Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta yang Menua # Bab IV – Empat (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

27 April 2016   21:29 Diperbarui: 27 April 2016   21:32 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

secangkir kopi - sumber http://elyviainayah.blogspot.co.id/2013_11_01_archive.html

tidak segera menanggapi pertanyaan Arjo. Perempuan tomboy itu justru mengamati lebih teliti kondisi kedua orang yang tergeletak di lantai. Setelah itu baru berjalan kembali ke ruang belakang. Diikuti Arjo. Beberapa langkah kemudian keduanya berhenti.

“Hei, Bos, bagaimana dengan nasib kami ini? Kenapa kalian pergi begitu saja tanpa membuka ikatan tangan dan kain sialan yang menutupi mataku ini. . . . .?!” teriak Burik dengan penuh geram. Kakinya dijejak-jejakkan ke tembok sehingga menimbulkan suara gaduh dan getaran.

“Hentikan kekonyolanmu itu, Burik!” seru Olleka spontan.

“Aku haus dan lapar, Bos. Asam lambungku mulai naik.. .. . .!” tambah Codot dengan suara gemetar karena kelaparan.

“Gampang itu. Nanti kuurus kalian setelah persoalanku jelas. . . . . !” jawab Olleka sambil melangkah kembali. Ia menyambar jaket kulit yang tadi digantung di lorong penghubung ruang depan dengan belakang. Lalu diambilnya sebatang rokok putih dari kotaknya di saku celana, dan meletakkan di bibir.

Arjo melangkah lebih cepat, mendahului. Di ruang belakang itu diseruputnya cairan kopi hitam yang tadi dibuatnya, meski sudah menjadi dingin. Arjo duduk begitu saja di kursi yang berseberangan dengan kursi Olleka.

“Aku tidak tahu separah apa kedua orang itu telah kamu hajar. Rasanya mereka perlu segera dibawa ke rumah sakit. Kita punya wakatu beberapa menit untuk berkompromi, Nah, sekarang kita mau bicara mulai dari mana?”

“Berkompromi? Untuk sesuatu yang menjadikanku hampir mati, gampang sekali?” Arjo mencoba bersabar namun tak urung ada kemarahan yang sukar disabarkan.

“Semua ini tidak lebih dari persoalan bisnis. Lebih tepatnya, efek samping bisnis yang gagal. Agak panjang ceritanya, tapi kalau Pak Arjo mau bersabar lambat-laun akan mengerti bahwa apa yang kulakukan tidak sepenuhnya salah. . . . .!” Olleka berbicara serius, dan Arjo mampu mengukur seberapa serius dari tekanan dan pilihan kata yang dilontarkannya,

‘Sekedar bisnis?” Arjo menarik nafas panjang untuk banyak persoalan yang tidak dimengertinya.  Bersamaan dengan itu ia menangkap satu hal, yaitu keseriusan.

Keseriusan berdialog karena persoalan yang gawat, dan itu tidak hanya muncul dalam latihan teater yang sering dilakoninya. Tapi ternyata ada juga dalam keseharian, dalam sekadar bisnis. Terlebih untuk orang-orang yang terlatih bicara mengurai, mengolah, dan membuat kesimpulan atas suatu masalah. Dan Arjo sedikit demi sedikit mulai merasakan nuansa kekaguman pada perempuan yang berpenampilan praktis dan simpel itu.

Sejenak  tadi ia mengalihkan pandangan ke kehijauan kebun teh luas di luar jendela. Sorot sinar matahari mulai miring ke barat. Angin penggunungan bertiup makin kencang. Arjo kembali memperhatikan Olleka. Perempuan itu tidak kurang cantik meski memang terlihat aura kelelakian. Bagaimana mungkin Bang Ibram, atau siapapun yang disebut sebagai suami, mampu memalingkan perhatian dari Wasi. Arjo sampai geleng-geleng kepala tak percaya.

“Ada sesuatu yang aneh pada penampilanku? Kita bukan sepasang kekasih yang nyinyir membicarakan perasaan masing-masing, bukan?”

Arjo tergagap oleh pikiran ngelantur. Sejenak ia berusaha fokus pada pertanyaan awal. “Maafkan aku karena beberapa saat tadi aku sempat membandingkan penampilanmu dengan sosok Wasi. Kalian sama sekali berbeda. Sama cantik dan daya tarik, tapi beda. Seperti dua kutub yang berseberangan. Namun aku tak yakin tindak kekerasan ini kamu yang merencanakan. . . .!”

