, nilainya ikut tergerus tajam. Selain keadaan yang memprihatinkan di lingkungan bursa saham, nilai tukar mata uang di Asia dan Australia pun ikut melemah terhadap dolar AS. Hal ini lebih dikarenakan kekhawatiran investor asing yang menarik kembali investasinya sehingga menukarkannya ke dalam dolar AS, sehingga mata uang lokal menjadi tertekan.
Bail out untuk mengatasi krisis keuangan yang diusulkan oleh Pemerintah AS serta telah disetujui oleh Parlemen dengan dana sebesar USD 700 miliar, ternyata masih belum cukup meredam dampak krisis yang terjadi baik di AS sendiri maupun secara global. Kebijakan The Fed dengan menurunkan suku bunga dari 2% menjadi 1,5% juga masih belum banyak berdampak. Selain itu masih banyak langkah lain yang ditempuh oleh Pemerintah AS termasuk membuat berbagai regulasi baru untuk mencegah krisis semakin memburuk. Negara-negara lain, baik di kawasan Eropa, Asia Pasifik maupun Timur Tengah, juga menyikapi krisis keuangan global ini dengan mengambil berbagai langkah serius secara simultan.[7]
Begitu juga dengan Indonesia, dampak krisis global terhadap perekonomian Indonesia sangat dalam dan luas bagi beberapa aspek ekonomi penting Indonesia, diantaranya berimbas signifikan terhadap perbankan, bursa saham, nilai tukar dan inflasi, ekspor-impor, sektor riel dan pengangguran. Namun, dalam penelitian ini lebih ditekankan pada dampak krisis global terhadap kondisi perbankan Indonesia. Dalam konteks perbankan, pemerintah perlu berhati-hati karena tidak ada yang dapat memperkirakan dalam dan luasnya krisis keuangan global ini.
Menyikapi permasalahan ini, pemerintah dan otoritas moneter dalam hal ini Bank Indonesia telah melakukan beberapa langkah yang sangat tepat untuk mengurangi kekhawatiran atau ketidakpercayaan publik terhadap kapabilitas dan likuiditas bank-bank nasional, yaitu antara lain:[8]
- Menaikkan BI rate menjadi 9,5% untuk mengantisipasi depresiasi terhadap nilai rupiah dengan meningkatkan atraktifitas investasi dalam nilai rupiah akibat spread bunga domestik dan luar negeri yang cukup tinggi;
- Meningkatkan jumlah simpanan di bank yang dijamin oleh pemerintah dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 milyar, untuk mengantisipasi rush akibat kekhawatiran masyarakat terhadap keamanan simpanannya di bank. Hal ini dilakukan dengan pengeluaran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
- Memperluas jenis aset milik bank yang boleh diagunkan kepada BI, yang tadinya hanya meliputi aset kualitas tinggi (SBI dan SUN), namun melalui Perpu, aset yang dapat dijaminkan diperluas dengan kredit lancar milik bank (ditujukan untuk mengantisipasi turunnya harga pasar SUN, yang terlihat dengan naiknya yield). Hal ini ditujukan untuk mempermudah bank dalam mengatasi kesulitan likuiditas, sehingga dapat memperoleh jumlah dana yang cukup dari BI.
Salah satu bank yang mengalami kesulitan dalam mempertahankan eksistensinya sehinggga perlu penyelamatan dari Bank Sentral dalam hal ini Bank Indonesia pada saat itu adalah Bank Century yang pada akhirnya melahirkan sebuah skandal.
Bank Century saat itu mengalami kesulitan likuiditas ketika krisis ekonomi global sedang berlangsung. Sehingga ketika pengurus Bank Century menyerahkan nasib banknya kepada Bank Indonesia, maka keputusan pun harus segera diambil dan akhirnya Bank Indonesia menyiapkan 2 (dua) opsi, yaitu antara menyelamatkan BC atau membangkrutkan BC, dan pilihan yang diambil oleh Bank Indonesia adalah menyelamatkan BC dengan cara memberikan dana talangan melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan atau disingkat KSSK,[9] yang diketuai oleh Menteri Keuangan, pada tanggal 21 November 2008.
Keputusan pemberian dana talangan (bailout) tersebut diambil setelah melalui proses[10], sebagai berikut:
- Tanggal 15 Oktober 2008, Pemegang Saham Pengendali (PSP) dan Pengawas Bank (LPP) berjanji akan mempercepat penyelesaian permasalahan bank century.
- Tanggal 5 November 2008, BI menetapkan BC sebagai bank dalam pengawasan khusus (Special surveillance unit).
- Tanggal 13 November 2008, BC tidak dapat melakukan kliring, keterlibatan CAR (Rasio Kecukupan Modal).
- Tanggal 14 Nopember 2008 BI memutuskan untuk memberikan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP).
- Tanggal 16 November 2008, BI kembali meminta PSP untuk menyelesaikan komitmen tanggal 15 Oktober 2008 lalu.
- Tanggal 18 November 2008, BI kembali memberikan FPJP tambahan dengan agunan berupa kredit lancar.
- Tanggal 20-21 November 2008 KSSK memutuskan BC sebagai bank gagal yang berdampak sistemik.
- Desember 2008 Berdasarkan keputusan KSSK tersebut, maka LPS memberi dana sebesar Rp. 2.201 Trilyun.
- Februari 2009 berdasarkan keputusan KSSK tersebut, maka LPS memberi dana sebesar Rp. 1.55 Trilyun.
- Juli 2009 berdasarkan keputusan KSSK tersebut, maka LPS memberi dana sebesar dana Rp. 630 Milyar.
Akhirnya, sampai dengan tanggal 21 Juli 2009 dana sebesar 6,7 trilyun rupiah pun telah disuntikkan kepada Bank Century yang merupakan bank kecil dan tidak punya kekuatan apa-apa untuk bisa mempengaruhi peta perbankan Indonesia. Pemerintah cq Sri Mulyani (Menteri Keuangan 2004-2009) dan Boediono (Dirut Bank Indonesia) menyetujui pemberian dana sebesar 6,7 trilyun rupiah ini kepada Bank Century dengan alasan yang tegas bahwa apabila Bank Century yang saat itu mengalami kebangkrutan dan kesulitan finansial ditutup, maka akan berdampak sistemik pada perbankan Indonesia.
Pada awalnya dana yang akan dikucurkan kepada Bank Century hanya sebesar 632 miliar rupiah dan rencana ini pun diamini dan disetujui oleh DPR. Namun kenyataannya bukan uang 632 miliar rupiah tadi yang disuntikkan, justru 1000 kali lipat, yaitu 6,7 trilyun rupiah. Hal ini menimbulkan pertanyaan banyak pihak, uang yang semulanya sebesar 632 miliar rupiah untuk membantu Bank Century untuk memenuhi persyaratan rasio kecukupan modal sebesar 8 persen ternyata justru membengkak tajam menjadi sebesar 6,7 trilyun yang disuntikkan.
Setelah BC oleh Bank Indonesia, dinyatakan / ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik dan dana bail out bank century tersebut dikucurkan oleh Pemerintah melalui instansi terkait dan di jalankan sesuai dengan peruntukannya, akhirnya DPR RI menganggap bahwa Pemerintah telah melakukan kesalahan dalam keputusan bail out tersebut dan DPR RI pun melakukan perlawanan, dengan membentuk Panitia Khusus Angket Bank Century (PKABC).
Sehingga pada akhirnya DPR RI membentuk semacam Tim Pencari Fakta dalam bentuk Panitia Khusus Angket Bank Century (PKABC), yang bertujuan melakukan kontroling secara langsung untuk mengkaji, menguji, meneliti apakah bail out atas bank century tersebut terdapat pelanggaran hukum.
Hasil Panitia Khusus Angket Bank Century (PKABC) yang diputuskan oleh paripurna DPR-RI telah mengeluarkan rekomendasi dan kesimpulan,[11] atas kasus BC, agar segera dilakukan penyelesaian yakni:
- Penegakan Hukum, yang merekomendasikan kepada pihak Kepolisian RI, Kejaksaan Agung RI dan KPK untuk menindak lanjuti kesimpulan dan rekomendasi paripurna DPR-RI;
- Pemulihan asset (asset recovery ) yang telah diambil secara tidak sah oleh pelaku tindak pidana yang merugikan keuangan bank/Negara;
- Audit forensic [12] terhadap kasus aliran dana Bank Century;
- Penyelesaian permasalahan yang menimpa nasabah PT. Anta Boga Delta Sekuritas;
- Melakukan revisi UU yang terkait dengan sektor keuangan dan perbankan.
Namun demikian, penyelesaian hukum terhadap kasus BC sebagaimana dimaksud pada Rekomendasi DPR tersebut, tidak serta merta segera bisa dijalankan mengingat, terjadinya pro dan kontra perseteruan antara lembaga eksekutif dan Lembaga legislatif demikian tajamnya mengenai sah tidaknya BC ditetapkan sebagai bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik.
Meskipun dalam kenyataannya lembaga Yudikatif, telah pula memeriksa dan mengadili pemilik bank Century Robert Tantular (pemilik saham minoritas) serta Hermanus Hasan Muslim,dkk (Direksi), serta Rafat Ali Rizvi dan Hesham Al Warraq (pemegang saham pengendali) yang sudah divonis secara in absentia oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 30 Nopember 2010, dengan hukuman 15 tahun penjara, membayar uang pengganti secara tanggung renteng Rp. 3.115.889.000,00 (Rp. 3,1 triliun) dan denda Rp.15 miliar.[13]
Pihak Kepolisian Negara RI sehubungan dengan adanya kejahatan perbankan yang terjadi di bank Century, telah melakukan langkah-langkah dengan cara pengamanan / mengamankan aset bank century, baik yang ada di dalam negeri maupun yang ada di luar negeri dengan cara melakukan penyitaan.[14]
Berdasarkan kesimpulan dan rekomendasi dari paripurna DPR-RI tersebut, mantan Gubernur Bank Indonesia, Boediono “dipersalahkan” oleh Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI), karena telah mengambil kebijaksanaan menyelamatkan Bank Century, demi menghindarkan ekonomi Indonesia dari dampak krisis ekonomi global 2008.
Profesor Boediono, selaku Wakil Presiden RI (Pemerintah), dalam kapasitasnya sebagai mantan Gubernur Bank Indonesia diminta bersaksi pada sidang PKABC, antara lain diajukan suatu pertanyaan oleh anggota PKABC, apa dasar penetapan BC sebagai bank gagal berdampak sistemik. Guru Besar Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada itu menjawab, bahwa rumor sebagai dasarnya.
Mendengar jawaban seperti itu, para anggota Panitia Khusus Angket Bank Century (PKABC), justru mempersoalkan landasan teori yang bisa membenarkan bahwa rumor bisa menimbulkan dampak sistemik. Pertanyaan ini diperkuat dengan kesaksian mantan Gubernur Bank Indonesia, Burhanudin Abdullah, yang mempertanyakan ilmu (maksudnya teori) yang bisa mengantarkan rumor bisa dipakai dasar menetapkan sebuah bank sebagai bank gagal yang berdampak sistemik.[15]
Penyelesaian hukum masalah BC pun, menjadi semakin berlarut-larut dan merupakan salah satu kasus perbankan yang multikompleks yang pernah terjadi di dunia Perbankan Indonesia. Kompleksitas BC juga dapat dilihat dari banyaknya pihak yang terlibat, bukan hanya masyarakat biasa yang bertindak sebagai nasabah melainkan juga pihak management bank, Aparat Kepolisian, Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, bahkan sampai ke level Wakil Presiden dengan fungsi dan kewenangannya masing-masing.
Keterlibatan Wakil Presiden (waktu itu dijabat oleh Jusuf Kalla) dalam kasus BC dimulai dari instruksi beliau kepada pihak kepolisian (Bareskrim) untuk segera menangkap pucuk pimpinan BC yang kala itu dijabat oleh Robert Tantular. Sedangkan keterlibatan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia adalah dalam kaitannya dengan jabatan dan kewenangan yang melekat pada mereka sebagai pemegang jabatan puncak dalam tatanan lembaga keuangan Negara. Karena melalui Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesialah yang melahirkan kebijakan sehingga memungkinkan BC memperoleh dana talangan (bail out),dari Bank Indonesia. Selain itu, kompleksitas BC dapat pula diamati melalui eksistensi bank itu sendiri yang oleh Gubernur BI dan Menteri Keuangan dinilai sebagai salah satu bank yang layak memperoleh dana talangan (bail out), sebab implikasinya dapat berdampak sistemik kalau dana talangan (bail out) tidak diberikan. Sementara itu, menurut beberapa pakar perbankan, eksistensi dan kedudukan BC dalam konteks perbankan Indonesia sama sekali tidak urgent dan oleh karena itu tidak perlu mendapatkan bail out karena implikasinya juga sama sekali tidak akan berdampak sistemik terhadap sistem perbankan Indonesia.[16]
Namun di atas semua itu, kompleksitas BC yang paling mencolok dan paling banyak menyita perhatian berbagai kalangan, adalah jumlah rupiah yang dijaminkan atau dijadikan bail out oleh pemerintah agar bank tersebut tidak menimbulkan dampak sistemik terhadap kondisi perbankan tanah air waktu itu, yang mencapai 6,7 trilliun rupiah. Disamping itu, kompleksitas BC ternyata tidak hanya sampai pada besarnya jumlah rupiah yang dijadikan bail out, tetapi juga terletak pada berlarut-larutnya kasus tersebut tanpa memberikan hasil yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan serta kepastian hukum, seperti yang dikehendaki oleh masyarakat, terutama para nasabah.
Sejak dana talangan (bail out) diberikan tahun 2008, kisruh BC sudah memasuki tahun ke 6, namun hasil penanganan yang paling didambakan terutama oleh para nasabah tak juga muncul. Dari segi inilah muncul berbagai spekulasi bahwa kekisruhan BC memang sengaja diciptakan, atau paling tidak, pemerintah pusat sebagai pengendali dan penguasa tertinggi tidak sepenuh hati untuk menuntaskannya. Dikatakan tidak sepenuh hati karena sangat tidak mungkin, sebuah kasus perbankan tidak dapat diselesaikan setelah memakan waktu lebih dari separuh dekade dan melibatkan begitu banyak pihak.
Kondisi seperti ini, secara spontan menimbulkan pula spekulasi bahkan kecurigaan lanjutan bahwa berlarut-larutnya kasus BC karena melibatkan orang atau pejabat tertentu yang pengungkapannya dapat berdampak sistemik terhadap keamanan dan keselamatan negeri ini. Merupakan suatu fakta, bahwa langkah pemerintah menyelamatkan BC dari bahaya kebangkrutan melalui pemberian dana talangan (bail out), telah menimbulkan dampak terhadap hukum yang sangat kompleks, sehingga menimbulkan berbagai penafsiran terhadap mekanisme penyelesaian hukumnya.
Sampai saat ini, belum ada kejelasan apakah penyelesaian hukum kasus BC tersebut merupakan kewenangan pemerintah selaku pihak eksekutif, dan atau DPR-RI selaku pihak legislatif. Belum adanya kejelasan mengenai penyelesaian kasus Bank Century dalam perspektif Sistem Hukum Indonesia, akibat penyelesaiannya yang telah memakan waktu lebih dari separuh dekade, semakin menambah banyaknya spekulasi yang bermunculan sehingga tingkat kerumitan masalah kasus itupun semakin tinggi pula.
Fakta bahwa uang negara sebesar 6,7 triliun rupiah sudah dikeluarkan/dicairkan oleh Bank Indonesia dalam rangka menyelamatkan kebangkrutan Bank Century. Penetapan pemberian dana talangan (bail out) dilakukan oleh Bak Indonesia dalam rangka menghindari dampak yang bersifat sistemik bagi perekonomian negara. Namun hingga saat ini, belum ada kejelasan bagaimana seharusnya penyelesaian hukum terhadap kasus BC tersebut ditangani dan diselesaikan terutama ditinjau dari perspektif sistem hukum Indonesia.
Kondisi tersebut selain menimbulkan berbagai persoalan hukum terutama yang berhubungan dengan nasib uang simpanan para nasabah, juga memunculkan berbagai spekulasi dan sakwasangka buruk dari berbagai kalangan tentang penyelesaian hukum terhadap kasus BC dalam perspektif sistem hukum Indonesia.
Kejelasan dan kepastian tentang penyelesaian kasus BC, adalah suatu yang sangat urgent dan mutlak adanya, sebab tanpa kejelasan dan kepastian itu, maka sangatlah sulit menentukan bagaimana seyogyanya kasus tersebut ditangani dan diselesaikan sehingga memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Apakah permasalahan hukum yang menyertai kekisruhan BC merupakan kewenangan Pemerintah selaku pihak eksekutif, dan atau DPR-RI selaku pihak legislatif. Hal tersebut menjadi penting mengingat, tujuan dari semula dinyatakannya BC sebagai bank gagal yang berdampak sistemik oleh Pemerintah adalah dalam upaya penyelamatan perekonomian negara.
Perbedaan pendapat antara Lembaga Legislatif dan lembaga Eksekutif, telah menimbulkan terjadinya perseturuan / konflik[17] secara hukum, karena adanya pandangan yang berbeda menyangkut persoalan BC, apakah layak atau tidak diberikan dana talangan / bail out, karena di pandang oleh Pihak Eksekutif, dapat dipersepsikan sebagai bank gagal yang berdampak sistemik terhadap perekonomian nasional. Disisi lain, pihak Legislatif tetap pada pendiriannya, bahwa BC adalah bank kecil, yang tidak mungkin dapat menimbulkan dampak sistemik terhadap perekonomian nasional, oleh karenanya tidak perlu BC diselamatkan, dengan melakukan bail out / memberi dana talangan.
Perbedaan pandangan antara Lembaga Legislatif dan Lembaga Eksekutif, seolah-olah seperti tidak ada jalan keluar secara hukum, bagaimana memecahkan atau mencari jalan keluar secara yuridis menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia di jalankan. Interpretasi [18] hukum sebagai bagian dari solusi / alternatif dari pemecahan masalah juga belum dapat didayagunakan secara maksimal sehingga terkesan tidak ada jalan keluar yang dapat di terima oleh para pihak.
Penyelesaian hukum terhadap kasus BC, yang hingga saat ini belum memiliki dimensi kepastian hukum yang jelas dan pasti, adalah bukti empiris yang secara diskriptif dapat disimpulkan sebagai hipotitis bahwa sistem hukum nasional,[19] belum memiliki tolak ukur (standarisasi) sehingga berakibat timbulnya multi tafsir hukum dalam kerangka penyelesaian hukumnya terhadap kasus BC dalam perspektif sistem hukum Indonesia
Kesimpulan
a. Ada Tidaknya Landasan Teori Terkait Dengan Kebijakan Bank Indonesia Dalam Menetapkan Bank Century Sebagai Bank Gagal Berdampak Sistemik
Dari sudut pandang teori ekonomi tradisional, jelas Bank Century tidak perlu diselamatkan. Sebab secara data fundamental, bank ini sangat kecil, baik dalam besaran asset maupun perannya dalam system perbankan (sehingga tidak akan menulari bank-bank lain). Terbukti, mayoritas anggota DPR memilih opsi yang menyatakan bahwa bailout Bank Century adalah suatu kebijakan yang salah. Namun, Behaviour Finance Theory (BFT) masih memberikan ruang untuk mengubah mindset, yakni bahwa terkadang pelaku ekonomi berperilaku irrasional. Dalam hal ini, pendapat bahwa Bank Century adalah bank kecil yang apabila ditutup tidak akan berdampak sistemik, hanya akan berlaku jika ekonomi dalam kondisi normal. Faktanya, saat masalah Bank Century mencuat, ekonomi sedang dalam kondisi yang tidak normal, yakni sedang menghadapi krisis ekonomi global.
Pada kondisi krisis ekonomi seperti itu, tindakan menutup bank, sekecil apapun bank tersebut, akan menghadapi resiko dampak sistemik. Ini terjadi karena berita dan sentiment negatif akan menurunkan kredibilitas otoritas moneter dan pemerintah di mata masyarakat.
b. Mampu Tidaknya Pemberian Bailout (dana talangan) Kepada Bank Century Mengatasi Krisis Perekonomian Nasional
Rumor sangat mudah menyebar dalam kondisi ekonomi yang sedang krisis. Dan ketika itu, rumor memang sudah menyebar. Oleh karena itu, mempertimbangkan keadaan rumor yang sudah nyata tersebut, Bank Indonesia menetapkan Bank Century sebagai bank gagal bedampak sistemik dan merekomendasikan KSSK untuk menyelamatkan bank tersebut. Pada intinya, mencermati kegentingan situasi yang ada, maka jika Bank Century tidak diselamatkan akan memberikan dampak berantai atau sistemik, yang dapat menciptakan instabilitas pada sistem keuangan dan perekonomian nasional mengingat kondisi perekonomian global saat itu.
Oleh karenanya, kebijakan bailout Bank Century memang sudah tepat, dalam arti juga tidak terdapat pelanggaran atau tindak pidana perbankan di dalamnya, karena memiliki dasar atau analisis tersendiri. Analisis tersebut mempertimbangkan aspek-aspek makro-ekonomi dan keuangan yang cermat, itikad baik, asas kemanfaatan publik dan asas transparansi dalam proses pengambilan keputusannya. Tak terkecuali mengenai argumentasi bahwa pembangkrutan Bank Century akan berdampak sistemik melalui rumor.
c. Ada Tidaknya Implikasi Hukum Dalam Penetapan Bank Century Sebagai Bank Gagal Berdampak Sistemik Berdasarkan Perspektif Hukum Indonesia
Bagi mereka yang berpendapat bahwa kebijakan bailout adalah kurang tepat, mereka memiliki dasar atau analisis tersendiri. Bahkan, terdapat beberapa indikator, yang menurut mereka, mengarah pada pelanggaran atau tindak pidana perbankan. Pada intinya, Bank Century sejatinya memang sudah “cacat” sejak awal berdiri. Segala sesuatu yang dimulai dengan itikad yang tidak baik, tentunya akan menghasilkan sesuatu yang tidak baik pula. Inilah yang terjadi pada ketiga bank peserta merger, khususnya Bank CIC, dimana ditemukan beberapa bukti adanya pelanggaran atau tindak pidana perbankan di dalamnya. Pun sejak Bank Century didirikan hingga proses bailout.
Sejatinya, menurut mereka yang kontra terhadap kebijakan bailout Bank Century, solusi bagi Bank Century yang berstatus sebagai bank gagal adalah dengan menutup bank tersebut, bukan malah memberi bantuan dana dalam bentuk bailout. Berdasarkan data-data yang ada, mereka menilai bahwa kegagalan Bank Century tidak sampai berdampak sistemik. Tidak sampai di situ saja, kontroversi munculnya Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan pun menjadi perdebatan. Menurut mereka, meskipun bailout tersebut telah berhasil diberikan, namun keabsahan akan payung hukum pengucuran bailout tersebut juga dipertanyakan.
Berdasarkan data dari BPK, penyaluran dana bailout ke Bank Century setelah tanggal 18 Desember 2008 (sebesar Rp 2,886 triliun) adalah tidak sah alias illegal. Dana bailout yang dianggap legal adalah sebagian dana yang dikucurkan pada tahap kedua (yang dikucurkan pada 19-30 Desember 2008), pengucuran tahap ketiga dan tahap keempat. Dikarenakan, setelah tanggal 18 Desember 2008, Perpu JPSK yang memayungi bailout Bank Century sudah tidak berlaku lagi, menyusul ditolaknya perpu tersebut oleh DPR.
Bahkan, ditemukan beberapa bukti yang mengindikasikan adanya dugaan tindak pidana di bidang perbankan, seperti yang tercantum dalam Undang-undang Perbankan, Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, maupun Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Namun demikian, kesalahan dalam pengambilan kebijakan (mal kebijakan) atau keputusan, tidak dapat dipidana. Dalam hukum administrasi Negara, tidak dikenal sanksi pidana. Sanksi yang dikenal dalam hukum administrasi Negara antara lain: teguran (lisan maupun tertulis), penurunan pangkat, pembebasan dari jabatan, bahkan diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatan.
Meski demikian, terhadap prinsip umum bahwa kebijakan dan keputusan yang salah tidak dapat dikenai sanksi pidana, terdapat pengecualian. Paling tidak ada tiga pengecualian, yakni sebagai berikut:
1) Pertama, adalah kebijakan atau keputusan dari pejabat yang bermotifkan melakukan kejahatan internasional atau dalam konteks Indonesia diistilahkan sebagai pelanggaran HAM berat.
2) Kedua, meski suatu anomali, kesalahan dalam pengambilan kebijakan atau keputusan, secara tegas ditentukan dalam perundang-undangan.
3) Ketiga, kebijakan atau keputusan yang bersifat koruptif atau pengambil kebijakan dan keputusan bermotifkan kejahatan.
