Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta yang Menua # Bab IV – Empat (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

27 April 2016   21:29 Diperbarui: 27 April 2016   21:32 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keseriusan berdialog karena persoalan yang gawat, dan itu tidak hanya muncul dalam latihan teater yang sering dilakoninya. Tapi ternyata ada juga dalam keseharian, dalam sekadar bisnis. Terlebih untuk orang-orang yang terlatih bicara mengurai, mengolah, dan membuat kesimpulan atas suatu masalah. Dan Arjo sedikit demi sedikit mulai merasakan nuansa kekaguman pada perempuan yang berpenampilan praktis dan simpel itu.

Sejenak  tadi ia mengalihkan pandangan ke kehijauan kebun teh luas di luar jendela. Sorot sinar matahari mulai miring ke barat. Angin penggunungan bertiup makin kencang. Arjo kembali memperhatikan Olleka. Perempuan itu tidak kurang cantik meski memang terlihat aura kelelakian. Bagaimana mungkin Bang Ibram, atau siapapun yang disebut sebagai suami, mampu memalingkan perhatian dari Wasi. Arjo sampai geleng-geleng kepala tak percaya.

“Ada sesuatu yang aneh pada penampilanku? Kita bukan sepasang kekasih yang nyinyir membicarakan perasaan masing-masing, bukan?”

Arjo tergagap oleh pikiran ngelantur. Sejenak ia berusaha fokus pada pertanyaan awal. “Maafkan aku karena beberapa saat tadi aku sempat membandingkan penampilanmu dengan sosok Wasi. Kalian sama sekali berbeda. Sama cantik dan daya tarik, tapi beda. Seperti dua kutub yang berseberangan. Namun aku tak yakin tindak kekerasan ini kamu yang merencanakan. . . .!”

Olleka memperhatikan kesimpulan itu, dan diam-diam mengakui Arjo punya pengetahuan keturanggan cukup memadai. “Suamiku terlalu lembek untuk hal-hal seperti ini. Padahal ini bukan persoalanku. Menyekap untuk memaksa seorang Arjo mengaku seolah-olah telah berpacaran dengan Wasi. Lalu kami akan undang wartawan dan mengeksposenya, agar nama perempuan itu tercemar dan rlebih juga untuk membuktikan bahwa dialah yang memulai berselingkuh. . . . .. . . .!” jelas Olleka berterus-terang.

Tiba-tiba Olleka memandang lurus ke arah mata Arjo Kemplu. Beberapa detik tak berkedip, tanpa ekspresi apapun selain harapan untuk dipahami. Lanjutnya lagi : “Ringkasnya semua ini sekedar untuk membuat skenario palsu? Bukan untuk membunuh?”

“Lalu kenapa dua orang bayaran itu menyekap dan menyiksaku?”

“Itu tidak ada dalam rencana awal. Jadi aku sendiri juga tidak tau mengapa. . . . . Tapi mungkin karena mereka stres saja, lalu banyak minum, dan menjadi setengah mabuk. Tidak ingat lagi pada perintah untuk sekadar membawamu ke rumah ini. Mereka orang baik-baik sebenarnya, bukan preman. Tapi dalam kondisi mabuk ternyata watak seseorang bisa berubah drastis. . . .”

“Kalau begitu tabrak lari tempo hari apa kamu juga perencananya?”

“Begitulah. . . .!”

“Lalu apa hubungan ini semua dengan Haji Lolong. Semula kukira dialah pelaku dibelakang tindak kriminal ini. . . .!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun