Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta yang Menua # Bab IV – Empat (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

27 April 2016   21:29 Diperbarui: 27 April 2016   21:32 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tukang ojek ikutan terbahak hingga terbatuk-batuk. Laju sepeda motor jadi agak oleng. Namun ia tidak mengurangi kecepatan. Meluncur deras seperti air terjun, dan seperti tidak peduli penumpang yang dibonceng terlonjak-lonjak layaknya si penunggang kuda pacu dalam kecepatan penuh.

Motor menghambur menuruni jalanan desa di kawasan perkebunan teh. Naik-turun bukit dengan kondisi jalan yang jauh dari kata memadai. Beruntung sinar matahari meredup karena langit kawasan pegunungan itu disaput awan tipis. Arjo menikmati saja perjalanan itu. Dalam hati ia terus tersenyum, merasa bangga, dan senang sebab merasa menjadi orang kaya mendadak.

Uang di dompetnya cukup tebal untuk berlaku agak royal mulai hari itu. Makan enak dan bergaya seperti orang kaya bukan hal yang sulit untuk dilakukannya. Namun soal rencana lebih jauh Arjo tidak berani berandai-andai. Apapun bisa terjadi dengan segenap resiko yang harus ditanggung.

Sementara itu Olleka dengan mobil yang ada mengurus Burik dan Codot yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Seperti dengan Arjo, Olleka pun memberikan uang dan membuat perjanjian untuk tidak meneruskan masalah penyekapan ke pihak kepolisian. Keduanya dibawa ke rumah sakit terdekat untuk dirawat.

Perawat unit gawat darurat Rumah Sakit Umum Daerah menanyakan penyebab mereka luka-luka begitu, Olleka menjawab terus terang. “Mereka mabuk berat dan berkelahi. Namun sudah didamaikan, dan tidak ada urusan polisi. Oya, tolong tangani mereka dengan baik. Semua biaya menjadi tanggungan saya.. . . .!”

“Mereka mabuk oplosan?” ujar perawat sambil memeriksa Burik  meringis menahan sakit.

“Mungkin. Saya tidak tahu jenis minuman keras. Saya ketemukan keduanya sudah dalam keadaan pingsan. Hampir mampus. Tapi mudah-mudahan nyawanya masih tertolong. . . . .!”

“Terus apa status ibu ini dengan kedua pasien?”

“Majikan. Mereka orang kerja saya, baru kali ini dipercaya ke luar kota. Agaknya mereka manfaatkan kondisi dingin pegunungan untuk mabuk-mabukan. Tentu lain kali saya tidak akan menyuruh mereka lagi. . . . .!: kata Olleka ngarang saja.

Perawat tidak bertanya-tanya lagi. Kondisi Burik lumayan parah karena ada tulang iga yang patah. Burik harus menjalani rawat inap. Untuk Codot meski dengan beberapa jahitan dan memar di sekujur tubuh diboleh pulang.

Agak lama menunggu, Olleka kemudian mengurus administrasi dan membayar kontan semua biaya untuk Codot. Sedangkan untuk Burik ia menitipkan uang untuk biaya rawat inap selama lima hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun