"Setiap sekolah mengadakan acara, sebut saja hari lahir Ratu Belanda tanggal 31 Agustus, atau Tahun Baru, akulah yang akan dipanggil oleh para guru untuk membantu membuat lambing singa dari bubur kertas, atau miniature kapal perang Belanda yang diarak saat karnaval. Atau sekedar menghias gerbang sekolah dengan janur dan bambu." (Banu, 2017:3)
Wiroseoseno sebagai terjajah merayakan ulang tahun penjajah yaitu Ratu Belanda merupakan sebuah bentuk ambivalensi, di mana ia bingung merumuskan identitasnya sebagai kaum terjajah. Menerima penjajah namun menyadari bahwa dirinya masyarakat kelas tiga. Akan tetapi, Wirosoeseno memanfaatkan keahliannya membuat karya bahkan dengan membuat miniatur kapal perang Belanda sebagai upaya untuk setara bahkan mendominasi, menjadikanya murid yang selalu dipanggil oleh guru bahkan mendapat beasiswa. Selanjutnya, keahlian Wiroseoseno ini menarik perhatian seorang Belanda, dapat dilihat pada kutipan :
"Tuan Jansen Zwartepen, seorang misionaris Katolik yang pada suatu kesempatan berkunjung ke sekolah kami , rupanya terkesan dengan nilai yang kuraih,serta bakat seni yang kumiliki. Melalui guru kelasku ia minta dipertemukan dengan Rama, dan menawarkan beasiswa ke sekolah lanjutan" (Banu, 2017:40)
Upaya Wiroseoseno meniru dengan membuat karya seperti kapal perang Belanda sebagai bentuk ambivalensi yang membuat misionaris Katolik yang juga seorang Belanda memberikan beasiswa sekolah lanjutan ke Handels onderwijs yaitu sekolah dagang berbahasa pengantar Melayu dan Belanda. Mimikri yang dilakukan Wirosoeseno adalah upaya untuk melawan dominasi Belanda dengan meniru seperti Belanda dan berbahasa Belanda. Sikap Wiroseoseno ini merupakan sikap yang ambivalen, yaitu pribumi yang ingin seperti Belanda tetapi tidak akan benar-benar sama.
- PENUTUP
Simpulan
Tokoh-tokoh Indonesia dalam novel Sang Raja ini mengalami inferiorisasi secara halus, tidak melalui perang atau kekerasan. Tokoh Belanda menginferiorkan pribumi bukan hanya dari pikiran dan pendapat mereka saja, tetapi inferiorisasi yang dilakukan tokoh Belanda terjadi pula dalam bidang pekerjaan, pendidikan, identitas pribumi, keagamaan atau keyakinan dan status sosial.
Tokoh-tokoh Belanda dalam novel Sang Raja masih mendominasi pribumi walaupun tokoh-tokoh Belanda dalam novel ini tidak diceritakan sebagai tokoh Belanda yang jahat dan suka menindas, namun masih memiliki pikiran kolonial yaitu adanya perlakuan bahwa pribumi harus dipimpin supaya beradab dan Belanda yang pantas menjadi pemimpin. Kriteria beradab sendiri adalah seperti yang Belanda lakukan sedangkan kriteria tidak beradab adalah seperti yang peribumi lakukan.
Semua tokoh dalam novel Sang Raja sendiri ternyata mengalami ambivalensi. Tergambar dalam dominasi kekuasaan Belanda terhadap pribumi, adanya diri yang ingin tetapi tidak ingin, ambivalensi melaui bahasa, adanya sikap yang humanis tetapi masih berpikiran superior, adanya sikap mengamati tokoh Belanda terhadap Indonesia, adanya peniruan-peniruan yang dilakukan pribumi terhadapt kebiasaan Belanda, dan adanya upaya kesetaraan pribumi terhadap Belanda. Dengan demikian, novel-novel yang dilahirkan dari tahun-tahun 2000-an mendekonstruksi citra Belanda sebagai penjajah yang kejam dengan romusha dan kerja paksa lainnya, menjadi citra Belanda yang menjajah secara hegemoni, bahkan tidak digambarkaan adanya kekerasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H