“Cinta selalu indah, selalu sahdu. Namun realitas sering justru berlaku sebaliknya. Maka semua resiko itu harus kutanggung, betapa pun sulit dan berat. Bermodal cinta saja dengan mengabaikan banyak perbedaan, terutama pada perbedaan keyakinan, ternyata sebuah keputusan fatal . . . . . . ,“ tulis Arjo di buku hariannya.
Ketika resmi bercerai Arjo kembali pada hobi yang digelutinya sejak masa remajanya. Dunia teater mengajarkan banyak hal termasuk bertahan hidup sederhana apa-adanya, dan keharusan berkarib dengan banyak orang dari berbagai lingkungan yang berbeda. Itu membuatnya seperti dalam ungkapan umum: miskin harta namun kaya jiwa.
“Banyak keluarga tidak sanggup menyelamatkan biduk mereka. Hal-hal sederhana yang semula dianggap sangat tidak penting dan mudah diselesaikan ternyata berkembang tak terkendali.. . . . . !” gumam Arjo dalam hati. Kejadian lalu itu memang mewarnai kehidupan Arjo. Pilihan memiliki rumah tangga menjadikannya berkehidupan mapan dan berada. Namun halangan besar tiba-tiba merintangi. Ia harus bercerai dalam usai perkawinan mencapai dua puluh lima tahun. Lalu ia kembali ke kondisi awal, melarat dan memprihatinkan.
Beberapa saat Arjo seperti orang linglung. Tawaran untuk berdamai dengan imbalan sejumlah uang membuatnya berpikir dan merenung. Sekadar memperturutkan kebanggaan dan kewibawaan pribadi, atau menjadi orang yang praktis dan realistis.
“Ini pilihan yang sulit. Dan semoga seumur hidupku ini yang pertama dan terakhir. Nah, aku ikut apa maumu. Biarlah sekali ini aku terjerumus pada kubangan yang sudah begitu lama berhasil kuhindari. .. . . . .!” kata Arjo kemudian, dengan suara lirih.
“Jangan berlebih-lebihan menanggapi cerita bisnis apapun. Kalau orang lain boleh kaya dan hidup enak, kenapa kamu tidak. . . . . ..!” jawab Olleka dengan sedikit marah.
Olleka berdiri mendekat, dan membisikkan angka-angka ke telinga Arjo. Lalu Olleka berkata lagi: “Jumlah yang pertama untuk membuatmu tampak sebagai laki-laki sukses, bahagia, dan serba beruntung. Lalu enam puluh persen sisanya kamu terima setelah kami menyatakan berhasil dengan misi kami. Jumlah yang terakhir itu sepenuhnya milikmu, dan aku tidak berhak mengatur-atur. . . . . .”
“Tulislah di kertas semacam kesepakatan kita, supaya ada sesuatu yang dapat kita ingat. Kesepakatan pertama tentang tidak adanya tuntut-menuntut soal penyekapan, serta kesepakatan lain soal hak dan kewajiban diantara kita berdua,”
“Tentu saja harus dibuat. . . .!”
“Jangan sampai ada yang mengingkari. Karena kalau hal terakhir itu terjadi maka semua akan terbongkar, dan pasti menjadi urusan polisi maupun pengadilan. . . . . . .!” ucap Arjo seraya menjabat tangan Olleka.
***