Hari itu juga Arjo menerima sejumlah uang seperti dalam perjanjian. Sisa uang pertama akan ditransfer Olleka secara bertahap. Dengan cepat ia merapikan badan sekadarnya lalu berjalan keluar rumah tua itu. Sekitar dua ratus meter dari rumah tua itu ia mendapati seorang sepeda motor lewat. Agaknya itu motor seorang pengemudi ojek. Arjo akan langsung menuju terminal bus untuk mencari tempat mandi, lalu mencari rumah makan yang memadai.
“Ke terminal bus, Kang? Berapa?” tanya Arjo ketika motor sudah berhenti melaju.
“Lima puluh ribu, Pak. Jauh!” jawab si tukang ojek.
“Oke, nggak masalah. Sesama tukang ojek harus solider. . . . .!”
“Orang ganteng begini masak jadi tukang ojek? Nggak salah tuh. . . .!” si tukang ojek mengejek dengan telak.
Arjo terkekeh geli. Sejak pagi baru sekarang ia mendapatkan lelucon yang spontan yang mengundang tawa. “Jangan menyebut-nyebutku orang ganteng lagi. Sudah terlalu banyak cewek cantik yang bertekuk lutut menyerahkan cintanya padaku. . . . .,” ucap Arjo seraya terbahak.
“Siapa saja mereka?” Agaknya tukang ojek cerdik memancing obrolan.
Maka Arjo meladeninya dengan cekatan. “Siapa saja yang telah bertekuk lutut? Kamu pasti kaget jika kusebutkan satu persatu nama mereka. . . . . .!”
“Lho kenapa harus kaget? Apakah mereka mahluk halus?” seru tukang ojek sambil terkekeh.
Ejekan yang sangat sarkas sebenarnya, namun ditanggapi Arjo dengan santai saja. “Betul mereka mahluk halus. Selain kulit lengan dan wajahnya, tentu sangat halus budi-bahasa dan hatinya. Soal percintaan ini ‘kan uruannya dengan indera, rasa dan perasaan. Jadi tidak mungkin terjalin kisah percintaan kalau tidak ada kelembutan dan kehalusan di sana. . . . . . . hahaha. . . . . .!”
“Hahaha, mahluk halus. . . . . ! Baru kali ada penumpang ojek mau bayar lima puluh ribu ditambahan dengan lawakan konyol namun berbobot. . . .hahahaha. . . .!”