“Ini soal utang-piutang. Sebagai mantu, semula banyak bantuan usaha yang diberikan Pak Haji. Namun begitu resmi Bang Ibram bercerai dengan Wasi maka semua perjanjian bantuan dibatalkan sepihak. Semua utang ditagih agar secepatnya dikembalikan!”
“Lalu muncullah rencana jahat ini?”
“Tidak sejahat yang dibayangkan orang. Sebelum jadi mantu, Bang Ibram merupakan orang kepercayaan Pak Haji. Boleh dibilang semua kemajuan dan kesuksesan bisnis Pak Haji tidak lepas dari kerja keras dan perjuangan Bang Ibram. Tapi kemudian balasannya apa?”
“Menikahi anaknya?”
“Menikah memang. Dengan syarat bila Bang Ibram berselingkuh maka perkawinan bubar, dan semua bantuan modal maupun aset yang ada diminta kembali. Namun bila Wasi yang berselingkuh lebih dahulu maka syarat pertama gugur, namun perceraian tetap terjadi!”
“Sebuah pernjanjian pranikah yang aneh sekali. Semua Pak Haji yang membuatnya, dalam kekeluargaan pun aspek bisnis tidak diinggalkan. Dan kalian kini mengejar terjadinya kondisi pada syarat kedua?”
“Kamu cerdas! Tak kusangka lama kelamaan aku merasa sangat cocok ngobrol denganmu. Penampilanmu saja yang kumuh tapi otakmu sangat perlente . . . .!”
“Jangan memujiku. Sudah terlalu banyak peempuan yng memuji, dan banyak dianara mereka yang diam-diam kemudian jauh cinta. . . . .!” Arjo berseloroh dengan tajam untuk mengalihkan pembicaraan serius pada persoalan perasaan.
“Oke, tidak ada pujian, kecuali nanti jika skenario yang kurancang itu betul=betul terlaksana dengan bak. Tanggung jawab besar, resikonya penjara, namun iming-iming hadiah itu untuk menghadapi persaingan sudah bersiap menunggu di depan mata. . . . .!”
Arjo sempat ragu-ragu dan mempertanyakan harga diri serta kredibilitasnya sebagai seorang seniman. Ia yang ideal menyuarakan isi hatinya dengan lantang sebagai orang yang tidak bisa dibeli berapa dan dengan apapun. Prinsip yang digenggamnya, karya seni dan berbagai bentuk kreativitas lain tidak dibuat dengan beban ide komersial, apalagi dengan pelanggaran etika dan moral maupun agama. Namun kini situasinya memang tidak ideal. Arjo Kemplu tidak bisa terus-terusan menjadi manusia idealis. Apapun penyebabnya kini ia sedang berproses menjadi manusia realistis.
Cerita realistis itu dilakoni Arjo beberapatahun silam ketika ia pergi dari rumah dengan pakaian yang melekat di badan. Puluhan tahun usaha dan jerih payahnya dalam bekerja yang berwujud rumah, tempat usaha, bahkan juga tabungan di bank ditinggalkannya untuk isteri dan keempat anak-anaknya.