Menurut doktrin hukum, terkait tiga parameter secara kumulatif untuk menjustifikasi apakah suatu kebijakan telah memasuki ranah hukum pidana, dijabarkan sebagai berikut:
1) Pertama, jika suatu kebijakan dijadikan pintu masuk untuk melakukan kejahatan.
2) Kedua, ada aji mumpung dalam pengambilan kebijakan.
3) Ketiga, kebijakan tersebut melanggar peraturan.
Menurut hemat Penulis, apabila ketiga parameter tersebut di atas dikaitkan dengan kebijakan bailout Bank Century, berikut ini analisisnya:
Dalam kaitannya dengan kebijakan bailout Bank Century senilai Rp 6,7 triliun, KSSK secara kasat mata melanggar Peraturan Bank Indonesia (PBI). Beradasarkan PBI Nomor 10/26/PBI/2008, Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek FPJP) diberikan kepada bank yang memiliki rasio kecukupan modal (CAR) minimal 8 %. Padahal CAR Bank Century pada saat itu adalah kurang dari 8 %, yakni 2,35 %. Lalu, pada 14 November 2008 BI mengubah aturan tersebut, yang intinya persyaratan FPJP dari semula CAR 8 % menjadi CAR positif. Saat dikucurkan, CAR Bank Century per 31 Oktober 2008 adalah -3,53 %. Dengan demikian, parameter ketiga untuk memidanakan kebijakan, telah terpenuhi.
Selanjutnya terhadap parameter pertama, pada dasarnya kebijakan KSSK dalam memberikan dana kepada Bank Century dan penggunaan dana itu adalah dua hal yang berbeda. Namun, jika dapat dibuktikan bahwa kebijakan pemberian FPJP kepada Bank Century dimaksudkan untuk dibagibagikan kepada pihak-pihak tertentu, maka berdasarkan teori individualisasi dalam ajaran kausalitas Birckmayer dan Kohler (sebab adalah syarat yang paling kuat untuk timbulnya suatu akibat), antara kebijakan dan penyalahgunaan dana Bank Century adalah suatu rangkaian tindak pidana.
Artinya, kebiajkan tersebut merupakan pintu masuk untuk melakukan suatu kejahatan. Dengan demikian, parameter pertama telah terpenuhi. Terakhir adalah parameter kedua, bahwa ada aji mumpung dalam pengambilan kebijakan. Salah satu pintu masuk untuk membuktikan ini adalah perubahan PBI terkait persyaratan CAR untuk FPJP. Sulit dinafkan, bahwa perubahan PBI tersebut adalah untuk memuluskan pemberian dana kepada Bank Century. Berdasarkan teori kesengajaan yang diobyektifkan, dugaan adanya aji mumpung dalam pengambilan kebijakan diperkuat fakta bahwa pada saat itu terdapat bank lain yang dinyatakan gagal, tetapi hanya Bank Century yang diberikan FPJP. Indikasi adanya aji mumpung hanya bias ditepis jika dapat dibuktikan bahwa pemberian FPJP hanya kepada Bank Century dan tidak kepada bank lain adalah untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Selain itu, harus dapat dibuktikan bahwa pengambilan kebijakan tersebut dalam keadaan darurat. Dengan demikian, bahwa sifat melawan hukum adalah suatu perbuatan pidana, dapat dikesampingkan.
Dengan demikian, menurut hemat Penulis, kebijakan bailout Bank Century memang berpeluang layak untuk digiring ke ranah hukum pidana, yang tentunya diikuti juga dengan bukti-bukti yang cukup. Namun, apabila berbagai indikasi pelanggaran atau tindak pidana tersebut tidak ditemukan, maka kasus ini harus dihentikan segera. Jangan sampai mengada-adakan sesuatu yang mungkin memang tidak pernah terbukti ada. Jangan kemudian kebijakan dan keputusan yang dianggap salah pasca dievaluasi tersebut dipaksakan untuk dikenai sanksi pidana. Apabila ada pemaksaan, tentu akan menyulitkan aparat penegak hukum dalam ranah hukum pidana. Selamat membaca.
Info tentang buku Kebijakan Bail Out Bank Century dapat menghubungi nomor telepon (021) 2555 8827.
Artikel Lainnya : OpiniHardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H