Olleka memperhatikan kesimpulan itu, dan diam-diam mengakui Arjo punya pengetahuan keturanggan cukup memadai. “Suamiku terlalu lembek untuk hal-hal seperti ini. Padahal ini bukan persoalanku. Menyekap untuk memaksa seorang Arjo mengaku seolah-olah telah berpacaran dengan Wasi. Lalu kami akan undang wartawan dan mengeksposenya, agar nama perempuan itu tercemar dan rlebih juga untuk membuktikan bahwa dialah yang memulai berselingkuh. . . . .. . . .!” jelas Olleka berterus-terang.

Tiba-tiba Olleka memandang lurus ke arah mata Arjo Kemplu. Beberapa detik tak berkedip, tanpa ekspresi apapun selain harapan untuk dipahami. Lanjutnya lagi : “Ringkasnya semua ini sekedar untuk membuat skenario palsu? Bukan untuk membunuh?”

“Lalu kenapa dua orang bayaran itu menyekap dan menyiksaku?”

“Itu tidak ada dalam rencana awal. Jadi aku sendiri juga tidak tau mengapa. . . . . Tapi mungkin karena mereka stres saja, lalu banyak minum, dan menjadi setengah mabuk. Tidak ingat lagi pada perintah untuk sekadar membawamu ke rumah ini. Mereka orang baik-baik sebenarnya, bukan preman. Tapi dalam kondisi mabuk ternyata watak seseorang bisa berubah drastis. . . .”

“Kalau begitu tabrak lari tempo hari apa kamu juga perencananya?”

“Begitulah. . . .!”

“Lalu apa hubungan ini semua dengan Haji Lolong. Semula kukira dialah pelaku dibelakang tindak kriminal ini. . . .!”

“Ini soal utang-piutang. Sebagai mantu, semula banyak bantuan usaha yang diberikan Pak Haji. Namun begitu resmi Bang Ibram bercerai dengan Wasi maka semua perjanjian bantuan dibatalkan sepihak. Semua utang ditagih agar secepatnya dikembalikan!”

“Lalu muncullah rencana jahat ini?”

“Tidak sejahat yang dibayangkan orang. Sebelum jadi mantu, Bang Ibram merupakan orang kepercayaan Pak Haji. Boleh dibilang semua kemajuan dan kesuksesan bisnis Pak Haji tidak lepas dari kerja keras dan perjuangan Bang Ibram. Tapi kemudian balasannya apa?” 

“Menikahi anaknya?”

“Menikah memang. Dengan syarat bila Bang Ibram berselingkuh maka perkawinan bubar, dan semua bantuan modal maupun aset yang ada diminta kembali. Namun bila Wasi yang berselingkuh lebih dahulu maka syarat pertama gugur, namun perceraian tetap terjadi!”

“Sebuah pernjanjian pranikah yang aneh sekali. Semua Pak Haji yang membuatnya, dalam kekeluargaan pun aspek bisnis tidak diinggalkan. Dan kalian kini mengejar terjadinya kondisi pada syarat kedua?”

“Kamu cerdas! Tak kusangka lama kelamaan aku merasa sangat cocok ngobrol denganmu. Penampilanmu saja yang kumuh tapi otakmu sangat perlente . . . .!”

“Jangan memujiku. Sudah terlalu banyak peempuan yng memuji, dan banyak dianara mereka yang diam-diam kemudian jauh cinta. . . . .!” Arjo berseloroh dengan tajam untuk mengalihkan pembicaraan serius pada persoalan perasaan.

“Oke, tidak ada pujian, kecuali nanti jika skenario yang kurancang itu betul=betul terlaksana dengan bak. Tanggung jawab besar, resikonya penjara, namun iming-iming hadiah itu untuk menghadapi persaingan sudah bersiap menunggu di depan mata. . . . .!”

Arjo sempat ragu-ragu dan mempertanyakan harga diri serta kredibilitasnya sebagai seorang seniman. Ia yang ideal menyuarakan isi hatinya dengan lantang sebagai orang yang tidak bisa dibeli berapa dan dengan apapun. Prinsip yang digenggamnya, karya seni dan berbagai bentuk kreativitas lain tidak dibuat dengan beban ide komersial, apalagi dengan pelanggaran etika dan moral maupun agama. Namun kini situasinya memang tidak ideal. Arjo Kemplu tidak bisa terus-terusan menjadi manusia idealis. Apapun penyebabnya kini ia sedang berproses menjadi manusia realistis.

Cerita realistis itu dilakoni Arjo beberapatahun silam ketika ia pergi dari rumah dengan pakaian yang melekat di badan.  Puluhan tahun usaha dan jerih payahnya dalam bekerja yang berwujud rumah, tempat usaha, bahkan juga tabungan di bank ditinggalkannya untuk isteri dan keempat anak-anaknya.

“Cinta selalu indah, selalu sahdu. Namun realitas sering justru berlaku sebaliknya. Maka semua resiko itu harus kutanggung, betapa pun sulit dan berat. Bermodal cinta saja dengan mengabaikan banyak perbedaan, terutama pada perbedaan keyakinan, ternyata sebuah keputusan fatal . . . . . . ,“ tulis Arjo di buku hariannya.

Ketika resmi bercerai Arjo kembali pada hobi yang digelutinya sejak masa remajanya. Dunia teater mengajarkan banyak hal termasuk bertahan hidup sederhana apa-adanya, dan keharusan berkarib dengan banyak orang dari berbagai lingkungan yang berbeda. Itu membuatnya seperti dalam ungkapan umum: miskin harta namun kaya jiwa.

“Banyak keluarga tidak sanggup menyelamatkan biduk mereka. Hal-hal sederhana yang semula dianggap sangat tidak penting dan mudah diselesaikan ternyata berkembang tak terkendali.. . . . . !” gumam Arjo dalam hati. Kejadian lalu itu memang mewarnai kehidupan Arjo. Pilihan memiliki rumah tangga menjadikannya berkehidupan mapan dan berada. Namun halangan besar tiba-tiba merintangi. Ia harus bercerai dalam usai perkawinan mencapai dua puluh lima tahun. Lalu ia kembali ke kondisi awal, melarat dan memprihatinkan.

Beberapa saat Arjo seperti orang linglung. Tawaran untuk berdamai dengan imbalan sejumlah uang membuatnya berpikir dan merenung. Sekadar memperturutkan kebanggaan dan kewibawaan pribadi, atau menjadi orang yang praktis dan realistis.

“Ini pilihan yang sulit. Dan semoga seumur hidupku ini yang pertama dan terakhir. Nah, aku ikut apa maumu. Biarlah sekali ini aku terjerumus pada kubangan yang sudah begitu lama berhasil kuhindari. .. . . . .!” kata Arjo kemudian, dengan suara lirih.

“Jangan berlebih-lebihan menanggapi cerita bisnis apapun. Kalau orang lain boleh kaya dan hidup enak, kenapa kamu tidak. . . . . ..!” jawab Olleka dengan sedikit marah.

Olleka berdiri mendekat, dan membisikkan angka-angka ke telinga Arjo. Lalu Olleka berkata lagi: “Jumlah yang pertama untuk membuatmu tampak sebagai laki-laki sukses, bahagia, dan serba beruntung. Lalu enam puluh persen sisanya kamu terima setelah kami menyatakan berhasil dengan misi kami. Jumlah yang terakhir itu sepenuhnya milikmu, dan aku tidak berhak mengatur-atur. . . . . .”

“Tulislah di kertas semacam kesepakatan kita, supaya ada sesuatu yang dapat kita ingat. Kesepakatan pertama tentang tidak adanya tuntut-menuntut soal penyekapan, serta kesepakatan lain soal hak dan kewajiban diantara kita berdua,”

“Tentu saja harus dibuat. . . .!”

“Jangan sampai ada yang mengingkari. Karena kalau hal terakhir itu terjadi maka semua akan terbongkar, dan pasti menjadi urusan polisi maupun pengadilan. . . . . . .!” ucap Arjo seraya menjabat tangan Olleka.

***

Hari itu juga Arjo menerima sejumlah uang seperti dalam perjanjian. Sisa uang pertama akan ditransfer Olleka secara bertahap. Dengan cepat ia merapikan badan sekadarnya lalu berjalan keluar rumah tua itu. Sekitar dua ratus meter dari rumah tua itu ia mendapati seorang sepeda motor lewat. Agaknya itu motor seorang pengemudi ojek. Arjo akan langsung menuju terminal bus untuk mencari tempat mandi, lalu mencari  rumah makan yang memadai.

“Ke terminal bus, Kang? Berapa?” tanya Arjo ketika motor sudah berhenti melaju.

“Lima puluh ribu, Pak. Jauh!”  jawab si tukang ojek.

“Oke, nggak masalah. Sesama tukang ojek harus solider. . . . .!”

“Orang ganteng begini masak jadi tukang ojek? Nggak salah tuh. . . .!” si tukang ojek mengejek dengan telak.

Arjo terkekeh geli. Sejak pagi baru sekarang ia mendapatkan lelucon yang spontan yang mengundang tawa. “Jangan menyebut-nyebutku orang ganteng lagi. Sudah terlalu banyak cewek cantik yang bertekuk lutut menyerahkan cintanya padaku. . . . .,” ucap Arjo seraya terbahak.

“Siapa saja mereka?” Agaknya tukang ojek cerdik memancing obrolan.

Maka Arjo meladeninya dengan cekatan. “Siapa saja yang telah bertekuk lutut? Kamu pasti kaget jika kusebutkan satu persatu nama mereka. . . . . .!”

“Lho kenapa harus kaget? Apakah mereka mahluk halus?” seru tukang ojek sambil terkekeh.

Ejekan yang sangat sarkas sebenarnya, namun ditanggapi Arjo dengan santai saja. “Betul mereka mahluk halus. Selain kulit lengan dan wajahnya, tentu sangat halus budi-bahasa dan hatinya. Soal percintaan ini ‘kan uruannya dengan indera, rasa dan perasaan. Jadi  tidak mungkin terjalin kisah percintaan kalau tidak ada kelembutan dan kehalusan di sana. . . . . . . hahaha. . . . . .!”

“Hahaha, mahluk halus. . . . . ! Baru kali ada penumpang ojek mau bayar lima puluh ribu ditambahan dengan lawakan konyol namun berbobot. . . .hahahaha. . . .!”

Tukang ojek ikutan terbahak hingga terbatuk-batuk. Laju sepeda motor jadi agak oleng. Namun ia tidak mengurangi kecepatan. Meluncur deras seperti air terjun, dan seperti tidak peduli penumpang yang dibonceng terlonjak-lonjak layaknya si penunggang kuda pacu dalam kecepatan penuh.

Motor menghambur menuruni jalanan desa di kawasan perkebunan teh. Naik-turun bukit dengan kondisi jalan yang jauh dari kata memadai. Beruntung sinar matahari meredup karena langit kawasan pegunungan itu disaput awan tipis. Arjo menikmati saja perjalanan itu. Dalam hati ia terus tersenyum, merasa bangga, dan senang sebab merasa menjadi orang kaya mendadak.

Uang di dompetnya cukup tebal untuk berlaku agak royal mulai hari itu. Makan enak dan bergaya seperti orang kaya bukan hal yang sulit untuk dilakukannya. Namun soal rencana lebih jauh Arjo tidak berani berandai-andai. Apapun bisa terjadi dengan segenap resiko yang harus ditanggung.

Sementara itu Olleka dengan mobil yang ada mengurus Burik dan Codot yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Seperti dengan Arjo, Olleka pun memberikan uang dan membuat perjanjian untuk tidak meneruskan masalah penyekapan ke pihak kepolisian. Keduanya dibawa ke rumah sakit terdekat untuk dirawat.

Perawat unit gawat darurat Rumah Sakit Umum Daerah menanyakan penyebab mereka luka-luka begitu, Olleka menjawab terus terang. “Mereka mabuk berat dan berkelahi. Namun sudah didamaikan, dan tidak ada urusan polisi. Oya, tolong tangani mereka dengan baik. Semua biaya menjadi tanggungan saya.. . . .!”

“Mereka mabuk oplosan?” ujar perawat sambil memeriksa Burik  meringis menahan sakit.

“Mungkin. Saya tidak tahu jenis minuman keras. Saya ketemukan keduanya sudah dalam keadaan pingsan. Hampir mampus. Tapi mudah-mudahan nyawanya masih tertolong. . . . .!”

“Terus apa status ibu ini dengan kedua pasien?”

“Majikan. Mereka orang kerja saya, baru kali ini dipercaya ke luar kota. Agaknya mereka manfaatkan kondisi dingin pegunungan untuk mabuk-mabukan. Tentu lain kali saya tidak akan menyuruh mereka lagi. . . . .!: kata Olleka ngarang saja.

Perawat tidak bertanya-tanya lagi. Kondisi Burik lumayan parah karena ada tulang iga yang patah. Burik harus menjalani rawat inap. Untuk Codot meski dengan beberapa jahitan dan memar di sekujur tubuh diboleh pulang.

Agak lama menunggu, Olleka kemudian mengurus administrasi dan membayar kontan semua biaya untuk Codot. Sedangkan untuk Burik ia menitipkan uang untuk biaya rawat inap selama lima hari.

(Bersambung)

Bandung, 27 April 2016

Ceria sebelumnya : -bab-iv-tiga, bab-iv-dua, bab iv - satu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun